Ekonom dan pengusaha mendesak pemerintah segera mengatasi masalah pertumbuhan ekonomi yang mencapai tingkat terendah dalam tiga tahun terakhir.
JAKARTA —
Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa waktu lalu melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2013 mencapai 6,02 persen, atau terendah sejak kuartal keempat 2010 yang mencapai 6,81 persen.
BPS juga menegaskan angka sebesar 6,81 persen tersebut merupakan capaian tertinggi karena setelah itu pertumbuhan ekonomi terus turun hingga saat ini.
Menurut Wakil Sekretaris Asosiasi Pengusaha Seluruh Indonesia (Apindo), Franky Sibarani, pemerintah harus segera merespon hasil laporan BPS mengenai pertumbuhan ekonomi tersebut.
“Pemerintah harus segera melakukan perbaikan-perbaikan, salah satunya itu adalah penetapan harga BBM (bahan bakar minyak) jangka pendek. Karena kalau kita lihat kalau tidak diimbangi dengan kebijakan-kebijakan yang progresif yang membangun saya kira ini akan terus sampai dengan akhir tahun depan,” ujarnya, Sabtu (11/5).
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Nina Sapti, mengatakan anggaran negara akan terus bermasalah selama persoalan subsidi BBM tidak segera dibenahi pemerintah. Kondisi itu, ditambahkannya, akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
“Karena kita sebetulnya berhasil menjaga stabilitas di beberapa komoditas utama, tapi yang jadi persoalan tetap satu sektor yang memakan uang APBN kita paling besar yaitu energi, dengan produksi yang tidak tercapai hanya 860 ribu barrel (per hari). Artinya impor pasti lebih besar lagi tahun ini, dan konsumsi belum berhasil ditekan,” ujarnya.
“Itu pekerjaan rumah besar yang ada di dalam negeri. Bagaimana kita mau mengecilkan jumlah subsidi BBM yang sebetulnya uangnya kalau kita bisa hemat, bisa dipakai untuk membangun infrastruktur dan industri yang saat ini memang menjadi target utama, supaya bisa menjaga pertumbuhan sektor riil, sehingga bisa memperkuat daya saing dalam hal produktivitas di sektor industri, pertanian. Itu semua infrastruktur kuncinya tapi tentu saja perlu waktu dan perlu uang.”
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik mengatakan pemerintah menolak jika dinilai lambat dalam menentukan kebijakan terkait subsidi BBM. Pemerintah berharap masyarakat mendukung upaya pemerintah mencari solusi terbaik soal subsidi BBM, ujarnya.
“Ajak masyarakatnya untuk tenang, jadi pemerintah bekerja dengan baik, jadi jangan takutlah. Jangan menimbun, ada kok barangnya. Tenang saja, kita hitung yang benar,” ujarnya.
Tahun ini pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen, namun Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, mengakui target tersebut sulit tercapai. Menurut Hatta, akibat hampir seluruh negara melakukan koreksi angka pertumbuhan ekonomi turun di negaranya masing-masing, kemungkinan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terkena dampak negatif sehingga diprediksi menjadi sekitar 6,3 persen.
Inflasi Sulit Dikendalikan
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution pada Jumat (10/5) mengatakan Bank Indonesia khawatir inflasi tahun ini sulit dikendalikan bukan hanya karena faktor moneter, namun juga persoalan pangan.
Menurut Darmin Nasution, pihaknya sudah berupaya mengendalikan inflasi melalui berbagai kebijakan moneter, dan langkah serupa juga harus dilakukan pemerintah terutama dalam mengatasi masalah pangan. Berbagai kebijakan harus segera diterapkan pemerintah agar masalah pangan berjalan dengan baik, terutama stok komoditas harus seimbang dengan kebutuhan masyarakat, ujarnya.
Selain itu, ia juga berharap masyarakat Indonesia mengubah pola konsumsi dan tidak terlampau bergantung pada produk impor. Hal tersebut, ujarnya, sangat berpengaruh terhadap laju inflasi jika sewaktu-waktu stok impor tidak cukup, sehingga mengganggu suplai dan kebutuhan yang langsung berpengaruh negatif terhadap inflasi.
“Tapi makin lama inflasi itu memang makin sulit untuk diturunkan sama kecepatannya dengan sebelumnya. Kedua, ini juga ada hubungannya dengan kemampuan kita untuk mencetak sawah baru, mengubah kebiasaan dan sebagainya. Banyak kebiasaan yang mempengaruhi kebutuhan pangan,” ujar Darmin.
Sementara itu staf khusus Menko bidang Perekonomian, Purbaya Yudi Sadewa berpendapat, meski persoalan pangan sering mengalami gejolak, ia optimistis pemerintah masih mampu mengendalikan inflasi. Langkah serupa juga dapat dilakukan pemerintah terkait rencana kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi, ujarnya.
“Di dalam negeripun tekanan keatas untuk harga pangan akan relatif kecil dan tekanan untuk menaikkan harga BBM-pun harusnya kecil, artinya inflasi akan cenderung terkendali, masih lima persen,” ujarnya.
Pengamat ekonomi dari lembaga kajian ekonomi, Indef, Didik Rachbini berpendapat, pemerintah harus lebih fokus mengatasi pangan karena dapat memicu gejolak sosial.
“Pemerintah perlu mendukung sarana produksi terutama untuk benih dan pupuknya harus tersedia lebih banyak diperlukan oleh petani,” ujarnya.
Inflasi Indonesia melambat menjadi 5,57 persen secara tahunan pada April 2013. Menurut data resmi yang diluncurkan 1 Mei, hal ini disebabkan oleh turunnya harga pangan pasca kebijakan pemerintah yang melonggarkan beberapa batasan impor.
Tingkat inflasi ini melambat dari 5,90 persen pada Maret, namun masih di atas batas atas target Bank Indonesia pada 3,5 persen-5,5 persen.
BPS juga menegaskan angka sebesar 6,81 persen tersebut merupakan capaian tertinggi karena setelah itu pertumbuhan ekonomi terus turun hingga saat ini.
Menurut Wakil Sekretaris Asosiasi Pengusaha Seluruh Indonesia (Apindo), Franky Sibarani, pemerintah harus segera merespon hasil laporan BPS mengenai pertumbuhan ekonomi tersebut.
“Pemerintah harus segera melakukan perbaikan-perbaikan, salah satunya itu adalah penetapan harga BBM (bahan bakar minyak) jangka pendek. Karena kalau kita lihat kalau tidak diimbangi dengan kebijakan-kebijakan yang progresif yang membangun saya kira ini akan terus sampai dengan akhir tahun depan,” ujarnya, Sabtu (11/5).
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Nina Sapti, mengatakan anggaran negara akan terus bermasalah selama persoalan subsidi BBM tidak segera dibenahi pemerintah. Kondisi itu, ditambahkannya, akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
“Karena kita sebetulnya berhasil menjaga stabilitas di beberapa komoditas utama, tapi yang jadi persoalan tetap satu sektor yang memakan uang APBN kita paling besar yaitu energi, dengan produksi yang tidak tercapai hanya 860 ribu barrel (per hari). Artinya impor pasti lebih besar lagi tahun ini, dan konsumsi belum berhasil ditekan,” ujarnya.
“Itu pekerjaan rumah besar yang ada di dalam negeri. Bagaimana kita mau mengecilkan jumlah subsidi BBM yang sebetulnya uangnya kalau kita bisa hemat, bisa dipakai untuk membangun infrastruktur dan industri yang saat ini memang menjadi target utama, supaya bisa menjaga pertumbuhan sektor riil, sehingga bisa memperkuat daya saing dalam hal produktivitas di sektor industri, pertanian. Itu semua infrastruktur kuncinya tapi tentu saja perlu waktu dan perlu uang.”
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik mengatakan pemerintah menolak jika dinilai lambat dalam menentukan kebijakan terkait subsidi BBM. Pemerintah berharap masyarakat mendukung upaya pemerintah mencari solusi terbaik soal subsidi BBM, ujarnya.
“Ajak masyarakatnya untuk tenang, jadi pemerintah bekerja dengan baik, jadi jangan takutlah. Jangan menimbun, ada kok barangnya. Tenang saja, kita hitung yang benar,” ujarnya.
Tahun ini pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen, namun Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, mengakui target tersebut sulit tercapai. Menurut Hatta, akibat hampir seluruh negara melakukan koreksi angka pertumbuhan ekonomi turun di negaranya masing-masing, kemungkinan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terkena dampak negatif sehingga diprediksi menjadi sekitar 6,3 persen.
Inflasi Sulit Dikendalikan
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution pada Jumat (10/5) mengatakan Bank Indonesia khawatir inflasi tahun ini sulit dikendalikan bukan hanya karena faktor moneter, namun juga persoalan pangan.
Menurut Darmin Nasution, pihaknya sudah berupaya mengendalikan inflasi melalui berbagai kebijakan moneter, dan langkah serupa juga harus dilakukan pemerintah terutama dalam mengatasi masalah pangan. Berbagai kebijakan harus segera diterapkan pemerintah agar masalah pangan berjalan dengan baik, terutama stok komoditas harus seimbang dengan kebutuhan masyarakat, ujarnya.
Selain itu, ia juga berharap masyarakat Indonesia mengubah pola konsumsi dan tidak terlampau bergantung pada produk impor. Hal tersebut, ujarnya, sangat berpengaruh terhadap laju inflasi jika sewaktu-waktu stok impor tidak cukup, sehingga mengganggu suplai dan kebutuhan yang langsung berpengaruh negatif terhadap inflasi.
“Tapi makin lama inflasi itu memang makin sulit untuk diturunkan sama kecepatannya dengan sebelumnya. Kedua, ini juga ada hubungannya dengan kemampuan kita untuk mencetak sawah baru, mengubah kebiasaan dan sebagainya. Banyak kebiasaan yang mempengaruhi kebutuhan pangan,” ujar Darmin.
Sementara itu staf khusus Menko bidang Perekonomian, Purbaya Yudi Sadewa berpendapat, meski persoalan pangan sering mengalami gejolak, ia optimistis pemerintah masih mampu mengendalikan inflasi. Langkah serupa juga dapat dilakukan pemerintah terkait rencana kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi, ujarnya.
“Di dalam negeripun tekanan keatas untuk harga pangan akan relatif kecil dan tekanan untuk menaikkan harga BBM-pun harusnya kecil, artinya inflasi akan cenderung terkendali, masih lima persen,” ujarnya.
Pengamat ekonomi dari lembaga kajian ekonomi, Indef, Didik Rachbini berpendapat, pemerintah harus lebih fokus mengatasi pangan karena dapat memicu gejolak sosial.
“Pemerintah perlu mendukung sarana produksi terutama untuk benih dan pupuknya harus tersedia lebih banyak diperlukan oleh petani,” ujarnya.
Inflasi Indonesia melambat menjadi 5,57 persen secara tahunan pada April 2013. Menurut data resmi yang diluncurkan 1 Mei, hal ini disebabkan oleh turunnya harga pangan pasca kebijakan pemerintah yang melonggarkan beberapa batasan impor.
Tingkat inflasi ini melambat dari 5,90 persen pada Maret, namun masih di atas batas atas target Bank Indonesia pada 3,5 persen-5,5 persen.