Pemberlakuan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik Indonesia-Swiss Masih Harus Tunggu DPR

Logo bank milik Swiss, Credit Suisse, tampak di bawah bendera Swiss di sebuah gedung yang terletak di Federal Square di Bern, 15 May 2014 (foto: Reuters/Ruben Sprich)

Pemerintah Indonesia dan Swiss hari Senin (4/2) menandatangani perjanjian bilateral “mutual legal assistance” atau bantuan hukum timbal balik untuk meningkatkan kerjasama lebih erat guna memerangi kejahatan internasional, khususnya korupsi dan pencucian uang. Perjanjian ini ditandatangani oleh Menteri Hukum dan HAM Indonesia Yasonna Laoly dan Menteri Kehakiman Swiss Karin Keller-Sutter di Bern, Swiss.

“Perjanjian MLA ini dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan,” ujar Yasonna dalam pernyataan tertulis pada pers yang diterima VOA hari Selasa (5/2). Perjanjian ini terdiri dari 39 pasal, menyangkut berbagai upaya hukum mulai dari pelacakan, pembekuan, penyitaan dan perampasan aset hasil tindak kejahatan, hingga pengajuan tuntutan hukum.

Pemerintah Swiss Akui Perjanjian MLA Sederhanakan Proses Bantuan Hukum Timbal Balik

Sementara itu pernyataan tertulis yang dikeluarkan pemerintah Swiss menyatakan perjanjian MLA ini sebagian besar didasarkan pada Konvensi Eropa tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana dan juga pada UU Federal serupa. “Perjanjian ini menyederhanakan prosedur bantuan hukum timbal balik, khususnya dengan mengurangi persyaratan formal, seperti keharusan adanya otentikasi, dan persyaratan rinci untuk meminta bantuan timbal balik,” demikian petikan pernyataan itu. Ditambahkan, “perjanjian ini secara tegas merujuk pada hak asasi manusia, dimana jika diduga ada pelanggaran hak asasi manusia maka Swiss dapat menolak memberi bantuan hukum.”

https://www.admin.ch/gov/en/start/documentation/media-releases.msg-id-73876.html

Hikmahanto: Perjanjian MLA Masih Harus Disahkan oleh DPR

Pakar hukum internasional di Universitas Indonesia Prof. Dr. Hikmahanto Juwana menyambut baik penandatangan perjanjian ini karena meskipun merupakan langkah awal dan masih harus dibawa ke DPR untuk disahkan, “MLA ini penting karena secara tradisional Swiss dijadikan salah satu tempat untuk melarikan uang hasil kejahatan dari Indonesia, disamping dari negara lain. Dengan adanya MLA maka jika otorita hukum Indonesia menduga ada uang haram yang lari ke Swiss, maka mereka bisa meminta bantuan hukum otorita Swiss.”

Namun demikian Hikmahanto mengingatkan latar belakang Swiss menjadi “tempat larinya uang haram dari berbagai negara, termasuk dari Indonesia adalah karena adanya aturan kerahasiaan bank yang sangat ketat.”

Pemerintah Swiss dalam pernyataan tertulisnya menyatakan perjanjian MLA ini akan mulai diberlakukan “segera setelah memenuhi persyaratan hukum dalam negeri masing-masing negara.” Di Swiss misalnya, perjanjian ini harus disetujui terlebih dahulu oleh parlemen, yang kemudian akan melakukan referendum, sebagaimana dilakukan terhadap seluruh perjanjian internasioal.

MenkumHAM Berharap Perjanjian MLA Bersifat Retroaktif

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan hal serupa tentang proses pemberlakuan perjanjian ini, yaitu lewat persetujuan DPR, tetapi ia juga mengusulkan agar perjanjian MLA tersebut bersifat retroaktif sehingga memungkian untuk menjaring tindak pidana yang terjadi sebelum perjanjian itu ditandatangani, sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan.

Hikmahanto Juwana berharap proses pengkajian dan pengesahan oleh DPR berlangsung cepat sehingga perjanjian bisa segera diberlakukan, karena ia khawatir jika terlalu lama “uang haram asal Indonesia itu keburu dikeluarkan dari Swiss dan dimasukkan ke negara lain yang belum terikat perjanjian MLA dengan Indonesia.”

Hingga laporan ini disampaikan belum diketahui kapan perjanjian ini akan dibahas di DPR. [em]