Pemerintahan Trump bulan Mei lalu berencana mengusir ribuan mahasiswa pascasarjana China yang terdaftar di universitas-universitas AS dan menjatuhkan sanksi lain terhadap para pejabat China dalam tanda-tanda terbaru ketegangan antara Washington dan Beijing yang memanas terkait perdagangan, pandemi virus corona, hak asasi manusia dan status Hong Kong.
Presiden Donald Trump, akhir bulan lalu (29 Mei 2020) menyampaikan pengumuman mengenai China dan mempertimbangkan proposal untuk mencabut visa pelajar yang berafiliasi dengan institusi pendidikan di China dan terkait Tentara Pembebasan Rakyat atau intelijen China.
"Hari ini saya akan mengeluarkan pernyataan untuk mengamankan secara lebih baik lagi riset penting universitas di negara kita dan menunda masuknya warga negara asing tertentu dari China, yang kita identifikasi sebagai potensi risiko keamanan," kata Trump.
Trump juga mempertimbangkan sanksi perjalanan dan keuangan terhadap pejabat China karena tindakan-tindakannya di Hong Kong, kata para pejabat, yang tidak mau disebut namanya.
"Kita akan mengumumkan apa yang kita lakukan esok terkait China dan kita tidak senang dengan China," kata Trump kepada wartawan di acara yang tidak terkait sehari sebelum ia menyampaikan pengumuman 29 Mei 2020, merujuk terutama terkait Covid-19. "Kita tidak senang dengan apa yang terjadi. Di seluruh dunia orang menderita, 186 negara. Seluruh dunia menderita. Kita tidak senang" tambahnya.
Meskipun pengusiran mahasiswa itu tidak secara langsung terkait dengan Hong Kong dan langkah China untuk menegaskan kontrol penuh terhadap wilayah yang sebelumnya dikuasai Inggris itu, namun potensi sanksi terhadap pejabat yang terlibat dalam upaya itu, merupakan hasil dari tekad Menlu Mike Pompeo bahwa Hong Kong tidak dapat lagi bisa dianggap otonom dari daratan China.
Pompeo belum lama ini menyampaikan kepada Kongres, Hong Kong tidak lagi layak memperoleh perlakukan status khusus yang diterimanya terkait perdagangan dan komersial dari AS sejak kembali ke pemerintahan China pada tahun 1997. Berdasarkan perjanjian bersama China-Inggris tentang penyerahan tersebut, Hong Kong akan diatur secara berbeda dari China daratan selama 50 tahun di bawah kebijakan "satu negara, dua sistem".
Tekad Pompeo itu membuka celah kemungkinan sanksi dan hilangnya perlakuan khusus yang diterima Hong Kong dari Amerika. Tetapi baik Pompeo maupun pejabat lainnya tidak bisa memaparkan tindakan apa yang mungkin diambil pemerintah, suatu ketidak pastian terkait dampak sanksi tersebut terhadap perusahaan-perusahaan AS yang beroperasi di Hong Kong dan posisi kota itu sebagai pusat keuangan utama Asia. Komentar Trump tersebut memicu penurunan pasar keuangan AS.
Pertimbangan serius terhadap proposal pencabutan visa itu, yang pertama kali dilaporkan oleh harian The New York Times, telah mendapat tentangan dari universitas dan organisasi ilmiah AS yang bergantung pada biaya kuliah yang dibayarkan oleh mahasiswa China untuk mengimbangi biaya lainnya. Selain itu, lembaga-lembaga itu takut akan kemungkinan tindakan balasan dari Beijing yang bisa membatasi akses mahasiswa dan pendidik mereka ke China .
Menjawab keprihatinan itu, para pejabat mengatakan pembatasan apapun akan dirancang berimbas hanya pada mahasiswa yang secara signifikan berisiko terlibat dalam mata-mata atau pencurian hak cipta. Para pejabat belum bisa mengatakan berapa banyak yang akan diusir.
Kemungkinan bahwa proposal itu akan dilaksanakan menarik perhatian para pendidik.
"Kami sangat khawatir tentang seberapa luas kebijakan ini akan diterapkan, dan kami khawatir bisa mengirim pesan bahwa kita tidak lagi menerima mahasiswa dan cendekiawan berbakat dari seluruh dunia," kata Sarah Spreitzer, Direktur Hubungan Pemerintah pada Dewan Pendidikan Amerika.
"Kita tidak punya banyak perincian mengenai bagaimana pemerintah akan mendefinisikan kaitan pada universitas-universitas China, jenis universitas apa yang ditarget pemerintah, apa definisi keterkaitan sebuah universitas dengan militer China ," katanya.
BACA JUGA: Pemerintah AS Tak Berikan Bantuan untuk Siswa AsingJika situasinya dibalik dan negara lain memberlakukan pembatasan pada mahasiswa dari universitas AS yang menerima dana Departemen Pertahanan, ia mengatakan kebijakan itu akan berdampak pada berbagai universitas.
Menurut Lembaga Pendidikan Internasional AS, Amerika menampung 133.396 mahasiswa pascasarjana dari China pada tahun akademik 2018-19, dan jumlah tersebut 36,1% dari seluruh mahasiswa pascasarjana internasional. Secara keseluruhan, ada 369.548 mahasiswa dari China, yang merupakan 33,7% dari seluruh mahasiswa internasional yang menyumbang hampir $ 15 miliar pada ekonomi AS pada 2018.
China mengatakan ancaman Presiden AS Donald Trump untuk mencabut visa pelajar China adalah "hukuman politik dan diskriminasi ras".
Pada briefing harian di Beijing, 1 Juni 2020, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, mendesak AS untuk segera mencabut keputusan itu dan melindungi hak-hak dan minat para mahasiswa China yang sedang belajar di AS.
"Kami mendesak AS untuk segera menghentikan pembatasan dan penindasan mahasiswa China di AS dengan menggunakan berbagai alasan, segera mencabut keputusan yang salah ini, dan menghormati serta melindungi hak dan kepentingan yang sah dari mahasiswa China di Amerika," kata Zhao Lijian, juru bicara Kementerian Luar Negeri China.
Proposal untuk mencabut visa tersebut tidak secara langsung terkait dengan sengketa Hong Kong, ataupun kecaman AS terhadap China atas penanganan wabah virus corona. Namun terkait pada berbagai elemen perdagangan dan masalah hak asasi manusia. seperti dikeluhkan pejabat AS terkait kegiatan mata-mata industri China dan perlakuan buruk terhadap pembangkang, agama dan etnis minoritas.
Namun waktu pengumuman itu terjadi pada saat retorika semakin memanas mengenai pemberlakuan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong yang melanggar perjanjian China-Inggris.
Proposal pembatalan visa itu pertama kali mulai dibahas tahun lalu ketika pemerintah mengambil langkah mewajibkan para diplomat China yang berbasis di Amerika untuk melaporkan perjalanan domestik dan pertemuan mereka dengan para ilmuwan dan akademisi Amerika.Ketika itu para pejabat AS mengatakan langkah tersebut adalah tindakan timbal balik sesuai dengan pembatasan yang dihadapi para diplomat Amerika di China.
Namun waktu pengumuman itu terjadi pada saat retorika semakin memanas mengenai pemberlakuan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong yang melanggar perjanjian China-Inggris.
Pembatasan-pembatasan itu diikuti oleh kewajiban media yang dikelola pemerintah China di AS mendaftar sebagai "misi diplomatik asing" dan melaporkan kepemilikan properti dan daftar nama karyawannya kepada pemerintah. Langkah tersebut akhirnya diikuti pembatasan jumlah visa bagi wartawan China yang diizinkan bekerja di Amerika.
China membalas pembatasan visa itu dengan mengusir beberapa wartawan dari media AS, termasuk The Washington Post dan The New York Times. [my/jm]