Pemerintahan transisi dan aliansi pemberontak Sudan hari Sabtu (3/10) menandatangani perjanjian damai yang sebenarnya telah dimulai sejak Agustus lalu, untuk mengakhiri perang saudara yang sudah berlangsung puluhan tahun.
Mencapai perjanjian damai dengan pemberontak di propinsi-propinsi yang berjauhan letaknya di negara itu telah menjadi target utama pemerintahan transisi, yang mengambilalih kekuasaan lewat pemberontakan yang dipimpin militer untuk menggulingkan Presiden Omar Al Bashir April 2019 lalu.
Pemimpin masyarakat madani Sudan, termasuk Perdana Menteri Abdalla Hamdok, berharap perjanjian damai ini akan membuat mereka dapat memulihkan perekonomian negara yang telah terpukul, dengan memangkas pengeluaran militer yang sejauh ini menelan paling banyak anggaran nasional.
Penandatanganan perjanjian damai hari Sabtu di Juba, Sudan Selatan, menjadi tiitk penting setelah perundingan perjanjian damai sejak akhir Agustus lalu antara pemerintah Sudan dan Front Revolusioner Sudan yang merupakan koalisi sejumlah kelompok bersenjata di negara itu.
Perundingan itu dihadiri oleh Presiden Sudan Selatan Salva Kiir, yang memimpin negara itu meraih kemerdekaan dari Sudan pada tahun 2011 pasca perang saudara selama puluhan tahun. Kepala Dewan Kedaulatan Sudan Jendral Abdel Fattah Burhan dan wakilnya Jendral Mohammed Hamadan Dagalo juga menghadiri upacara itu. Dagalo adalah panglima Pasukan Dukungan Cepat paramiliter, yang sebelumnya juga telah menandatangani kerjasama dengan pemimpin-pemimpin pemberontak.
Sejumlah pejabat negara lain juga hadir, termasuk Utusan Khusus Amerika Untuk Sudan Selatan Donald Booth, Ketua Uni Afrika Moussa Faki, Perdana Menteri Mesir Mustafa Madbouly, dan para pemimpin negara-negara Afrika dan Arab lainnya. [em/jm]