Hanya pada bulan pertama tahun ini, pemerintah telah mengguncang pasar global dengan kebijakan yang membatasi beberapa ekspor komoditas terbesarnya. Diperkirakan akan lebih banyak lagi kebijakan lagi yang sedang digarap pemerintah terkait komoditas lainnya.
Indonesia melarang ekspor batu bara pada Januari, memberlakukan pembatasan pengiriman minyak sawit dengan mewajibkan untuk mengalokasikan pada pasar domestik, dan juga melontarkan gagasan penerapan pajak ekspor untuk komoditas nikel pig iron. Dan seluruh kebijakan itu diambil pada Januari.
Stok batu bara domestik yang sedikit dan harga minyak yang tinggi disebut pemerintah sebagai faktor utama di balik kebijakan pembatasan tersebut. Pemerintah sebelumnya pernah mengatakan pihaknya akan mengembangkan sektor pengolahan dan pemurnian dalam negeri yang akan berpengaruh pada kegiatan ekspor.
Manuver ini telah dilakukan untuk memberikan efek yang mencolok di pasar nikel dan baja tahan karat sejak 2014, dan membantu mengubah wajah Indonesia dari hanya sebagai pemasok kecil menjadi produsen global yang dominan dari kedua komoditas pada tahun 2020. Hal itu tak lepas dari adanya gelombang investasi yang dilakukan oleh sebagian besar perusahaan China pada lima tahun terakhir.
Presiden Joko Widodo ingin mengulangi prestasi tersebut di tempat lain, dan telah mengatakan bahwa negara tersebut dapat memangkas ekspor seluruh komoditas mentah untuk menarik investasi lebih lanjut di industri hilir. Hal itu akan meningkatkan lapangan kerja dan menciptakan tenaga kerja di negara yang tercatat sebagai ekonomi terbesar dan terpadat di Asia Tenggara itu.
"Jangan kaget. Dulu nikel (larangan ekspor) kita ada. Tahun depan bauksit mungkin kita setop, tahun depan mungkin kita stop yang lain," kata Jokowi kepada Reuters pada Oktober.
BACA JUGA: Kasus Defisit Batu Bara Domestik Buat Pasar Global GelisahIndonesia adalah produsen bauksit terbesar kelima, menurut Survei Geologi AS, menyumbang sekitar tujuh persen dari output global mineral yang merupakan sumber utama aluminium di dunia.
"Indonesia tampaknya kembali menjalankan rencana lama untuk mengembangkan industri hilir yang bertujuan mendukung ekonominya," kata analis ANZ dalam sebuah catatan kepada klien pada 20 Januari, menambahkan produk pertambangan dan logam menyumbang sekitar 20 persen dari pendapatan ekspor.
Ketergantungan pada Komoditas
Namun, retorika garis keras itu sering dirusak oleh kenyataan bahwa Indonesia sangat bergantung pada pendapatan dari penjualan komoditas mentah, yang masing-masing berjumlah kira-kira $3 miliar per bulan dari batu bara dan minyak sawit saja.
"Ekonomi ... bergantung pada ekspor komoditas yang tumbuh untuk pendapatan valuta asing yang pada akhirnya mendukung stabilitas makro dan menyediakan dana untuk investasi," kepala penelitian ekonomi Asia di HSBC Fred Neumann mengatakan kepada Reuters.
Sebagai pemasok utama batu bara termal, minyak sawit dan nikel, langkah Indonesia dalam membuat harga masing-masing komoditas tersebut meroket, dan menimbulkan kekhawatiran di kalangan importer bahan bakar, makanan, dan bahan manufaktur tentang potensi gangguan pasokan.
BACA JUGA: Pemerintah Larang Sementara Ekspor Batu Bara BACA JUGA: Digugat ke WTO, Jokowi Tetap Setop Ekspor Nikel MentahDi pasar batu bara internasional, harga mingguan batu bara Newcastle melonjak lebih dari sepertiga selama ketiadaan pasokan dari Indonesia. Hal itu meningkatkan tekanan pada importer batu bara utama, seperti Jepang dan Korea Selatan, karena permintaan meningkat untuk menyalakan pemanas selama musim dingin. Kedua negara meminta Jakarta untuk segera memulihkan arus awal bulan ini.
Kepanikan pembeli sangat mereda setelah Jakarta sebagian melonggarkan larangan ekspor untuk 139 perusahaan batu bara yang telah memenuhi apa yang disebut Kewajiban Pasar Domestik (DMO) pada 20 Januari, dengan lebih banyak penambang yang diizinkan untuk memulai kembali ekspor sejak saat itu. Namun masyarakat internasional tetap waspada terhadap pemotongan pasokan yang tidak terduga di masa depan.
"Saya pikir mitra dagang memahami bahwa politik dalam negeri dan kepentingan nasional (dalam kasus peristiwa baru-baru ini - ketahanan energi) masih memainkan peran yang kuat dalam pembuatan kebijakan," kata Achmad Sukarsono, seorang analis politik di Control Risks. Ia mencatat nasionalisme ekonomi seperti itu mungkin terjadi menjelang Pilkada 2024.
"Bersikap ramah kepada investor asing atau mitra dagang tidak memenangkan suara,” katanya.
Produsen timah terbesar kedua di dunia juga lambat dalam mengeluarkan izin ekspor sejauh ini pada 2022. Sejumlah analis memperkirakan pemerintah mungkin belum selesai mengubah kebijakannya dan dapat mempengaruhi pasokan timah solder. [ah/vm]