Lembaga riset dan advokasi dalam bidang hukum dan kebijakan lingkungan hidup, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) meminta pemerintah merevisi keputusan yang mencabut abu batu bara dari kategori limbah B3. Limbah batu bara dianggap berbahaya bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup, dan abunya yang mengandung bahan beracun dapat merusak organ tubuh.
"Dalam abu batu bara ini banyak polutan-polutan seperti arsenik, kadmium, kromium yang dapat menyebabkan terjadinya kanker, ginjal, kerusakan organ reproduksi dan kerusakan pada sistem syaraf khususnya anak-anak," jelas Deputi Direktur ICEL Grita Anindarini kepada VOA, Jumat (14/3).
Kebijakan pencabutan abu batu bara sebagai limbah B3 tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diundangkan 2 Februari 2021. Abu batu bara sendiri biasanya ditemukan dalam pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga uap (PLTU) yang menggunakan bahan bakar batu bara.
Anindarini menjelaskan, kebijakan pemerintah tersebut tidak sejalan dengan prinsip kehati-hatian dalam mencegah terjadinya pencemaran lingkungan di masyarakat. Sebab, abu batu bara sebagai limbah non-B3 tidak perlu diuji terlebih dahulu. Karena itu, Anindarini mendesak pemerintah mencabut kelonggaran pengelolaan abu batubara dan mengkategorikan kembali abu batu bara sebagai limbah B3.
Anindarini menambahkan kebijakan ini juga berpotensi melemahkan penegakan hukum terhadap pelaku usaha pengelola abu batu bara, baik secara perdata maupun pidana. Hal ini dikarenakan abu batubara sudah tidak masuk dalam kategori limbah B3.
Di sisi lain, kata Anindarini, pelonggaran regulasi ini dapat membuat Indonesia tertinggal dari negara-negara di ASEAN yang mulai beralih ke energi terbarukan, seperti surya dan angin. Semisal Vietnam yang meningkatkan produksi pembangkit listrik tenaga surya menjadi 5 Gigawatt pada 2019 dari sebelumnya 100 Megawatt pada 2017.
"Sekarang beberapa bank internasional itu sudah berkomitmen untuk tidak mendanai proyek-proyek PLTU Batu Bara. Jadi komitmen internasional untuk beralih ke energi bersih sudah semakin menguat. Harusnya Indonesia seperti itu, bukan justru mendukung proyek-proyek energi fosil lagi," tambahnya.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun (PSLB3) Sayed Muhadar menjelaskan tidak semua abu batu bara masuk dalam kategori non-B3. Menurutnya hasil pembakaran batu bara pada temperatur rendah dari fasilitas stoker boiler atau tungku industri tetap dikategorikan sebagai limbah B3. Alasannya karbon yang tidak terbakar masih tinggi dan kurang sempurna.
"Kami memahami masukan dari teman-teman LSM. Dan kami selalu terbuka dengan masukan mereka," jelas Sayed kepada VOA, Sabtu (13/3).
Sementara untuk pembakaran batu bara pada temperatur tinggi yang karbon yang tidak terbakar menjadi minimum dan lebih stabil saat disimpan. Kata dia, ini membuat abu batu bara dari fasilitas ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, subtitusi semen, jalan, tambang bawah tanah, serta restorasi tambang.
Your browser doesn’t support HTML5
Kendati demikian, penghasil limbah non-B3 tetap memiliki kewajiban untuk memenuhi standar dan persyaratan teknis yang ditetapkan dan tercantum dalam persetujuan dokumen lingkungan. Semisal persyaratan teknis, tata cara penimbunan dan pemanfaatan abu batu bara.
Menurut KLHK, sejumlah negara seperti Jepang, Eropa, Amerika Serikat juga telah mengkategorikan abu batu bara sebagai limbah non-B3 dengan tata cara dan standar pengelolaan yang diterapkan di Indonesia. [sm/ah/em]