Mara Salem Harahap alias Marsal, pemimpin redaksi media daring “LasserNewsToday” di Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara (Sumut), ditemukan tewas dengan luka tembak, Sabtu (19/6) dini hari.
Kematian Marsal diduga berkaitan dengan berita yang kerap ditulisnya. Mulai dari dugaan penyelewangan yang dilakukan pejabat badan usaha milik negara (BUMN), maraknya peredaran narkoba dan perjudian, hingga bisnis hiburan malam yang diduga melanggar aturan di Kota Siantar dan Kabupaten Simalungun.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan, Liston Damanik, mengatakan kematian Marsal menambah daftar panjang kasus kekerasan terhadap jurnalis di Sumut. Sedikitnya, ada empat kasus kekerasan terhadap jurnalis di Sumut dalam kurun waktu sebulan terakhir termasuk dan kematian Marsal satu di antaranya.
BACA JUGA: Kekerasan Terhadap Jurnalis Masih Jadi Ancaman Kebebasan Pers di Indonesia"Menurut kami ini sangat tinggi mungkin belum pernah terjadi sebelumnya. Kami menduga walaupun berbeda-beda lokasi tapi setiap pembiaran atas kasus kekerasan terhadap jurnalis di satu daerah itu berarti preseden buruk buat dunia pers," kata Liston kepada VOA, Sabtu (19/6) malam.
Rumah dan Mobil Dibakar
Liston pun memaparkan sejumlah kasus kekerasan yang dialami beberapa jurnalis di Sumut. Pada 29 Mei 2021, kediaman seorang jurnalis media daring di Kota Pematang Siantar bernama Abdul Kohar Lubis diteror orang tak dikenal (OTK) dengan percobaan pembakaran rumah.
Lalu, pada 31 Mei 2021, mobil milik Pujianto, jurnalis dari Metro TV asal Kabupaten Serdang Bedagai, dibakar OTK saat sedang terparkir di depan rumahnya. Kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi pada 13 Juni 2021 di Kota Binjai. Rumah orang tua dari salah seorang jurnalis di Binjai yang kerap memberitakan tentang maraknya perjudian di kota itu juga pernah diteror dengan bomb molotov dan tembakan airsoft gun di rumahnya.
Terbaru adalah kasus kematian pemred media lokal bernama Marsal yang ditemukan warga telah tewas di dalam mobil miliknya dengan luka tembak pada bagian paha. Marsal ditemukan bersimbah darah tak jauh dari rumahnya.
Meningkatnya angka kasus kekerasan terhadap jurnalis di Sumut dalam sebulan terakhir tak sejalan lurus dengan proses penegakan hukumnya.
Liston mengatakan aparat kepolisian memang melakukan penyelidikan usai menerima laporan dari jurnalis yang menjadi korban tindak kekerasan hingga teror. Namun, proses dalam penyelesaian kasus kekerasan terhadap jurnalis terkesan lambat.
BACA JUGA: Meski Indeks Kebebasan Pers RI Naik, Intimidasi Terhadap Jurnalis Masih Terjadi"Memang ada penyelidikan, tapi terus menggantung. Di Sumut hampir tidak ada dalam dua tahun terakhir kasus-kasus yang menimpa jurnalis itu ditangkap pelakunya. Sebenarnya, polisi sekarang canggih dan memiliki kemampuan tapi kenapa tidak bisa diungkap pelakunya," ujarnya.
"Saya bingung kenapa di satu kasus polisi begitu cepat bereaksi. Tapi untuk kasus kekerasan terhadap jurnalis itu sepertinya lambat," Liston menambahkan.
Desak Polisi
AJI Medan pun menyarankan polisi untuk bergerak cepat dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis di Sumut.
BACA JUGA: KontraS: Darurat Praktik Penyiksaan oleh Aparat Penegak Hukum di Sumut"Kami sebenarnya fokus pada penanganan kasus-kasus ini secepat mungkin pelaku ditangkap dan diungkap motifnya," ucap Liston.
Bukan hanya itu, AJI Medan juga mengimbau kepada para jurnalis di Sumut mengedepankan profesionalisme dan etika dalam menjalankan aktivitas jurnalistiknya.
"Kita jangan cuma menuntut kepolisian tapi juga introspeksi diri. Kami juga berpesan agar teman-teman jurnalis mendahulukan keselamatan dalam bekerja. Kalau memang kita bekerja mencari informasi membuat berita pasti ada banyak cara selain membahayakan diri," pungkas Liston.
Juru bicara Polda Sumut, Kombes Pol Hadi Wahyudi, mengatakan sampai saat ini laporan-laporan kasus kekerasan terhadap jurnalis itu masih ditindaklanjuti. Dia pun menegaskan pihaknya tidak mendiamkan laporan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis.
"Proses penyidikan masih terus berjalan. Apa yang menjadi perhatian pimpinan terus kami jalankan. Kami butuh dukungan, dan doa dari masyarakat agar kasus-kasus ini segera bisa terungkap," ujarnya kepada VOA.
Sementara, Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin, menilai secara umum aparat kepolisian masih lambat dalam menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan kekerasan terhadap jurnalis.
"Secara umum memang angka kekerasan terhadap jurnalis cukup tinggi, tapi dari penyelesaian kasusnya itu sangat rendah bahkan hampir bisa dihitung dengan jari," kata Ade kepada VOA, Sabtu (19/6).
Ade melanjutkan, kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis bahkan sangat jarang bisa sampai ke proses peradilan. Sejauh ini kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis bahkan kerap berakhir di tahap penyerahan berkas perkara ke kejaksaan.
Your browser doesn’t support HTML5
"Syukur-syukur sampai level tuntutan. Ini sampai level proses naik ke kejaksaan saja itu belum ada sangat jarang. Kalau pun ada itu sangat lambat dan tidak menyentuh aktor intelektual," ungkapnya.
LBH Pers pun mendesak agar aparat penegak hukum harus dengan sigap menyelesaikan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Apalagi, kekerasan terhadap jurnalis yang sedang menjalankan aktivitas jurnalistiknya agar tidak menghambat kebebasan pers itu sendiri.
Di sisi lain, kata Ade, Dewan Pers juga harus menstimulus proses hukum dan mendorong kepolisian agar segera menemukan motif dari pelaku.
"Sehingga pertanyaan-pertanyaan selama ini apakah penembakan terkait dengan aktivitas jurnalistik atau bukan itu harus terbuka dahulu. Jadi nanti dari situ terbaca pola-polanya. Nah, itu yang harusnya segera didorong," tandas Ade. [aa/em]