Aktivis lingkungan hidup menolak rencana pembangunan PLTU berbahan bakar batubara di kabupaten Batang, Jawa Tengah, karena dianggap merusak lingkungan.
YOGYAKARTA —
Para aktivis lingkungan hidup menolak rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara di kabupaten Batang, Jawa Tengah, karena dianggap sebagai sumber bencana bagi lingkungan dan masyarakat.
Pembangunan PLTU tersebut adalah salah satu bagian dari program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), untuk menjamin pasokan listrik terutama bagi kawasan industri agar pertumbuhan ekonomi terjaga.
Namun, menurut Arif Fiyanto, juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, semangat pertumbuhan ekonomi itu tidak boleh mengorbankan lingkungan.
Menurutnya, penggunaan batubara sebagai bahan bakar PLTU adalah pilihan yang keliru. Batubara adalah sumber polusi dan hal itu akan berlawanan dengan semangat pemerintah Indonesia sendiri untuk menurunkan emisi karbon nasional di tahun-tahun mendatang, ujarnya.
“Batubara ini adalah bahan bakar fosil terkotor, dengan emisi karbon tertinggi. Secara global, emisi karbon yang dihasilkan oleh batubara yang memicu perubahan iklim ini mencapai 60 persen di tingkat dunia,” ujar Arif, Minggu (16/6).
“Dalam konteks perubahan iklim, jika rencana ini dilanjutkan, maka emisi gas rumah kaca yang akan dihasilkan akan luar biasa besar. Dan ini mengancam komitmen Presiden SBY untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari Indonesia pada tahun 2020 sebesar 26 persen. Jika pembangunan PLTU raksasa ini dilanjutkan, maka otomatis emisi dari sektor energi akan sangat besar.”
Penggunaan batubara ini telah terbukti menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang cukup signifikan. PLTU ini akan dibangun di kawasan pantai tempat lebih dari 50 ribu anggota keluarga petani dan nelayan menggantungkan hidup.
Dari penelitian Greenpeace terungkap, PLTU berkapasitas kecil yang sudah dibangun pemerintah di berbagai lokasi di Pulau Jawa, terbukti telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan kerugian ekonomi bagi masyarakat. Jika pemerintah tetap membangun PLTU berkapasitas 2.000 megawatt ini, dikhawatirkan dampak yang muncul akan jauh lebih merusak.
“PLTU berbahan bakar batubara ini memang merusak. Kita bisa melihat dimana pun lokasi pembangunan PLTU, misalnya di Jepara, Cilacap dan Cirebon, bagaimana ekosistem laut rusak. Bahkan di Jepara terjadi hujan asam akibat merkuri. Itu juga akan terjadi di Batang,” ujar Arif pada VOA, Minggu (16/6).
“Kalau pemerintah tetap bersikeras melanjutkan pembangunan ini, maka warga yang akan menjadi korban. Padahal sudah jelas, rekomendasi dari Badan Lingkungan Hidup Jawa Tengah pada 2012 yang menyatakan bahwa lokasi yang dipilih untuk pembangunan PLTU Batang ini kawasan konservasi laut daerah dan lokasi ini juga merupakan lahan subur.”
Sementara itu, aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Wahyu Nandang Herawan menyatakan, lebih dari 85 persen warga setempat telah menyatakan penolakan pembangunan PLTU. LBH Semarang telah mendampingi warga memperjuangkan aspirasinya selama dua tahun terakhir ini. Wahyu berharap, pemerintah mendengar keinginan mayoritas warga dan tidak memaksakan target pembangunan pada tahun depan, dengan mengambil resiko terjadi konflik.
“Penolakan masyarakat terhadap rencana pembangunan PLTU ini sangat besar. Bahkan sampai 85 persen warga menolak PLTU Batang. Masyarakat khawatir dengan ancaman akan hilangnya mata pencaharian warga dan rusaknya lingkungan itu sendiri. Kalau memang pemerintah peduli dengan masyarakatnya, maka saya pikir tidak perlu sampai terjadi bentrok dan bertumpah darah, artinya pemerintah harus lebih memikirkan aspirasi rakyat. Karena kita tidak bisa berbicara mengenai pemenuhan kebutuhan listrik, jika kemudian masyarakat yang dikorbankan,” ujarnya.
PLTU bertenaga batubara di kabupaten Batang, Jawa Tengah ini akan menjadi fasilitas raksasa yang terbesar di Asia Tenggara jika jadi dibangun. Pemerintah saat ini terus melakukan pembebasan lahan hingga seluas 700 hektar, untuk memastikan proses pembangunan pembangkit mulai awal 2014 nanti. Diperkirakan, dalam kurun waktu tiga tahun, pembangunannya akan selesai.
Para aktivis meyakini, ekosistem pesisir pantai utara Jawa yang kaya ikan dan terumbu karang, akan menerima dampak negatif luar biasa dari proyek ini.
Pembangunan PLTU tersebut adalah salah satu bagian dari program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), untuk menjamin pasokan listrik terutama bagi kawasan industri agar pertumbuhan ekonomi terjaga.
Namun, menurut Arif Fiyanto, juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, semangat pertumbuhan ekonomi itu tidak boleh mengorbankan lingkungan.
Menurutnya, penggunaan batubara sebagai bahan bakar PLTU adalah pilihan yang keliru. Batubara adalah sumber polusi dan hal itu akan berlawanan dengan semangat pemerintah Indonesia sendiri untuk menurunkan emisi karbon nasional di tahun-tahun mendatang, ujarnya.
“Batubara ini adalah bahan bakar fosil terkotor, dengan emisi karbon tertinggi. Secara global, emisi karbon yang dihasilkan oleh batubara yang memicu perubahan iklim ini mencapai 60 persen di tingkat dunia,” ujar Arif, Minggu (16/6).
“Dalam konteks perubahan iklim, jika rencana ini dilanjutkan, maka emisi gas rumah kaca yang akan dihasilkan akan luar biasa besar. Dan ini mengancam komitmen Presiden SBY untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari Indonesia pada tahun 2020 sebesar 26 persen. Jika pembangunan PLTU raksasa ini dilanjutkan, maka otomatis emisi dari sektor energi akan sangat besar.”
Penggunaan batubara ini telah terbukti menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang cukup signifikan. PLTU ini akan dibangun di kawasan pantai tempat lebih dari 50 ribu anggota keluarga petani dan nelayan menggantungkan hidup.
Dari penelitian Greenpeace terungkap, PLTU berkapasitas kecil yang sudah dibangun pemerintah di berbagai lokasi di Pulau Jawa, terbukti telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan kerugian ekonomi bagi masyarakat. Jika pemerintah tetap membangun PLTU berkapasitas 2.000 megawatt ini, dikhawatirkan dampak yang muncul akan jauh lebih merusak.
“PLTU berbahan bakar batubara ini memang merusak. Kita bisa melihat dimana pun lokasi pembangunan PLTU, misalnya di Jepara, Cilacap dan Cirebon, bagaimana ekosistem laut rusak. Bahkan di Jepara terjadi hujan asam akibat merkuri. Itu juga akan terjadi di Batang,” ujar Arif pada VOA, Minggu (16/6).
“Kalau pemerintah tetap bersikeras melanjutkan pembangunan ini, maka warga yang akan menjadi korban. Padahal sudah jelas, rekomendasi dari Badan Lingkungan Hidup Jawa Tengah pada 2012 yang menyatakan bahwa lokasi yang dipilih untuk pembangunan PLTU Batang ini kawasan konservasi laut daerah dan lokasi ini juga merupakan lahan subur.”
Sementara itu, aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Wahyu Nandang Herawan menyatakan, lebih dari 85 persen warga setempat telah menyatakan penolakan pembangunan PLTU. LBH Semarang telah mendampingi warga memperjuangkan aspirasinya selama dua tahun terakhir ini. Wahyu berharap, pemerintah mendengar keinginan mayoritas warga dan tidak memaksakan target pembangunan pada tahun depan, dengan mengambil resiko terjadi konflik.
“Penolakan masyarakat terhadap rencana pembangunan PLTU ini sangat besar. Bahkan sampai 85 persen warga menolak PLTU Batang. Masyarakat khawatir dengan ancaman akan hilangnya mata pencaharian warga dan rusaknya lingkungan itu sendiri. Kalau memang pemerintah peduli dengan masyarakatnya, maka saya pikir tidak perlu sampai terjadi bentrok dan bertumpah darah, artinya pemerintah harus lebih memikirkan aspirasi rakyat. Karena kita tidak bisa berbicara mengenai pemenuhan kebutuhan listrik, jika kemudian masyarakat yang dikorbankan,” ujarnya.
PLTU bertenaga batubara di kabupaten Batang, Jawa Tengah ini akan menjadi fasilitas raksasa yang terbesar di Asia Tenggara jika jadi dibangun. Pemerintah saat ini terus melakukan pembebasan lahan hingga seluas 700 hektar, untuk memastikan proses pembangunan pembangkit mulai awal 2014 nanti. Diperkirakan, dalam kurun waktu tiga tahun, pembangunannya akan selesai.
Para aktivis meyakini, ekosistem pesisir pantai utara Jawa yang kaya ikan dan terumbu karang, akan menerima dampak negatif luar biasa dari proyek ini.