Pengarusutamaan gender (PUG) adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi suatu dimensi perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengendalian kebijakan serta program pembangunan nasional. Namun, menurut Ketua Dewan Pengurus Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI) Sumatera Utara, Laili Zailani, pemerintah dinilai mengabaikan Peraturan Kepala (Perka) BNPB No 13 tahun 2014 tentang pengarusutamaan gender dalam pembentukan satgas percepatan penanganan virus corona.
"Dalam konteks kebencanaan situasi pandemi virus corona saya melihat pemerintah abai dalam pengarusutamaan gender. Padahal Perka BNPB ini mengatur kewajiban untuk memperhatikan pengalaman perempuan pada saat bencana agar intervensi penanganan sesuai dengan kebutuhan. Sayangnya Perka ini tidak menjadi rujukan hukum," kata Laili dalam diskusi daring bertema "Menjadikan Inklusi dan Partisipasi Warga Sebagai Obat Mujarab Covid-19", Rabu (6/5).
Laili melanjutkan, banyak konsekuensinya ketika pengarusutamaan gender tidak menjadi pertimbangan. Salah satunya adalah diskriminasi, khususnya perempuan. Lalu, risiko kekerasan terhadap perempuan akibat dari kebijakan untuk di rumah saja.
"Perempuan menanggung multi beban. Tekanan sosial lebih kuat kepada perempuan untuk dituntut lebih mampu menjalankan berbagai peran, menyukseskan kebijakan pemerintah untuk tetap di rumah saja. Ini tekanan dan bebannya lebih banyak diserahkan ke perempuan," ungkapnya.
Diabaikannya pengarusutamaan gender dalam penanganan virus corona juga berdampak terhadap keterwakilan perempuan. Minimnya representasi perempuan akan mempengaruhi kebijakan strategis yang diambil.
"Saya coba mengidentifikasi di tingkat gugus tugas nasional saya hanya menemukan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati sebagai Dewan Pengarah yang belakangan tidak muncul lagi. Bahkan tidak ada nama Bintang Puspayoga (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). Sementara di daerah, ketua gugus tugas adalah kepala daerah yang jumlahnya hanya sekitar delapan persen, kalau mengacu pada jumlah kepala daerah perempuan yang terpilih dalam Pemilu 2015, 2017, dan 2018. Jadi representasi perempuan minim," jelas Laili.
BACA JUGA: Menempatkan Perempuan di Tengah Isu EkstremismeKemudian, Laili menambahkan diskriminasi dan risiko kekerasan terhadap perempuan dengan kebijakan di rumah saja akan lebih tinggi. Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak per 2 Maret sampai 25 April 2020 ada 275 kasus kekerasan yang dialami perempuan dewasa dengan total korban sebanyak 277 orang. Lalu, 368 kasus kekerasan yang dialami anak, dengan korban sebanyak 407 anak.
Your browser doesn’t support HTML5
"Beban kerja perempuan bertambah. Perempuan rentan stress dan sakit karena harus mendahulukan anak-anak dan suami dibanding dirinya sendiri menimbulkan kecemasan, ketakutan, ini jelas akan meningkatkan risiko kekerasan terhadap perempuan. Ini juga bisa dibaca sebagai tingginya risiko kekerasan terhadap perempuan akibat dari situasi sekarang dengan kebijakan di rumah saja," sebut Laili.
Berdasarkan data yang dihimpun HAPSARI, sebanyak 256.326 orang perawat Indonesia atau 71 persen adalah perempuan dan hanya 103.013 orang atau 29 persen perawat laki-laki yang terlibat langsung dalam penanganan virus corona. Itu artinya peran dan kontribusi perempuan cukup nyata. Tapi tingginya partisipasi tersebut tidak diikuti dengan penguatan akses dan kontrol terhadap kebijakan strategis untuk perlindungan yang memadai bagi perempuan serta anak termasuk kelompok rentan.
BACA JUGA: Menlu: Diskriminasi terhadap Perempuan Saat Pandemi Covid-19 Harus Dicegah"Di Sumatra Utara, perempuan hanya dilibatkan dalam rapat-rapat penanganan virus corona ketika ada kasus yang berhubungan dengan perempuan dan anak. Tapi rapat-rapat yang besar tentang strategi kebijakan penanganan virus corona di daerah itu tidak melibatkan Dinas Pemberdayaan Perempuan. Ini berdampak kepada ketersediaan protokol-protokol mekanisme sistem penanganan virus corona mengabaikan kebutuhan atau kepentingan perempuan," turur Laili.
Seharusnya Perka BNPB menjadi rujukan pengarusutamaan gender dalam respons kedaruratan bencana bahwa setiap warga negara memperoleh hak perlindungan yang setara dan adil untuk keluar dari masa sulit ini. Bukan sekadar soal keterwakilan representasi jenis kelamin. Keterwakilan perempuan akan memastikan terpenuhinya kebutuhan kaum hawa, dan memastikan tidak diabaikannya salah satu kelompok rentan (perempuan, anak, lansia, difabel) yang mestinya diperhatikan dan menjadi sasaran penerima manfaat intervensi pemerintah yang cukup serius dalam menangani virus corona.
"Dalam proses memitigasi dampak virus corona sayangnya pemerintah masih belum melakukan gender main streaming. Jadi hal ini akan berbahaya karena tidak ada keterwakilan perempuan yang bisa memastikan kebutuhan kelompok perempuan itu sendiri," tegas Laili.
Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo menuturkan laporan Entitas Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan memperlihatkan beban kaum hawa makin bertambah selama pandemi corona.
"Korban secara medis memang banyak laki-laki, tapi kita tidak bisa lihat korban secara ekonomi, sosial, dan budaya. Itu pentingnya perspektif gender. Ini bukan soal medis tapi juga soal sosial kultural," katanya.
BACA JUGA: Perempuan, Salah Satu Kelompok Paling Rentan dalam Pandemi CoronaSementara itu, Direktur PIAR Nusa Tenggara Timur (NTT), Sarah Lery Mboik mengungkapkan krisis virus corona berdampak memprihatinkan di NTT. Sistem kesehatan masyarakat telah dilemahkan berbagai penghematan sehingga banyak perempuan dan anak terlantar. Wabah virus corona, contohnya, meningkatkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
"Membuat mereka menghadapi diskriminasi dan menanggung beban yang cukup berat belakangan ini. Angka stunting, gizi buruk cukup tinggi di NTT, dan kesulitan akses kesehatan yang masih sangat minim. Dan juga efek pendidikan anak-anak. Kita tahu bahwa sekarang pakai belajar daring bagaimana anak-anak di NTT yang tidak bisa akses listrik mau ikut virtual. Aspek pendidikan mereka seperti apa, anak-anak di NTT anggap ini libur karena tidak bisa apa-apa," pungkasnya. [aa/ab]