Deputi Bidang Koordinasi Pertambangan dan Investasi Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Septian Hario Seto dalam jumpa pers, Kamis (6/4) mengatakan pihaknya telah menerima surat dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 29 Maret lalu terkait hasil kajian yang diminta oleh pihaknya mengenai rencana impor KRL bekas dari Jepang.
Secara garis besar ada empat kesimpulan dari hasil kajian BPKP tersebut, yang intinya adalah BPKP menyatakan rencana impor KRL bekas itu tidak mendukung rencana pengembangan industri perkeretaapian nasional.
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 175 Tahun 2015 telah mensyaratkan pengadaan umum kereta api kecepatan normal dan penggerak sendiri, termasuk KRL, harus memenuhi spesifikasi adalah mengutamakan produk dalam negeri.
"Kementerian Perdagangan juga sudah memberikan tanggapan terkait permohonan dispensasi impor KRL dalam keadaan tidak baru (bekas) yang menyatakan bahwa permohonan dispensasi ini tidak dapat dipertimbangkan karena fokus pemerintah adalah pada peningkatan produksi dalam negeri dan substitusi impor," kata Hario Seto.
Hario Seto menyebutkan KRL bekas yang akan diimpor dari Jepang tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai barang modal bukan baru yang dapat diimpor ketika belum bisa diproduksi di dalam negeri. Selain itu, perkiraan biaya pengangkutan KRL bekas dari Jepang ke Indonesia dinilai tidak wajar.
Hasil kajian BPKP menyebutkan secara keseluruhan tingkat okupansi KRL di Indonesia tahun ini diperkirakan mencapai 62,75 persen. Sedikit peningkatan diperkirakan akan terjadi tahun depan, yaitu 79 persen; sementara pada tahun 2025 diperkirakan akan mencapai 83 persen.
Your browser doesn’t support HTML5
BPKP juga membandingkan jumlah penumpang KRL pada 2019 rata-rata 1,1 juta per hari, sementara tahun ini mencapai 800 ribu orang per hari.
Hario Seto menambahkan dari hasil rapat dan kajian, Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi meminta PT KCI untuk melakukan kajian terhadap operasi mereka yang saat ini ada dan mengoptimalkan sarana yang ada, dan kajian atas sistem perawatan untuk menjamin keselamatan dan keandalan sarana, khususnya pada teknologi-teknologi yang memang sudah tua.
"Saat ini tidak direkomendasikan untuk melakukan impor ini (KRL bekas dari Jepang). Dari hasil kajian BPKP sudah cukup jelas. Kita akan mengacu pada hasil kajian (BPKP)," ujar Hario Seto.
Impor Kereta Bekas Jepang Dinilai Perlu
Pengamat Trasportasi Djoko Setijowarno mengatakan secara teori memang benar okupansi KRL belum 100 persen tetapi pada jam-jam sibuk sudah lebih dari 100 persen. Menurutnya impor kereta bekas Jepang itu memang sangat dibutuhkan saat ini karena pada tahun ini ada 10 rangkaian kereta yang harus pensiun.
Selain itu, hal ini juga menyangkut persoalan keselamatan. Dia mempertanyakan mengapa persoalan ini baru dibahas saat ini oleh kementerian-kementerian, padahal surat tentang hal ini sudah diajukan sejak September tahun lalu.
Ia khawatir penggunaan terus menerus sepuluh rangkaian kereta yang seharusnya sudah pensiun itu akan berbahaya bagi keselamatan penumpang. Sementara jika diberhentikan tanpa pengganti, maka kebutuhan masyarakat tidak terpenuhi.
“Kalau barang itu tetap dioperasikan, siapa yang menjamin keselamatannya. Kalau itu suatu kebutuhan di stop, tidak dioperasikan karena PT KCI nya takut terjadi kecelakaan dan tanggungjawab dia dan diberhentikan saja maka kebutuhan masyarakat tidak terpenuhi,” ujar Djoko.
VP Corporate Secretary KAI Commuter Anne Purba belum mau menanggapi hasil kajian BPKP tersebut.
Sebelumnya, impor kereta bekas Jepang rencananya dilakukan untuk menggantikan beberapa armada commuter line yang harus pensiun. Pada tahun ini ada 10 rangkaian kereta yang harus pensiun. Jumlah ini akan bertambah menjadi 19 rangkaian lagi pada tahun 2024.
Kereta yang diimpor bukan untuk menambah kapasitas kereta yang dioperasikan KAI, namun hanya mengganti beberapa kereta yang pensiun saja sehingga armada KCI tidak berkurang. [fw/em]