Pemda DKI Tangguhkan Aturan 3-in-1

  • Associated Press

Kemacetan di Jakarta.

Ditangguhkannya aturan tersebut akan menjadi kabar buruk bagi warga miskin di ibukota, dimana kemacetannya yang parah menghasilkan sejumlah cara untuk menghasilkan uang itu.

Barisan orang dari perempuan yang menggendong bayi sampai anak-anak usia sekolah, dengan tangan mengacung yang menandakan mereka bisa disewa, merupakan pemandangan umum di sekitar jalan protokol Jakarta pada jam-jam sibuk.

Namun tidak minggu ini. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta berencana menangguhkan aturan tiga orang dalam satu kendaraan, alias 3-in-1, mulai Selasa (5/4). Dan para penumpang yang bisa disewa, atau joki, yang membantu pengendara menghindari sanksi lalu lintas, akan kehilangan penghasilannya.

Dengan menghapus aturan ini, pemda akan menguji apa yang terjadi pada kepadatan jalan. Jika tidak ada perbedaan dalam jumlah mobil di jalanan, maka kita akan tahu bahwa sistem yang telah berlaku lebih dari 10 tahun itu cacat.

Ditangguhkannya aturan tersebut akan menjadi kabar buruk bagi warga miskin di ibukota, dimana kemacetannya yang parah menghasilkan sejumlah cara untuk menghasilkan uang. Selain joki, ada 'Pak Ogah' yang di putaran balik dan tukang parkir yang diberi uang oleh pengendara, meskipun terkadang mereka lebih bersifat menghambat daripada membantu.

"Saya ingin pihak berwenang memperpanjang 3-in-1," ujar Muhammad Asmin, pemuda 27 tahun yang putus sekolah dan menjadi joki lebih dari 10 tahun yang lalu untuk mencari nafkah bagi keluarganya.

"Bagus untuk kita, orang miskin, meskipun tidak berhasil (mengatasi kemacetan)," ujar Asmin, yang mendapat sekitar Rp 200 ribu per hari dari naik dan turun mobil.

Jakarta merupakan kota dengan kemacetan terpadat di dunia, menurut sebuah studi mengenai seberapa sering kendaraan mengerem dalam perjalanan. Perkiraan resmi menyebutkan bahwa kemacetan lalu lintas di Jakarta menyebabkan kerugian ekonomi sekitar US$3 miliar atau Rp 39,5 triliun per tahun.

Aturan 3-in-1 diluncurkan tahun 2003 dan joki muncul tak lama sesudahnya. Sejak saat itu, kemacetan di jalan bertambah buruk, terutama karena semakin banyak orang yang mampu membeli mobil, yang memenuhi jaringan jalan yang tidak bertambah.

Kebijakan itu memiliki citra buruk karena secara luas dianggap tidak efektif dan juga melibatkan anak-anak, yang mengambil risiko besar dengan masuk ke dalam kendaraan orang asing.

"Kami disalahkan karena memperparah kemacetan, tapi pemerintah tidak menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup untuk kita," ujar Alfa Wahyudi, pemuda berusia 21 tahun yang datang dari Kalimantan enam bulan yang lalu.

"Jangan salahkan kehadiran kami jika pemerintah tidak dapat memberikan pekerjaan untuk kami."

Kenyamanan berkendaraan di jalan 3-in-1 membuat beberapa pengendara rutin menyewa dua atau tiga joki yang sama.

Razia berulang kali terhadap joki gagal menghapus pekerjaan ini. Jika tertangkap, mereka dibawa ke pusat penahanan selama beberapa minggu dan diminta menandatangani surat pernyataan tidak akan bekerja sebagai joki lagi. Namun banyak yang mengatakan mereka kembali ke jalanan secepat mungkin.

Wulandri, yang dua kali ditangkap dan dikirim ke pusat penahanan, mengatakan hal itu tidak menjadi kendala dibandingkan uang Rp 150 ribu yang didapatnya dengan mudah dalam sehari.

Sebagai ibu seorang anak berusia satu tahun, ia populer di kalangan pengendara karena berarti mereka mendapat dua penumpang untuk harga satu orang.

"Saya sengaja membawa anak karena biasanya seorang pengendara tidak perlu membayar dua joki dan mereka sering merasa kasihan terhadap perempuan yang membawa bayi," ujarnya. [hd]