Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah akan menggandeng China untuk menggarap sawah di Kalimantan Tengah. Kesepakatan tersebut menjadi salah satu hasil pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi dalam ajang High Level Dialogue and Cooperation Mechanism (HDCM) RI–RRC di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Jumat (19/4).
“Kita minta mereka (China) memberikan teknologi padi mereka, di mana mereka sudah sangat sukses menjadi swasembada, dan mereka bersedia,” ungkap Luhut dalam unggahan di akun Instagram resminya @luhut.pandjaitan, Minggu (21/4).
Luhut menjelaskan, setidaknya terdapat lahan seluas satu juta hektare di Kabupaten Pulang Pisang, Kalimantan Tengah yang bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan sawah dengan China secara bertahap. Pemerintah pun, katanya, juga berencana menggandeng mitra lokal setempat dalam proyek ini.
“Dan off taker-nya nanti adalah Bulog. Kita berharap enam bulan dari sekarang mungkin kita sudah mulai dengan proyek ini. Tinggal kita sekarang mau ajak anak-anak muda Indonesia yang bidang pertanian untuk ikut disitu,” jelasnya.
Ia berharap alih teknologi dari Negeri Tirai Bambu tersebut bisa berhasil dengan baik. Pasalnya Indonesia selama ini masih saja mengimpor beras dari negeri tetangga hingga jutaan ton setiap tahunnya.
Luhut meyakini, jika proyek ini berhasil, maka Indonesia pun akan mencapai swasembada beras di masa depan.
“Jadi kalau program ini jalan, dan menurut saya harus jalan. Kita sebenarnya minta (produktivitasnya) 4-5 ton per hektare. Kalau kita punya (lahan) Pulang Pisang, di Kalteng itu 400 ribu hektare, itu hampir dua juta ton (hasilnya). Jadi sudah selesai masalah ketahanan pangan kita untuk beras. Kita menjadi lumbung pangan yang harusnya demikian,” tegasnya.
Khudori, seorang pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), berpendapat bahwa mengadopsi teknologi pertanian dari negara lain adalah langkah yang sah. Namun, ia berpendapat pemerintah perlu memastikan bahwa teknologi tersebut sesuai dan dapat diaplikasikan dengan baik di dalam negeri.
“Mengintroduksi sistem usaha tani, seperti menghadirkan benih dari negara lain, termasuk dari China, tidak selalu jadi solusi baik, cespleng, dan langsung applicable. Pasti membutuhkan adaptasi. Baik adaptasi iklim/cuaca, sifat tanah, dan hama penyakit. Proses adaptasi bisa lama bisa pendek. Dan tak selalu berhasil. Bisa juga mengalami kegagalan,” ungkapnya kepada VOA melalui pesan tertulis.
Menurutnya, sebelum melaksanakan kerja sama ini, pemerintah perlu berdiskusi terlebih dahulu dengan para pakar pertanian nasional untuk mengurangi risiko kegagalan. Khudori juga menyoroti bahwa China memiliki empat musim, sehingga perbedaan ini pasti akan memengaruhi penerapan teknologi pertanian dari negara tersebut di Indonesia.
BACA JUGA: Jokowi dan Menlu China Bahas Kerja Sama Ekonomi Hingga Isu Timur Tengah“Ahli di China bisa saja jagoan dalam pertanaman padi di sana, tapi ketika teknologi serupa diterapkan di Indonesia belum tentu berhasil. Hal ini mesti disadari para pengambil kebijakan,” tuturnya.
Indonesia, kata Khudori, juga pernah melakukan kerja sama transfer teknologi pertanian dengan China yang dilakukan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 2007, yaitu dengan membagikan benih padi hibrida dari China kepada petani.
“Belakangan diketahui, setelah benih padi hibrida yang diimpor dan dibagikan sebagai bagian dari bantuan benih kepada petani, hasilnya tidak menggembirakan. Di beberapa tempat padi hibrida yang ditanam petani terserang penyakit. Ini menandakan, tidak mudah mengintroduksi sistem usaha tani, benih salah satunya. Pasti butuh inovasi tambahan. Inovasi ketahanan penyakit misalnya,” jelasnya.
Khudori menjelaskan bahwa sebenarnya ada hal lain yang juga perlu menjadi perhatian pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan pertanian padi nasional. Salah satunya adalah biaya usaha tani yang tinggi, terutama biaya sewa lahan dan upah tenaga kerja.
“Dua pos itu sekitar 75-80 persen dari total produksi biaya usaha tani. Ini yang membuat harga padi/beras Indonesia mahal dan tak kompetitif dengan Thailand atau Vietnam,” jelasnya.
Lebih lanjut, Khudori menekankan pentingnya bagi pemerintah untuk membangun ekosistem yang mendukung pengembangan benih secara optimal. Salah satu langkahnya adalah dengan menetapkan harga yang wajar bagi petani karena benih yang berkualitas tentu akan memiliki harga yang tinggi.
“Kalau penetapan harganya tidak rasional seperti sekarang, yang terjadi adalah benih yang tak terjamin alias 'abal-abal'. Petani dirugikan. Di luar itu, inisiatif para pengembang benih (breeder) padi lokal yang merakit benih padi yang tahan genangan 21 hari dengan survival rate 90 persen atau benih dengan kelebihan-kelebihan lain adalah penting dan jauh lebih berguna. Karena benih ini memang dirakit untuk menjawab masalah yang ada dan riil di masyarakat petani,” jelasnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Suryo Wiyono mempertanyakan teknologi apa yang akan dibawa oleh China. Menurutnya, alih teknologi dalam bidang apapun lumrah terjadi. Yang terpenting menurutnya adalah teknologi yang digunakan harus tepat guna dan bisa diadaptasikan dengan baik di Indonesia.
BACA JUGA: Petani Bertahan di Tengah Gempuran Alih Fungsi Lahan“Bagi saya adalah semuanya itu harus berdasarkan science-based policy. Jadi policy untuk menjamin keberhasilan dan keberlanjutan itu harus berdasarkan science. Kalau tidak ada basic science dan evidence based-nya itu akan tidak menjamin keberhasilan dan keberlanjutan,” ungkapnya kepada VOA.
Menurut Suryo, sampai saat ini, telah ada berbagai teknologi pertanian padi yang dikembangkan oleh para ahli di bidang pertanian nasional, termasuk di IPB. Menurutnya, hasilnya telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan produksi pangan nasional.
“Misalnya, kita IPB panen di Subang di kawasan 350 hektare produksinya 9,7 ton atau peningkatan produktivitasnya 32 persen. Dan kita juga punya rintisan untuk membuat padi gogo, kita sudah menanam di 30 hektare di Pati, Blora, Bojonegoro, dan lain-lain yang itu sudah menjadi potensi untuk memproduksi beras,” jelasnya
“Jadi, saling belajar itu perlu, kita tetap harus melihat keunggulan China, apa keunggulan Indonesia, dan lain-lain. Tetapi saya pikir kita juga tidak perlu menganggap bahwa satu negara atau kalau yang dari China itu selalu lebih unggul,” pungkasnya. [gi/ah]