YY, gadis kecil berusia 14 tahun, baru pulang sekolah dan melintasi kebun karet di daerah Lembak, kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu ketika sejumlah pemuda menggodanya. Ia tidak menggubrisnya.
Ketika salah seorang pemuda menarik tangannya, YY masih bisa menepisnya. Tapi ketika empat pemuda lainnya menyeretnya ke kebun karet, ia tak kuasa melawan. Juga ketika 10 orang lainnya merobek seragam pramuka yang dikenakannya, mencekik lehernya dan menghantamkan sebatang kayu ke kepalanya. YY pingsan.
Mayatnya ditemukan beberapa hari kemudian dalam keadaan nyaris membusuk. Visum dokter menunjukkan penganiayaan seksual yang mengerikan. Hal ini disampaikan Kapolres Padang Ulak Tanding PUT IPTU Eka Candra kepada VOA ketika dihubungi Senin pagi (2/5).
“Ketika ditemukan, mayat terikat dan bisa dipastikan ia mati dibunuh. Hasil visum menunjukkan kemaluan, dubur dan (maaf) bagian diantara keduanya hancur. Kami langsung melakukan olah TKP kembali karena tempat kejadian di kebun karet yang dekat jurang. Banyak rumput tinggi," ujarnya.
"Kami olah TKP lebih dari setengah hari dan menemukan rok, sepatu dan tas. Kami mendapat banyak gambaran dan ada empat calon tersangka yang kami selidiki bersamaan. Dari empat orang yang diinterogasi, salah seorang di antaranya mengarahkan kami ke 12 orang," kata Eka.
Ia menambahkan “Kami pertama kali menyelidiki keluarganya, orang yang pertama kali menemukan dan beberapa anggota keluarga jauh. Akhirnya kita mengarah ke para tersangka karena tindak tanduk mereka sendiri. Banyak perubahan-perubahan. Kalau soal pintarnya pelaku-pelaku itu memang sudah luar biasa. Ketika menemukan korban, mendatangi rumah hingga menggali kuburan untuk menguburkan korban mereka ikut."
"Kami selidiki terus dan akhirnya panggil secara persuasif tiga orang. Kami interogasi dengan berbagai macam cara, tapi tidak dengan kekerasan ya! Dari keterangan itu terkuak ada 11 tersangka lagi. Kami langsung melakukan pengejaran dan penggerebekan, dan kami berhasil tangkap sembilan orang, dua lainnya buron. Jadi total yang kami tanggal ada 12 orang, dua gak dapat."
"Memang jika mengikuti UU ada yang masih dikategorikan sebagai anak di bawah umur, di bawah 18 tahun, tetapi mereka pada dasarnya sudah dewasa. Jadi ada dua orang usia 16 tahun, lima orang usia 17 tahun, lalu usia 18, 19, 20, 23 masing-masing satu tahun. Jadi ada tujuh di bawah umur, lima dewasa," jelas Eka.
7 dari 14 Pelaku di Bawah Umur
Tujuh dari 14 pelaku berusia di bawah 18 tahun dan ada yang satu sekolah dengan korban. Meski perawakan mereka besar dan bisa diketagorikan dewasa, tetapi di mata hukum mereka tetap anak-anak dan jika pengadilan menjerat mereka dengan UU Perlindungan Anak, maka ancaman hukuman maksimal yang akan dijatuhkan adalah 15 tahun.
“Tapi pengalaman saya, paling mereka dikenakan hukuman separuhnya. Meskipun semuanya tergantung pertimbangan hakim," ujar IPTU Eka Candra.
Padalah menurutnya belum pernah ia melihat kejahatan sekeji ini dalam masa tugasnya di Lembak, Rejang Lebong selama 11 tahun terakhir.
Pemerkosaan dan pembunuhan YY ini mengundang kemarahan publik. Tidak saja karena kasus ini baru tercium media nasional setelah hampir tiga minggu, tetapi juga karena ini bukan kasus pertama.
Bulan Februari lalu, seorang anak perempuan juga diperkosa beramai-ramai oleh enam temannya yang juga masih di bawah umur. Peristiwa itu terjadi di kelurahan Talang Benih, kecamatan Curup, Bengkulu. Korban memang selamat, tapi trauma yang dialaminya hingga kini masih membekas dalam.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengutuk keras peristiwa ini dan menilainya sebagai peringatan keras bagi pemerintah supaya segera mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah masuk dalam Prolegnas 2016, karena aturan-aturan yang ada sudah tidak lagi bisa merespon isu kekerasan seksual secara komprehensif.
Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan seksual tahun 2016 naik menjadi peringkat kedua dengan jumlah kasus perkosaan mencapai 2.399 kasus atau 72 persen, pencabulan mencapai 601 kasus atau 18 persen, sementara kasus pelecehan seksual mencapai 166 kasus atau 5 persen.
Pranata Sosial Gagal Lindungi Perempuan & Anak Perempuan
Sementara sejumlah aktivis perempuan mengaitkan maraknya kasus kekerasan seksual ini dengan kegagalan pranata sosial masyarakat.
Peneliti isu gender dan Islam, Lies Marcus menilai kasus YY bukan sekedar syahwat kelamin melainkan "kutuk kejantanan" yang harus dipikul remaja laki-laki yang mengalami frustrasi yatim piatu sosial mereka.
Dalam akun Facebooknya, Lies menulis ‘’Orangtua dan dewasa memusuhi, peer pressure, kehendak menunjukkan kejantanan, semangat menaklukkan, adu keberanian, solidaritas kelompok, kehendak untuk diterima dalam gang-nya dan kegembiraan yang membuncah di atas penderitaan orang lain. Tanpa pemahaman soal "kutuk kejantanan" atau maskulinitas itu, sungguh sulit meletakkan logika perkosaan remaja yang biadab tiada tara itu."
Lebih jauh ia juga mengecam kentalnya budaya patriarki sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap kaum perempuan.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Beberapa anggota DPR mengatakan kepada VOA akan turun ke lapangan untuk memberi tekanan terhadap penyelesaian kasus ini dan sekaligus memperjuangkan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di DPR. RUU ini memang tidak menjadi prioritas, tetapi sudah dimasukkan dalam daftar tambahan RUU prioritas.
Rabu pagi (3/5) puluhan LSM dan organisasi masyarakat akan melangsungkan konferensi pers bersama untuk membangun gerakan dan mengkampanyekan pengesahan segera RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Disusul unjuk rasa di depan Istana Negara yang menurut rencana akan dilangsungkan hari Kamis (4/5).
Kampanye di media sosial juga berlangsung gencar. Tanda pagar #NyalaUntukYuyun di Twitter, Facebook, Path dan sejumlah media sosial lain mulai menarik perhatian massa sejak Senin (2/5).
Penyelesaian kasus YY dengan menangkap dan mengadili ke-14 pelaku saja dinilai belum cukup. Masih ada kerja panjang untuk mengesahkan payung hukum yang lebih tegas dan sekaligus mengkampanyekan pendidikan seksual yang lebih komprehensif untuk mencegah kekerasan berbasis gender, sekaligus mengingatkan secara terus menerus potensi bahaya yang dialami perempuan dan anak perempuan.
Tanpa itu, YY mungkin bukan korban terakhir kekerasan seksual. [em]