Sejak era reformasi menyapa Indonesia pada tahun 1998, Indonesia telah empat kali melangsungkan pemilu presiden secara langsung untuk memilih pemimpin negeri ini. Namun, pemilu masih dilangsungkan secara bertahap di tingkat daerah dan nasional, dengan memakan anggaran yang besar dan kerap memicu konflik internal partai hingga ke tingkat akar rumput.
Mengingat hal itu sejumlah pengamat menilai sudah saatnya Indonesia melangsungkan pemilu secara serentak pada tahun 2019 mendatang. Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto dalam diskusi tentang pemilu di kantor PP Muhammadiyah, Jakarta hari Rabu (18/5) mengatakan selain menghemat anggaran antara 20 – 25 triliun rupiah, pemilu serentak juga bisa meredam terjadinya konflik internal setiap kali terjadi pencalonan tokoh kunci. Misalnya dalam pencalonan gubernur, walikota hingga bupati.
"Pemilu nasional memilih Presiden, DPR dan DPR. Pemilu daerah memilih DPRD dan kepala daerah sehingga yang dulu satu periode (5 tahun) ada beberapa kali pemilu (presiden , legislatif disusun pilkada setiap tahun. Nanti jika ada pemilu serentak, nanti dalam 5 tahun Cuma ada satu kali pemilu (pemilu nasional dan daerah)," papar Didik.
Sementara, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Saldi Isra mengatakan mengingat pemilu serentak memerlukan energi yang sangat besar maka seharusnya presiden Joko Widodo sudah mulai memberikan instruksi kepada menteri yang punya otoritas seperti menteri dalam negeri untuk segera mempersiapkan Undang-undang terkait soal pemilu serentak ini.
"Bisa saja Undang-undang diselesaikan satu tahun sebelum pemilu tetapi kita tidak ada waktu yang cukup untuk memperhitungkan kelemahan-kelemahan yang muncul.Selam ini tidak ada waktu yang cukup untuk memperhitungkan apakah norma yang disusun saling mendukung atau saling bertentangan," tutur Saldi Isra.
Your browser doesn’t support HTML5
Pengamat politik LIPI Dr. Syamsuddin Haris mengatakan, meskipun pemilu serentak dapat memperkecil terjadinya politik uang, tetap harus ada sanksi administratif yang tegas jika ada pasangan calon dalam pemilu yang terlibat politik uang.
Sanksi administratif itu, tambah Haris, berupa diskualifikasi. Selama ini sanksi pidana yang diterapkan kepada mereka yang terlibat politik uang dalam pemilu memakan waktu yang sangat panjang dan tak jarang bisa dimanipulir.
"Meminimalkan politik uang sebab oportunisme politik jadi diminimalkan akibat keserentakan maka tidak ada peluang calon anggota DPRD maju dalam pilkada karena pemilunya sama. Konteks pemilu presiden, tidak ada peluang lagi calon anggota DPR untuk maju dalam pemilu presiden karena waktunya sama," demikian ujar Haris. [fw/em]