Pembatasan Jumlah Karakter Picu Maraknya Hoaks di Twitter

  • Associated Press

Ikon aplikasi Twitter di sebuah ponsel di Philadelphia, 26 April 2017.

Sebuah studi baru menemukan sebagian besar besar berita palsu pada 2016 disebarkan oleh sebagian kecil pengguna Twitter. Studi juga menemukan kelompok konservatif dan orang tua lebih banyak berbagi informasi yang salah, kantor berita Associated Press melaporkan.

Para peneliti mempelajari lebih dari 16 ribu akun Twitter AS dan menemukan bahwa 16 diantaranya – kurang dari sepersepuluh dari 1 persen – mencuit hampir 80 persen informasi salah yang disamarkan sebagai berita, menurut sebuah hasil studi yang diterbitkan di jurnal Science.

Sekitar 99 persen pengguna Twitter menyebarkan hampir tidak ada informasi palsu selama masa paling panas dari tahun Pemilu, kata rekan penulis studi, David Lazer, seorang profesor Ilmu Politik dan Komputer Universitas Northeastern.

Penyebaran informasi palsu “terjadi di bagian yang buruk, tapi kecil di Twitter,” kata Lazer.

BACA JUGA: Partai Demokrat: Tweet Andi Arief Bukan Hoaks

Lazer mengatakan penyebaran informasi yang salah membanjiri Twitter : rata-rata 308 bagian yang palsuantara 1 Agustus dan 6 Desember 2016.

Kata Lazer, ini bukan hanya disebarkan oleh sebagian kecil orang, tetapi juga hanya dibaca oleh sebagian kecil orang.

“Sebagian besar orang sedikit sekaliterpapar berita, palsu meskipun terdapat fakta adanya upaya bersama untuk mendorongnya ke dalam sistem,” kata Lazer.

Para peneliti menemukan 16.442 akun yang mereka analisis mulai dengan kumpulan catatan pemilih acak, mencocokan nama dengan pengguna Twitter dan kemudian menyaring akun yang tampaknya tidak dikendalikan oleh orang yang nyata.

Kesimpulan mereka mirip dengan penelitian awal bulan ini yang mengamati penyebaran informasi palsu di Facebook. Ditemukan juga bahwa beberapa orang berbagi penipuan, tapi mereka yang melakukannya lebih cenderung berusia di atas 65 tahun dan termasuk berpandangan konservatif.

BACA JUGA: Melawan Hoaks Melalui Peningkatan Pemahaman dan Upaya Pelaporan

Yonchai Benkler, wakil direktur Sekolah Hukum Harvard yang berfokus pada persoalan internet dan masyarakat mengatakan, hal itu membuat penelitian ini dapat dipercaya karena dua kelompok peneliti menggunakan platform media berbeda, mengukur afiliasi politik secara berbeda dan dengan panel pengguna yang berbeda, sampai pada kesimpulan yang sama.

Benkler, yang tidak terlibat dalam kedua studi tersebut, memuji mereka dan mengatakan mereka harus mengurangi kepanikan pasca pemilihan yang salah arah tentang bagaimana “proses teknologi di luar kendali membuat kita sebagai masyarakat tak mampu mengatakan kebenaran dari hal fiksi.”

Para ahli mengatakan pertikaian antara Sekolah Katolik Kentucky dan seorang penduduk asli Amerika di Lincoln Memorial yang terjadi baru-baru ini, tampaknya didorong oleh satu akun Twitter yang sekarang ditutup.
Lazer mengatakan akun tersebut sesuai dengan beberapa karakteristik “penyebar berita” dari studi yang dilakukannya tapi lebih condong ke kiri yang menjadikannya tidak cocok dengan studi tersebut.

Berbeda dengan penelitian Facebook sebelumnya, Lazer tidak mewawancarai orang-orang tetapi menilai politik mereka berdasarkan apa yang mereka baca dan bagikan di Twitter.

BACA JUGA: Perusahaan-Perusahaan Teknologi Temui Kesulitan Batasi Pidato Ofensif

Para peneliti menggunakan beberapa sumber domain berbeda untuk informasi palsu yang disamarkan sebagai berita – bukan cerita individu tapi keseluruhan situs – dari daftar yang disusun oleh akademisi lain dan BuzzFeed.

Meski penelitian itu mendapat pujian dari 5 pakar luar, Kathleen Hall Jamieson Kepala Pusat Kebijakan Publik di Universitas Pennsylvania, menemukan beberapa masalah khususnya dengan cara mereka menentukan situs informasi palsu.

Tim Lazer menemukan di antara orang-orang yang masuk di kategori kiri dan tengah, kurang dari 5 persen berbagi informasi palsu. Di antara yang condong ke kanan, terdapat 11 persen akun berbagi informasi yang disamarkan sebagai berita. Sedangkan, yang di ujung kanan memiliki rasio 21 persen.

Studi ini menunjukkan “kebanyakan dari kita tidak terlalu buruk dalam menyebarkan informasi, tetapi sebagian dari kita adalah propagandis yang berusaha untuk memanipulasi ruang publik,” kata Jennifer Mercieca dari Universitas A&M Texas, seorang sejarawan retorika politik yang bukan bagian dari penelitian ini. [er/ft]