Sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim dari Magister Ekonomika Pembangunan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta menemukan fakta bahwa di balik bisnis tembakau yang menjanjikan keuntungan besar, petani adalah pihak yang merasakan keuntungan paling kecil.
Dalam paparan yang disampaikan di Yogyakarta akhir pekan lalu, Dr Wahyu Widayat, salah satu anggota tim mengatakan, rantai perdagangan tembakau terlalu panjang dan rumit dibanding komoditas lain. Hubungan antara petani dan pabrik rokok misalnya, dilakukan melalui pengepul, pedagang, pedagang besar, hingga pemasok pabrik. Dampaknya, kata Wahyu Widayat, petani menerima harga terlalu rendah, sedangkan pabrik rokok sebagai pengguna produk tembakau terbesar, membeli dengan harga terlalu tinggi.
Penelitian ini dilakukan di tiga provinsi dengan luas lahan tembakau terbesar, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Tiga provinsi itu mewakili 87 persen dari luas lahan tembakau di seluruh Indonesia. Secara umum, Jawa Tengah dan Jawa Timur mengalami tren penurunan luas lahan karena peralihan petani menanam komoditas lain. Penurunan itu juga berkaitan dengan kampanye kesehatan yang menurunkan jumlah konsumsi rokok.
Wahyu Widayat mendesak pemerintah mengatur tata niaga tembakau di Indonesia agar kondisinya tidak semakin memprihatinkan. Sebagai salah satu komoditas pemasok pajak terbesar, tembakau semestinya memiliki lembaga pengatur semacam Bulog. Lembaga ini wajib membangun kemitraan antara petani tembakau dan pengguna produk, terutama pabrik rokok agar harga tembakau relatif stabil dan bebas dari permainan pedagang.
“Pemerintah perlu mendorong adanya kemitraan antara petani tembakau, pemasok dan perusahaan rokok dalam rangka meningkatkan produktivitas dan kualitas tembakau serta menjamin akses pasar bagi petani. Dengan adanya kemitraan maka stabilitas harga itu lebih terjamin dan kepastian harganya menjadi lebih baik,” kata Wahyu Widayat.
Ketua umum, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Soeseno dalam kesempatan terpisah mengakui, tata niaga tembakau memang sangat kompleks. Pabrik rokok tidak pernah bisa langsung membeli tembakau dari petani, tetapi selalu melalui jalur pembelian yang panjang. Karena kondisi ini, banyak nilai tambah yang seharusnya dinikmati petani tidak jatuh ke mereka tetapi ke para pedagang. Karena jumlah pedagang yang dilewati daun tembakau sebelum sampai ke pabrik banyak, maka harga di tingkat petani ditekan.
Your browser doesn’t support HTML5
Soeseno menambahkan, memang tidak semua varietas tembakau yang dijual tata niaganya semacam itu. Ada sebagian yang lebih ringkas. Karena itulah, petani tembakau meyakini sistem yang sudah terbangun puluhan tahun ini sebenarnya bisa diperbaiki.
“Karena itu kemarin petani minta ada penyederhaaan tata niaga, channel pemasaran itu tiga saja cukup, yaitu petani, pedagang, dan pabrikan. Kalau kemitraan tidak bisa menjamin semua petani, paling tidak sistem tata niaga itu bisa menjamin dengan sistem yang lebih adil, tidak terlalu banyak channel perdagangannya sehingga nilai tambah yang dinikmati petani menjadi semakin baik,” imbuh Soeseno.
Penelitian dari UGM ini juga menyatakan bahwa meskipun menjadi eksportir produk olahan tembakau, Indonesia juga adalah importir dalam jumlah besar. Industri pengolahan tembakau memerlukan sekitar 321 ribu ton bahan baku, sedangkan produksi tembakau dalam negeri hanya 163 ribu ton per tahun.
Selain faktor keterbatasan lahan, rendahnya produksi itu juga karena petani Indonesia tidak bisa menanam beberapa jenis tembakau, seperti Virginia dan Burley. Dr Slamet Hartono, pengajar Fakultas Pertanian UGM mengatakan, jenis tembakau itu tidak cocok dengan iklim Indonesia. Selama ini, petani menanam varietas lokal yang bisa berkembang baik disini.
“Apa yang dilakukan petani itu adalah hal yang terbaik, misalnya petani di Temanggung memilih tembakau Kemloko, kemudian di Rembang memilih tembakau Marem, masing-masing daerah itu punya varietas lokal karena harus cocok dengan iklim dan kondisi tanah setempat agar mencapai panen tembakau sesuai jumlah dan kualitas terbaik,” kata Slamet Hartono.
Indonesia masih mengimpor tembakau dari India, Turki, Amerika Serikat dan Brazil. Tembakau asing ini diperlukan untuk menciptakan produk rokok dengan rasa yang sudah dipatenkan. Karena itulah, impor tembakau tidak mungkin dihindari sampai kapanpun, berapa pun besar jumlah produksi tembakau lokal Indonesia. [ns/ab]