Pemerintah kembali melakukan eksekusi atau hukuman mati tahap ketiga terhadap terpidana kasus narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba). Namun, dari rencana 14 orang, Kejaksaan Agung hanya mengeksekusi empat orang pada eksekusi mati jilid III ini.
Jaksa Agung M. Prasetyo dalam keterangan persnya di Gedung Kejaksaan Agung, Jumat (29/7) tidak mengungkapkan alasan penundaan pelaksanaan eksekusi mati secara rinci terhadap 10 orang terpidana lainnya.
"Penangguhan ini tentunya setelah melalui pengkajian secara komprehensif dengan begitu cermat detail. Dan menghindari segala kemungkinan kesalahan, baik dari sisi yuridis maupun non yuridis. Maka dengan demikian saya selaku Jaksa Agung menerima apa yang diputuskan oleh tim lapangan ini," ujarnya.
Prasetyo menjelaskan menjelang eksekusi, Jaksa Agung Muda Pidana Umum melaporkan adanya persoalan yuridis dan non yuridis yang menyebabkan eksekusi 10 terpidana mati ditangguhkan.
Sementara terhadap empat terpidana tetap dilakukan eksekusi, mengingat tingkat kejahatannya. Prasetyo memastikan pihak kejaksaan Agung ingin semua aspek itu tidak ada yang terlanggar.
Prasetyo juga mengatakan Pemerintah Indonesia berusaha memenuhi hak-hak para terpidana mati, mulai dari pendampingan rohaniawan, keluarga, hingga komunikasi dengan pihak kedutaan besar yang warga nya dieksekusi mati.
"Mereka sudah dilakukan pendampingan-pendampingan, oleh rohaniawan. Kepada para duta besar yang warganegaranya dieksekusi juga sudah di berikan notifikasi. Itu penyampaian dari Menteri Luar Negeri. Jadi semua tahapan sudah kita lalui. Termasuk permintaan terakhirnya apa," ujarnya.
Pemerintah Indonesia, lanjut Jaksa Agung, berharap semua kalangan, termasuk dunia internasional, memahami dan menghormati hukum di Indonesia terkait pelaksanaan hukuman mati terhadap terpidana kasus narkoba.
"Saya harapkan semua pihak bisa memahami ini. Kita menyadari ada yang tidak sepaham. Bagaimanapun ini bukan pekerjaan yang tidak menyenangkan. Tapi tetap harus dilakukan," tambah Prasetyo.
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara itu, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, pemerintah mempertimbangkan masukan semua pihak terkait pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati narkoba.
Masukan itu termasuk yang diberikan oleh mantan Presiden Bacharudin Jusuf Habibie yang meminta penundaan eksekusi mati Zulfiqar Ali, dan permintaan dari Komnas Perempuan yang meminta penundaan eksekusi Merry Utami. Presiden Joko Widodo sudah mengetahui permintaan penangguhan eksekusi mati terhadap Zulfiqar dan Merry.
Dalam suratnya kepada Presiden Joko Widodo mantan Presiden Habibie meminta agar Presiden Jokowi meninjau kembali keputusan eksekusi mati terhadap terpidana mati asal Pakistan, Zulfiqar Ali.
Habibie dalam suratnya mengatakan, dari laporan para advokat dan lembaga swadaya masyarakat yang telah mempelajari kasus-kasus hukuman mati, warga negara Pakistan Zulfiqar Ali dinilai tidak bersalah.
"Saya mengimbau kepada Bapak Prersiden untuk meninjau atau mempertimbangkan kembali keputusan eksekusi tersebut," tulis Habibie.
Masih dalam surat itu, Habibie juga meminta Presiden untuk mempertimbangkan kembali penetapan kebijakan moratorium pada hukuman mati. Menurut dia, lebih dari 140 negara di dunia sudah menerapkan kebijakan moratorium atau penghapusan hukuman mati.
Jumat dini hari tadi, di tengah hujan deras dan angin kencang, Pemerintah Indonesia melakukan eksekusi terhadap Freddy Budiman (37) warga negara Indonesia, Michael Titus (34), Humprey Ejike (40), dan Cajetan Uchena Onyeworo Seck Osmane (34).
Freddy dipidana mati atas kasus impor 1,4 juta butir pil ekstasi. Sementara Titus dari Nigeria terlibat barang bukti 5.223 gram heroin, lalu Humprey Ejike alias Doktor juga warga Nigeria dengan barang bukti 300 gram heroin. Sementara Osmane adalah warga Afrika Selatan dengan barang bukti 2,4 Kg heroin.
Berikut nama dan kasus berat yang dilakukan 10 terpidana yang ditunda eksekusinya:
- Obina Nwajagu (40), warga Nigeria. Barang bukti 1400 gram heroin
- Ozias Sibanda (31), warga Zimbabwe. Barang bukti 850 gram heroin
- Zulfiqar Ali, warga Pakistan. Barang bukti 300 gram heroin
- Merry Utami (42), WNI. Barang bukti 1,1 kg heroin
- Gurdip Singh (36), warga India. Barang bukti 300 gram heroin
- Fedderikk Luttar (39), warga Nigeria. Barang bukti 1000 gram heroin
- Eugene Ape (44), warga Nigeria. Barang bukti 300 gram heroin
- Agus Hadi (53), WNI. Barang bukti 25.499 butir ekstasi
- Pujo Lestari (42), WNI. Barang bukti 25.499 butir ekstasi
- Okonnkwo Nonso (34), warga Nigeria. Barang bukti 1,18 Kg heroin
Pada tahun 2015, Pemerintah Indonesia telah mengeksekusi 14 terpidana mati kasus narkoba. Enam di antaranya dieksekusi tahap pertama pada 18 Januari 2015 di Nusakambangan dan Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) Boyolali Jawa Tengah. Eksekusi mati tahap kedua dilakukan pada 29 April 2015 terhadap delapan orang terpidana mati kasus narkoba di Nusakambangan Cilacap Jawa Tengah.