Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan Perpres Gugus Tugas Montara, untuk menggugat perusahaan pengeboran minyak Thailand PTT Exploration and Production (PTTEP) di pengadilan. Gugatan akan diajukan di dalam negeri dan juga melalui arbitrase internasional.
Keputusan terkait Perpres Gugus Tugas Montara ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, dalam keterangan resmi kepada media, Jumat (1/4).
“Dengan Peraturan Presiden tersebut, kami akan melayangkan gugatan di dalam negeri, yang akan dikoordinir oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sedangkan untuk proses hukum di luar negeri, oleh Kementerian Hukum dan HAM sebagai koordinatornya,” papar Luhut.
PTTEP Tak Beritikad Baik
Anjungan atau rig sumur minyak Montara berjarak 700 km dari Kota Darwin, Australia Utara dan 250 km ke Pulau Rote di Nusa Tenggara Timur (NTT). Rig tersebut meledak pada 21 Agustus 2009, menumpahkan 23 juta liter minyak selama 74 hari hingga November. Tumpahan minyak mentah menyebar sepanjang 92 kilometer persegi dan merusak pesisir di 13 kabupaten dan kota di NTT, menghancurkan kehidupan nelayan serta petani rumput laut. Montara dioperasikan oleh PTTEP Australasia, anak perusahaan PTTEP, perusahaan eksplorasi migas asal Thailand.
BACA JUGA: Kasus Tumpahan Minyak Montara: 10 Tahun, Satu GugatanKarena tumpahan minyak itu, 15.480 petani rumput laut dan nelayan NTT telah melayangkan gugatan class action ke PTTEP di pengadilan Australia. Mereka telah memperoleh kemenangan pada putusan 19 Maret 2021, dan putusan kedua 25 Oktober 2021.
“Pengadilan Federal Australia menyatakan bahwa tumpahan minyak yang bersumber dari PTTEP, perusahaan dari Thailand, telah menyebabkan kerugian secara material dan menyebabkan kematian serta rusaknya mata pencaharian petani rumput laut dan nelayan,” lanjut Luhut.
Dalam putusannya, pengadilan juga membuka ruang perdamaian, dengan meminta PPTEP berunding kepada pihak yang dirugikan, termasuk pemerintah Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, pemerintah menilai PTTEP tidak serius untuk menyelesaikan kasus tersebut melalui jalur perundingan. Hal itu dikonfirmasi oleh Purbaya Yudhi Sadewa, Ketua Gugus Tugas Montara.
“Mereka main-main aja. Karena itu, kita jalan terus. Akan kita pakai seluruh senjata yang ada untuk menekan Australia, PTTEP maupun pemerintah Thailand untuk ikut menekan. Makanya akan kita lakukan gugatan internasional dan domestik dari sisi lingkungan,” jelas Purbaya.
Purbaya memastikan, pemerintah telah memeriksa aset PTTEP yang ada di Indonesia.
“Kalau mereka tidak mau juga, kita akan bertindak lebih ekstrim. Semua di meja sekarang, kita hitung,” tegas Purbaya.
BACA JUGA: Indonesia Tuntut PTTEP Australasia US$2 Milyar Terkait Tumpahan MinyakDalam hitungan pemerintah, PTTEP seharusnya memberikan ganti rugi sebesar 600 juta dollar Australia atau sekitar Rp6,4 triliun untuk korban petani rumput laut dan nelayan.
“Cuma mereka tidak mau diskusi. Padahal kita sudah tawarkan opsi yang meringankan mereka. Makanya kita menekan dari segala arah untuk memberi pesan ke mereka bahwa sekarang kita tidak main-main,” tambah Purbaya.
Pemerintah juga akan menggugat PTTEP di pengadilan dalam negeri. Perusahaan asal Thailand itu diketahui juga beroperasi di Indonesia. Tim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan menjadi koordinator dalam gugatan ini.
Alue Dohong, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyebut tumpahan minyak di sumur Montara telah merusak biota laut berupa terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Seluruh kerugian lingkungan harus turut dihitung dan dimintakan pertanggungjawaban dari PTTEP. Bencana ini juga harus dipandang sebagai peristiwa yang turut memperburuk perubahan iklim.
Your browser doesn’t support HTML5
“Kontribusi perubahan iklim akibat tumpahan minyak ini ada. Dan ada nilai keuangan yang harus kita hitung juga,” ujarnya.
Alue Dohong menambahkan, pemerintah sebelumnya telah menghitung kerugian lingkungan akibat tumpahan minyak ini adalah Rp 7 triliun. Namun, ke depan akan ada perhitungan ulang yang memungkinkan jumlahnya lebih dari itu.
Ferdy Tanoni, Ketua Yayasan Peduli Timor Barat yang sejak awal mengawal kasus ini di NTT, meminta pemerintah secepatnya bergerak.
“Kami butuh Peraturan Presiden ini secepat-cepatnya ditandangtangi. Sehingga ini bisa membawa satu rasa kepercayaan dari rakyat NTT yang sudah 13 tahun, kurang lebih, menderita. Ini menambah kepercayaan bahwa negara berada sama rakyat,” tegas Ferdi.
Pemerintah Dukung Sidang Banding
Dalam perkara class action yang dimenangkan petani rumput laut dan nelayan NTT, PTTEP telah memutuskan untuk naik banding. Sidang banding akan digelar di Australia pada Juni 2022.
Menkomarves Luhut Binsar Pandjautan memastikan pemerintah mendukung seluruh proses yang dibutuhkan agar petani rumput laut dan nelayan NTT memperoleh ganti rugi. Sementara itu, Purbaya Yudhi Sadewa, Ketua Gugus Tugas Montara meyakini bahwa pada sidang banding, petani rumput laut dan nelayan Indonesia akan kembali dimenangkan. Data yang diberikan dan pandangan para ahli di proses pengadilan sebelumnya telah mampu meyakinkan hakim Australia.
“Data sudah lengkap, dan hakim sudah memutuskan bahwa minyaknya masuk ke kita, dan PTTEP harus membayar ganti rugi. Sepertinya sih, itu sangat kuat dan kita siap sekali untuk melanjutkan proses ini,” kata dia.
Dukungan serupa juga datang dari Alue Dohong.
“Kita solid dan mendukung, dimenangkannya class action oleh para nelayan di NTT. Dan itu dua keputusan federal court sudah memenangkan itu, saya kira enggak mungkin lagi upaya hukum berikutnya mereka bisa menang,” katanya. [ns/ah]