Pemerintah Indonesia merencanakan akan menarik sekitar 11 ribu pekerja anak untuk disekolahkan pada tahun 2012 ini.
Pekerja anak masih jadi masalah besar di dunia, termasuk Indonesia. Organisasi Perburuhan Internasional menyatakan pekerja anak di Indonesia saat ini mencapai 1,7 juta anak. Mereka kebanyakan berumur 15 hingga 17 tahun.
Juru Bicara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Suhartono kepada VOA, Senin mengatakan pemerintah akan menarik sekitar 11 ribu pekerja anak untuk disekolahkan pada tahun 2012 ini.
Sebelas ribu anak tersebut kata Suhartono tersebar di 21 provinsi seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa Tengah. Di 21 provinsi itu, jumlah pekerja anaknya sangat tinggi. Mereka kebanyakan bekerja di perkebunan, pertambangan, anjungan lepas pantai, industri alas kaki serta anak yang menjadi korban perdagangan manusia.
Menurut Suhartono, pemerintah akan melakukan upaya penarikan anak melalui pendampingan di shelter selama satu bulan yang dilakukan oleh pendamping dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan juga tutor dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Hal itu dilakukan untuk memotivasi pekerja anak tersebut agar mempunyai keinginan untuk kembali ke dunia pendidikan baik formal, kursus-kursus atau keterampilan. Setelah itu, kata Suhartono mereka akan disekolahkan.
"Menarik mereka dari dunia kerjanya untuk melanjutkan ke pendidikan. Karena keterbatasan dana,tahun ini 11 ribu akan kita tarik. Dan semoga tahun depan kita akan lebih banyak lagi," ungkap Suhartono.
Suhartono menambahkan faktor kemiskinan merupakan salah satu penyebab banyaknya jumlah pekerja anak di Indonesia. Untuk itu selain melakukan penarikan para pekerja anak kata Suhartono pemerintah juga akan melakukan pemberdayaan ekonomi keluarga anak yang menjadi pekerja anak dengan diberikannya pelatihan wirausaha dan bantuan peralatan berwirausaha.
Sementara, Koordinator Program untuk Pekerja Anak dari Organisasi Perburuhan Internasional Dede Shinta menghargai upaya pemerintah dalam mengurangi jumlah pekerja anak di Indonesia. Meski demikian, Dede meminta pemerintah untuk memperkuat penegakan hukum pada persoalan ini.
Dede menambahkan pemerintah juga harus melakukan upaya pencegahan melalui pendidikan agar pekerja anak di Indonesia tidak terus bertambah.
Dede Shinta memaparkan, "Angka di bawah 15 tahun itu sebetulnya lebih kecil dibandingkan anak usia 15-17 tahun untuk pekerja anak. Artinya, program pemerintah yang belajar 9 tahun itu (gratis) itu sudah cukup bagus artinya bisa menekan anak-anak untuk tetap bersekolah dan tidak bekerja. Terus bagaimana anak usia 15 -17 tahun? Nah disitu angka 15-17 menjadi tinggi karena anak-anak itu setelah SMP banyak yang kemudian mau melanjutkan kemana? Sekolah SMA/SMK masih harus bayar. Akhirnya keterbatasan itu yang membuat mereka jatuh ke pekerjaan-pekerjaan yang terburuk."
Sedangkan pengamat masalah pekerja anak dari Universitas Atmajaya Jakarta Prof. Irwanto menjelaskan tingginya jumlah pekerja anak di Indonesia salah satunya juga disebabkan tidak adanya kerjasama antar kementerian maupun pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah ini.
"Kenapa anak bekerja karena dia keluar dari sekolah, kenapa anak keluar dari sekolah karena miskin. Kalau sektor-sektor itu tidak mau bekerjasama dengan Kemenakertrans (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi) yah tidak mungkin dong," ujar Irwanto.
Menurut catatan ILO pada tahun 2011, terdapat 215 juta pekerja anak di dunia. Hampir 60 persen anak bekerja di tempat berbahaya seperti pertambangan.
Juru Bicara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Suhartono kepada VOA, Senin mengatakan pemerintah akan menarik sekitar 11 ribu pekerja anak untuk disekolahkan pada tahun 2012 ini.
Sebelas ribu anak tersebut kata Suhartono tersebar di 21 provinsi seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa Tengah. Di 21 provinsi itu, jumlah pekerja anaknya sangat tinggi. Mereka kebanyakan bekerja di perkebunan, pertambangan, anjungan lepas pantai, industri alas kaki serta anak yang menjadi korban perdagangan manusia.
Menurut Suhartono, pemerintah akan melakukan upaya penarikan anak melalui pendampingan di shelter selama satu bulan yang dilakukan oleh pendamping dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan juga tutor dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Hal itu dilakukan untuk memotivasi pekerja anak tersebut agar mempunyai keinginan untuk kembali ke dunia pendidikan baik formal, kursus-kursus atau keterampilan. Setelah itu, kata Suhartono mereka akan disekolahkan.
"Menarik mereka dari dunia kerjanya untuk melanjutkan ke pendidikan. Karena keterbatasan dana,tahun ini 11 ribu akan kita tarik. Dan semoga tahun depan kita akan lebih banyak lagi," ungkap Suhartono.
Suhartono menambahkan faktor kemiskinan merupakan salah satu penyebab banyaknya jumlah pekerja anak di Indonesia. Untuk itu selain melakukan penarikan para pekerja anak kata Suhartono pemerintah juga akan melakukan pemberdayaan ekonomi keluarga anak yang menjadi pekerja anak dengan diberikannya pelatihan wirausaha dan bantuan peralatan berwirausaha.
Sementara, Koordinator Program untuk Pekerja Anak dari Organisasi Perburuhan Internasional Dede Shinta menghargai upaya pemerintah dalam mengurangi jumlah pekerja anak di Indonesia. Meski demikian, Dede meminta pemerintah untuk memperkuat penegakan hukum pada persoalan ini.
Dede menambahkan pemerintah juga harus melakukan upaya pencegahan melalui pendidikan agar pekerja anak di Indonesia tidak terus bertambah.
Dede Shinta memaparkan, "Angka di bawah 15 tahun itu sebetulnya lebih kecil dibandingkan anak usia 15-17 tahun untuk pekerja anak. Artinya, program pemerintah yang belajar 9 tahun itu (gratis) itu sudah cukup bagus artinya bisa menekan anak-anak untuk tetap bersekolah dan tidak bekerja. Terus bagaimana anak usia 15 -17 tahun? Nah disitu angka 15-17 menjadi tinggi karena anak-anak itu setelah SMP banyak yang kemudian mau melanjutkan kemana? Sekolah SMA/SMK masih harus bayar. Akhirnya keterbatasan itu yang membuat mereka jatuh ke pekerjaan-pekerjaan yang terburuk."
Sedangkan pengamat masalah pekerja anak dari Universitas Atmajaya Jakarta Prof. Irwanto menjelaskan tingginya jumlah pekerja anak di Indonesia salah satunya juga disebabkan tidak adanya kerjasama antar kementerian maupun pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah ini.
"Kenapa anak bekerja karena dia keluar dari sekolah, kenapa anak keluar dari sekolah karena miskin. Kalau sektor-sektor itu tidak mau bekerjasama dengan Kemenakertrans (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi) yah tidak mungkin dong," ujar Irwanto.
Menurut catatan ILO pada tahun 2011, terdapat 215 juta pekerja anak di dunia. Hampir 60 persen anak bekerja di tempat berbahaya seperti pertambangan.