Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu menjelaskan pemblokiran layanan data telekomunikasi itu untuk mempercepat proses pemulihan situasi keamanan dan ketertiban di Papua dan sekitarnya. Hal tersebut disampaikan melalui keterangan pers yang dirilis pada Rabu (21/8).
Menurut Ferdinandus, kebijakan ini diambil setelah berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait. Pemblokiran tersebut dilakukan hingga suasana di Papua kembali kondusif dan normal.
Your browser doesn’t support HTML5
Kebijakan ini bertentangan dengan pernyataan Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Henri Subiakto yang disampaikan kepada VOA pada Rabu sore, bahwa pemerintah tidak akan melakukan pembatasan setelah pelambatan akses internet di Papua dan Papua Barat pada Senin (19/9) lalu.
"Belum ada rencana, kan sekarang sudah mulai kondusif, kecuali sampai membutuhkan tindakan-tindakan tertentu. Kan seperti kemarin yang menjadi pemicu juga video dan foto, kita lambatkan, tetap orang bisa komunikasi, hanya foto dan video yang tidak bisa. Tapi sampai sekarang belum ada rencana sampai ke sana," jelas Henri Subiakto di gedung Dewan Pers, Rabu.
BACA JUGA: Dialog Jakarta-Papua Harus Segera DilakukanHenri menambahkan dasar kebijakan yang digunakan pemerintah dalam perlambatan akses internet dan kebijakan sejenis adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 40 ayat 2a dan ayat 2b.
Menurut pasal 40 ayat 2a, "Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Sedangkan ayat 2b menjelaskan, "Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum."
Ancaman Pidana yang Mengintai Kominfo
Kebijakan pemblokiran layanan data telekomunikasi di Papua dan Papua Barat mendapat kritikan dari masyarakat sipil antara lain dari Safenet dan LBH Pers. Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengatakan pemblokiran tersebut dapat memutus akses bagi pemantau HAM dan jurnalis terhadap kondisi di Papua yang dapat berujung pada kurangnya pengawasan kondisi di Papua. Di samping itu, masyarakat juga dirugikan karena tidak dapat berkomunikasi dengan keluarganya untuk memastikan keamanan mereka.
Belum lagi, kata Ade, jika berkaca pada pelambatan akses internet pada Senin lalu, dasar kebijakan yang digunakan pemerintah juga tidak tepat. Terutama klaim Kemkominfo soal hoaks "Polres Surabaya menculik 2 pengantar makanan untuk mahasiswa Papua." Ade menjelaskan klaim sepihak ini dapat membuat Kemkominfo berpotensi digugat oleh pengacara hak asasi manusia Veronica Koman yang dituding menyebarkan hoaks.
"Ada beberapa potensi hukum, kalau misalkan itu benar dari unsur pencemaran nama baik, fitnah dan menyebarkan berita bohong. Dari pasal-pasal itu saja sudah jelas bisa masuk," jelas Ade Wahyudin.
BACA JUGA: Pengamanan Ditingkatkan di Tengah Protes Kekerasan di Papua BaratTerkait informasi bohong yang disebarkan Kemkominfo ini, Veronica Koman mendesak Kemkominfo untuk meminta maaf secara terbuka. Sebab, kata dia, kementerian telah mencemarkan nama baik dan kredibilitasnya dengan menyebut informasi yang disampaikan sebagai hoaks.
"Saya cek di laman Kominfo itu kok belum diralat. Ini kan gara-gara disinformasi dari Kominfo itu mencemarkan nama baik, kredibilitas saya. Termasuk juga informasi yang sudah saya sampaikan," jelas Veronika.
Veronica mengatakan tidak menutup kemungkinan akan mengambil langkah hukum, jika Kemkominfo tidak meminta maaf secara terbuka dengan segera. (sm/ka)