Thailand menggelar pemilihan umum, Minggu (14/5), yang diperkirakan akan memberikan keuntungan besar bagi kekuatan oposisi. Pemilu kali ini juga akan menguji kekuasaan kelompok pro-militer di jantung kekecauan yang timbul-tenggelam selama dua dekade di negara rawan kudeta itu.
Sekitar 52 juta pemilih yang memenuhi syarat akan memilih di antara sejumlah partai oposisi progresif. Satu partai berambisi memenangi pemilu dan lainnya bersekutu dengan jenderal kerajaan untuk menjaga status quo setelah pemerintahan yang dipimpin atau didukung oleh militer berjalan selama sembilan tahun.
Sejumlah jajak pendapat mengindikasikan partai oposisi Pheu Thai dan Pergerakan Maju (Move Forward) akan meraup kursi mayoritas. Namun tidak ada jaminan kedua partai itu akan memerintah karena aturan-aturan parlemen yang dibuat oleh militer setelah kudeta 2014 dan banyak menguntungkan mereka.
“Saya sudah berusia 88 tahun. Tidak mudah,” kata pria itu sambil berpegang pada kruk. “Pemilu ini penting bagi Thailand.”
Di bagian lainnya di Bangkok, para calon perdana menteri dari partai yang berkuasa dan kelompok oposisi, menjalankan hak pilih mereka pada Minggu (14/5) pagi, termasuk petahana Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha.
Pada pemilu tahun ini miliarder keluarga Shinawatra, yang mengusung Pheu Thai, berhadapan dengan jaringan kelompok orang kaya lama, militer, dan konservatif yang karena pengaruh mereka terhadap lembaga-lembaga kunci, sudah menggulingkan tiga dari empat pemerintahan yang diusung gerakan populis.
Benih-benih konflik ditaburkan pada 2001 ketika Thaksin Shinawatra, seorang kapitalis pemula, naik ke tampuk kekuasaan dengan platform pro-kemiskinan, pro-bisnis. Kampanye Thaksin memberi semangat kepada massa di pedesaan yang kehilangan haknya dan menantang jaringan patronase, serta memicu perselisihan antara Thaksin dan elit yang mapan.
BACA JUGA: Pemilu Thailand, Ujian Penting untuk Pemerintahan DemokratisBerkuasanya Thaksin menyebar penolakan di kalangan kelas menengah perkotaan yang memandangnya sebagai pemimpin yang korup dan menyalahgunakan posisinya untuk memperkaya keluarganya. Pada 2016, Thaksin digulingkan oleh kudeta militer dan lari ke pengasingan. Sekarang, putrinya yang politisi muda, Paetongtarn Shinawatra, mengambil peran itu.
“14 Mei akan menjadi hari bersejarah. Kita akan berubah dari pemerintahan diktator ke pemerintahan yang dipilih secara demokratis,” kata Paetongtarn di hadapan massa saat kampanye terakhir, Jumat (12/5).
“Setiap kali kami berkuasa, kami bisa membawa kesejahteraan bagi rakyat. Saya terjun ke politik untuk membantu generasi baru untuk menyokong keluarga mereka," imbuhnya.
Pendekatan populis oleh Pheu Thai dan para pendahulunya sangat berhasil hingga memaksa para pesaingnya untuk mengikuti langkah yang sama. Padahal, mereka pernah mencemooh Pheu Thai bahwa tindakan partai itu sama dengan membeli suara.
Palang Pracharat, yang didukung militer, menjanjikan bantuan tunai langsung (BLT) senilai 30 ribu baht atau sekitar Rp13 juta per keluarga untuk 7,5 juta keluarga petani. Jumlah itu kenaikan besar dari bantuan-bantuan untuk lansia dan proyek-proyek infrastruktur di wilayah paling miskin di Thailand.
Partai Bangsa Thai Bersatu atau UTN (United Thai Nation) yang mengusung Perdana Menteri Prayuth, menjanjikan pengurangan utang, tarif listrik yang lebih murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, serta subsidi transportasi dan panen.
BACA JUGA: Putri Thaksin Bawa Obor Shinawatra dalam Pemilu ThailandPrayuth menjanjikan kelanjutan program dengan harapan akan menarik suara dari kelas menengah konservatif yang jenuh dengan demonstrasi dan gejolak politik.
“Kita tidak mau mau perubahan yang akan menjungkirbalikan negara. Apakah kamu bisa menerima hal itu? Apakah kamu tahu kerusakan yang akan ditimbulkan?” tanya Prayuth kepada para pendukungnya, Jumat (12/5).
Sejumlah analis berpendapat perebutan kekuasaan di Thailand lebih dari laga sakit hati antara klan Shinawatra yang terpolarisasi dan pesaing-pesaing berpengaruhnya. Ada tanda-tanda perubahan generasi dan hasrat untuk pemerintahan yang lebih progresif.
Dukungan untuk partai Move Forward, yang dipimpin oleh lulusan Harvard Pita Limjaroenrat (42 tahun), mengalami peningkatan di ujung kampanye.
Partai itu berupaya meraup suara pemilih muda, termasuk 3,3 juta pemilih pertama yang memenuhi syarat, untuk mendukung upaya merobohkan monopoli, melemahkan peran politik militer dan mengamandemen undang-undang keras mengenai penghinaan kepada monarki. Para kritikus mengatakan undang-undang itu digunakan untuk membungkam pembangkang.
“Pemilihan ini adalah ujian akar-akar konservatif dan masa depan kemajuan,” kata Ben Kiatkwankul, mitra penasihat urusan pemerintah di Maverick Consulting Group.
“Isunya lebih besar dari sekadar apakah orang menyukai atau tidak menyukai Thaksin atau Prayuth. Sekarang adalah sistem lama berhadapan dengan gelombang liberalis.” [ft/ah]