Dalam sebuah konferensi pers hari Kamis (27/8) di Nairobi, wakil pemberontak mengimbau pemerintah untuk mematuhi perjanjian damai yang ditandatangani oleh Presiden Salva Kiir di Juba, hari Rabu.
Dhieu Mathok Wol, wakil kepala juru runding pemberontak dalam pembicaraan damai di Ethiopia, mengatakan, pihaknya siap merealisasikan perjanjian tersebut.
"Kami siap. Kami berkomitmen melaksanakan perjanjian damai ini. Kami yakin dalam 72 jam berikutnya, proses gencatan senjata permanen yang diatur dalam perjanjian damai itu akan dijalankan dan kami akan mewujudkan stabilitas di negara kami," ujar Wol.
Presiden Kiir menyatakan keraguan berat tentang perjanjian hari Rabu itu, dan pemimpin pemberontak, Riek Machar, mengatakan itu menimbulkan “keraguan" tentang komitmen pemerintah terhadap perjanjian tersebut.
Pertempuran-pertempuran kecil dilaporkan terjadi di kota Bentiu hari Kamis.
PBB dan Uni Afrika menuduh pihak yang bertikai melakukan pelanggaran HAM selama konflik berlangsung, termasuk perekrutan anak-anak secara paksa untuk dijadikan tentara.
Stephen Par Kuol, juru bicara pemberontak dalam pembicaraan damai, optimistis bahwa perjanjian itu akhirnya akan mewujudkan keadilan bagi pihak-pihak yang dirugikan.
"Laporan Uni Afrika itu sangat penting. Sebagian dari Laporan Komisi Uni Afrika telah dirilis, dan kami harap laporan itu akan diumumkan secara terbuka. Perjanjian ini, akan membentuk pengadilan-pengadilan khusus," kata Kuol.
Perang saudara pecah bulan Desember tahun 2013, setelah persengketaan antara Presiden Kiir dengan mantan wakilnya, Riek Machar. Perang itu telah menewaskan ribuan orang dan memaksa kira-kira 2,2 juta warga Sudan Selatan meninggalkan rumah mereka.
Amerika tadinya mengusulkan embargo senjata di Sudan Selatan dan sanksi terhadap para pemimpin tinggi mulai tanggal 6 September kecuali Presiden Kiir menandatangani perjanjian tersebut. (zb/ii)