Berbagai LSM Tuntut Pemerintah Revisi Pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE

  • Fathiyah Wardah

Prita Mulyasari (kanan) bekas pasien RS OMNI Internasional menerima bantuan dana dari pendukungnya setelah sidang di pengadilan Tangerang, Desember 2009 (foto: dok).

Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat Hak Asasi Manusia meminta pemerintah dan DPR segera merevisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Karena Undang-undang ini akan mengancam kebebasan berekspresi di Indonesia.

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat hak asasi manusia itu diantaranya Kontras, Imparsial, dan YLBHI.

Menurut Dewan Pembina Kontras, Usman Hamid di Jakarta, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang didalamnya terdapat pasal pencemaran nama baik tidak bisa ditoleransi lagi, karena membolehkan individu menggugat individu lain secara pidana sehingga mengancam kebebasan berekspresi.

Usman Hamid mengatakan, " Warga dipidana karena dianggap mencemarkan rumah sakit atau dianggap mencemarkan nama baik orang lain itu mengalami ketakutan karena tidak biasa berurusan dengan hukum."

Pengaduan dan keluhan konsumen yang disalurkan lewat media internet juga bisa dijerat dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini seperti yang terjadi terhadap Prita Mulyasari.

Prita Mulyasari, yang dua tahun lalu digugat oleh rumah sakit Omni International Tangerang karena pencemaran nama baiknya, kini terancam masuk penjara lagi setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi dari Kejaksaan Agung.

Dalam pengajuan kasasinya, Kejaksaan Agung meminta agar MA membatalkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang yang membebas Prita dari tuntutan pidana dan perdata.

MA membebaskan Prita dari tuntutan perdata, sehingga dia tidak harus membayar ganti rugi Rp20 miliar kepada Omni.

Tetapi, MA mengabulkan kasasi pidana Kejaksaan Agung sehingga Prita tidak bebas dari hukuman pidana dalam kasus pencemaran nama baik itu.

Praktisi Hukum, Todung Mulya Lubis menyayangkan keputusan Mahkamah Agung tersebut. Dia menilai pasal pencemaran nama baik dalam hukum di Indonesiaseharusnya segera dihapus.

Ia mengatakan, "Prita menggunakan haknya untuk mengkritik manajemen rumah sakit yang merugikan kepentingan pasien. Bahwa dia menggunakan media online untuk itu itu sah-sah saja karena media itu terbuka untuk publik. Mahkamah Agung tidak peka terhadap perubahan-perubahan kesadaran publik yang begitu tinggi termasuk penggunaan teknologi informasi yang betul-betul canggih sekarang ini".

Sementara itu, Anggota Komisi I yang salah satunya membidangi soal informasi, Roy Suryo memastikan DPR setuju akan adanya revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik itu. "Mari kita rubah UU ITE terutama dipasal 27," ujar Roy Suryo.

Sebelumnya, Deputi Direktur Human Rights Watch Divisi Asia, Elaine Pearson mengatakan pasal pencemaran nama baik hadir untuk melindungi individu dari penghancuran reputasi. Namun, di Indonesia hukum ini diterapkan secara pidana dan bukan perdata dengan sanksi berat hingga hukuman kurungan badan. Aturan ini menurut Human Rights Watch racun bagi demokrasi di Indonesia