Sudah empat tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo berjalan, namun banyak kasus intoleransi yang terjadi dan tidak terselesaikan.
Dalam sebuah diskusi memperingati Hari Toleransi Internasional yang digelar Setara Institute di sebuah hotel di Jakarta Pusat, Jumat (16/11), politikus dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Mohamad Guntur Romli menyerukan pemerintah untuk terus mendorong terciptanya budaya toleransi di tengah masyarakat Indonesia dan meningkatkan komitmen pada Pancasila, kebangsaan, dan kebhinnekaan dengan mencabut aturan diskriminatif yang di beberapa daerah.
"Harus punya keberanian untuk mencabut. Kita bicara pemerintah yang dari level pusat sampai daerah. Misalnya katakanlah berbasis agama tertentu, di kalangan muslim, ya harus dicabut perda berbau syariah atau yang di Papua yang hanya untuk membela kalangan Kristen, yang Injil, itu harus dicabut," ujar Guntur.
Guntur Romli mengakui selama empat tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo ada kecenderungan meningkatnya intoleransi dan politik identitas. Joko Widodo terkesan kewalahan dengan berbagai serangan dari kubu oposisi, yang menudingnya sebagai anak anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), anti-Islam, pro-China atau China, dan sebagainya.
Alhasil menurut Guntur Romli, Presiden Joko Widodo tampak kurang tegas melaksanakan agenda-agenda toleransinya. Namun ditambahkannya bahwa dengan keberadaan Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden, sedianya Jokowi tidak lagi ragu mengambil sikap terhadap tudingan tidak berdasar yang disampaikan kubu oposisi.
Faldo Maldini, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional yang sekaligus juru bicara tim pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, menjelaskan bahwa dalam konteks toleransi, negara harus melindungi hak-hak setiap warga negaranya untuk menjalankan kepercayaannya, bukan melangkahi aturan-aturan yang telah disepakati.
BACA JUGA: 'Tebang Pilih' Penggunaan Hukum Syariah Islam di AcehFaldo menilai saat ini masih ada beberapa regulasi pemerintah yang mencederai semangat toleransi. Dia menegaskan siapa saja pasangan terpilih pada pemilihan presiden tahun depan harus menyelesaikan persoalan tersebut.
"Berbicara mengenai politik identitas, seperti dalam kasus Ahok," menurut Faldo, "Biarkan hukum memutuskan. Orang Islam itu boleh memilih pemimpin Islam dan itu dilindungi oleh konstitusi. Begitu pula mereka boleh memilih pemimpin non-Islam dan itu dilindungi oleh konstitusi," katanya.
Meski begitu, Faldo mengakui banyak pasal karet dalam beberapa UU, seperti UU informasi dan transaksi elektronik (ITE) yang bisa merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam kesempatan itu Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menyorot undang-undang penistaan agama yang telah menimbulkan banyak korban. Banyak kasus tidak berdasarkan fakta, tetapi lebih banyak berdasarkan prasangka. Ketersinggungan sosial kerap dimanfaatkan untuk menggerakkan massa dan politisasi.
Bonar mengatakan sebenarnya dalam undang-undang penistaan agama ada peluang negara untuk memberikan peringatan lebih dulu sebelum perkara tersebut masuk ke dalam proses hukum . Tapi kenyataannya, peringatan itu tidak pernah diberikan.
"Misalnya kasus Ahok. Seharusnya negara memberikan peringatan bahwa apa yang dilakukan Ahok menimbulkan ketersinggungan pada sekelompok tertentu, kemudian negara mengambil inisiatif untuk melakukan mediasi. itu sebetulnya ada peluang tapi tidak terjadi. Karena kemudian rivalnya melakukan politisasi, desakan massa," tukas Bonar.
BACA JUGA: Ratusan Milenial Lawan Intoleransi dan RadikalismeSelain itu, lanjut Bonar, aparat sipil negara lebih mengedepankan preferensi keagamaannya ketimbang profesionalitas dan netralitasnya sebagai aparatur sipil negara. Akibatnya, tidak ada satupun kasus penistaan agama bebas, semua pelaku dinyatakan bersalah.
Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin, pakar pemikiran keagamaan internasional, mengungkapkan persoalan-persoalan agama jangan diselesaikan melalui mekanisme hukum karena hal ituakan makin memperuncing konflik sosial. Dia mendorong agar lebih diutamakan proses mediasi dalam menyelesaikan kasus agama.
Menurut Siti Ruhaini, agama harus diletakkan pada nilai, bukan pada agama. Ia mencontohkan, tidak pernah ada di negara manapun atau kekhalifahan siapapun, di mana negara mengatur shalat warganya karena itu urusan pribadi antara individu dan Tuhannya. [fw/em]