Meski khawatir dengan gejolak ekonomi global, pemerintah akan berupaya tidak menggunakan dana siaga karena fundamental ekonomi masih kuat.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo pada Kamis (20/7) menegaskan pemerintah masih mampu bertahan untuk tidak menggunakan dana siaga dalam mengantisipasi dampak negatif gejolak ekonomi global akibat ketidakpastian perekonomian di kawasan Eropa dan Amerika Serikat.
Agus mengatakan hal itu dimungkinkan karena defisit anggaran masih normal dan pemasukan negara melalui penjualan Surat Utang Negara (SUN) masih dapat diandalkan. Meski demikian, ia mengaku tidak bisa memastikan batas waktu kemampuan pemerintah dapat bertahan untuk tidak menggunakan dana siaga.
“Ketika kita melakukan simulasi dan belum melakukan effort-effort khusus itu defisit kita masih di 2,3 persen [dari anggaran 2012] dan lelang SUN itu banyak sekali peminatnya. Jadi saya tidak melihat ada kemungkinan dalam waktu dekat ini kita perlu menggunakan dana-dana siaga. Namun saya tidak bisa mendahului karena situasi di dunia terus berubah,” ujarnya.
Tahun ini pemerintah Indonesia telah mendapatkan komitmen pinjaman siaga sebesar US$5 miliar, dengan rincian $2 miliar dari Bank Dunia, $1,5 miliar dari Bank JBIC Jepang, $1 miliar dari pemerintah Australia, dan $500 juta dari Bank Pembangunan Asia (ADB).
Sementara dalam anggaran negara 2012, pemerintah sudah mengalokasikan dana mitigasi krisis dalam berbagai sektor, yaitu dana cadangan risiko fiskal sebesar Rp 15,8 triliun, anggaran batuan sosial Rp 65 triliun, subsidi pangan Rp 15,6 triliun, cadangan beras pemerintah Rp 2 triliun dan keperluan mendesak Rp 5,5 triliun. Jika dibutuhkan pemerintah akan mendahulukan menggunakan dana-dana tersebut dibanding menggunakan dana siaga yang tercatat sebagai utang luar negeri.
Dalam kesempatan berbeda, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas, Armida Alisjahbana berpendapat, ada beberapa kondisi yang disebabkan oleh situasi eksternal maupun internal sehingga pemerintah akan menggunakan dana siaga yang berasal dari anggaran negara maupun utang luar negeri.
“Terkait dengan risiko terhadap arus modal, juga volatilitas nilai tukar dan sebagainya, lalu juga yang terkait dengan risiko akibat iklim, dan komoditi dunia termasuk harga minyak itu tetap tinggi, itu tentu akan membawa dampak dan risiko kepada perekonomian Indonesia,” ujar Armida.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center, Arief Nur Alam, seharusnya pemerintah tidak selalu mengacu pada anggaran negara untuk menyelamatkan perekonomian dalam negeri karena yang terpenting adalah realisasi anggaran yang benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat.
Bahkan menurutnya, pemerintah dan DPR serta DPRD tidak terbuka soal anggaran negara kepada rakyatnya sehingga sulit untuk menilai seberapa kuat anggaran negara serta fundamental ekonomi Indonesia di tengah gejolak ekonomi global yang masih terjadi saat ini.
“DPRD juga belum terlihat memaksimalkan fungsi representatif ketika mengeksekusi anggaran atau memperhatikan konstituen dan persoalan publik, hak-hak dasar publik dan lain-lainnya dalam proses kebijakan anggaran. Karena proses anggaran kan eksekusi terakhir ditetapkan DPR bersama pemerintah, akumulasi ini menjadikan bahwa penganggaran itu ekslusif secara juga akuntabilitas dipertanyakan karena indikator menyusun anggaran tidak ada dasar yang cukup baik dan juga indikatornya tidak diketahui oleh publik,” kata Arief.
Agus mengatakan hal itu dimungkinkan karena defisit anggaran masih normal dan pemasukan negara melalui penjualan Surat Utang Negara (SUN) masih dapat diandalkan. Meski demikian, ia mengaku tidak bisa memastikan batas waktu kemampuan pemerintah dapat bertahan untuk tidak menggunakan dana siaga.
“Ketika kita melakukan simulasi dan belum melakukan effort-effort khusus itu defisit kita masih di 2,3 persen [dari anggaran 2012] dan lelang SUN itu banyak sekali peminatnya. Jadi saya tidak melihat ada kemungkinan dalam waktu dekat ini kita perlu menggunakan dana-dana siaga. Namun saya tidak bisa mendahului karena situasi di dunia terus berubah,” ujarnya.
Tahun ini pemerintah Indonesia telah mendapatkan komitmen pinjaman siaga sebesar US$5 miliar, dengan rincian $2 miliar dari Bank Dunia, $1,5 miliar dari Bank JBIC Jepang, $1 miliar dari pemerintah Australia, dan $500 juta dari Bank Pembangunan Asia (ADB).
Sementara dalam anggaran negara 2012, pemerintah sudah mengalokasikan dana mitigasi krisis dalam berbagai sektor, yaitu dana cadangan risiko fiskal sebesar Rp 15,8 triliun, anggaran batuan sosial Rp 65 triliun, subsidi pangan Rp 15,6 triliun, cadangan beras pemerintah Rp 2 triliun dan keperluan mendesak Rp 5,5 triliun. Jika dibutuhkan pemerintah akan mendahulukan menggunakan dana-dana tersebut dibanding menggunakan dana siaga yang tercatat sebagai utang luar negeri.
Dalam kesempatan berbeda, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas, Armida Alisjahbana berpendapat, ada beberapa kondisi yang disebabkan oleh situasi eksternal maupun internal sehingga pemerintah akan menggunakan dana siaga yang berasal dari anggaran negara maupun utang luar negeri.
“Terkait dengan risiko terhadap arus modal, juga volatilitas nilai tukar dan sebagainya, lalu juga yang terkait dengan risiko akibat iklim, dan komoditi dunia termasuk harga minyak itu tetap tinggi, itu tentu akan membawa dampak dan risiko kepada perekonomian Indonesia,” ujar Armida.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center, Arief Nur Alam, seharusnya pemerintah tidak selalu mengacu pada anggaran negara untuk menyelamatkan perekonomian dalam negeri karena yang terpenting adalah realisasi anggaran yang benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat.
Bahkan menurutnya, pemerintah dan DPR serta DPRD tidak terbuka soal anggaran negara kepada rakyatnya sehingga sulit untuk menilai seberapa kuat anggaran negara serta fundamental ekonomi Indonesia di tengah gejolak ekonomi global yang masih terjadi saat ini.
“DPRD juga belum terlihat memaksimalkan fungsi representatif ketika mengeksekusi anggaran atau memperhatikan konstituen dan persoalan publik, hak-hak dasar publik dan lain-lainnya dalam proses kebijakan anggaran. Karena proses anggaran kan eksekusi terakhir ditetapkan DPR bersama pemerintah, akumulasi ini menjadikan bahwa penganggaran itu ekslusif secara juga akuntabilitas dipertanyakan karena indikator menyusun anggaran tidak ada dasar yang cukup baik dan juga indikatornya tidak diketahui oleh publik,” kata Arief.