Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Gomar Gultom, mengatakan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dibutuhkan untuk melindungi jutaan pekerja rumah tangga yang bekerja tanpa perlindungan dari negara.
“Sedikitnya lima juta pekerja rumah tangga ini, saat ini terlunta-lunta kehidupannya. Kenapa saya katakan terlunta-lunta? Karena mereka 24 jam per hari, 7 hari per minggu, mereka tidak ada jam istirahat. Segudang kewajiban tapi nyaris tanpa hak, aturan-aturan yang ada tidak melindungi mereka termasuk dalam pengupahan,” kata Gomar Gultom dalam Konferensi Pers Seruan Pemuka Lintas Iman untuk Pengesahan RUU PPRT, Selasa (19/3).
BACA JUGA: 20 Tahun Tanpa Kejelasan, Aktivis Desak Pengesahan RUU Perlindungan PRTKesejahteraan PRT, menurut Gomar Gultom, bergantung pada kemurahan hati para majikannya. Sebabnya, tidak ada aturan hukum yang mengatur kewajiban majikan dalam memperlakukan PRT.
“Jujur, sebetulnya kehidupan para pekerja rumah tangga ini tidak beda jauh dengan perbudakan di zaman modern. Jadi kalau mereka bernasib baik, itu lebih karena kemurahan hati dari majikannya, bukan karena hak-hak mereka untuk diperlakukan sedemikian,” ujar Gomar Gultom.
Wakil Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Alissa Wahid, mengungkapkan pengesahan RUU PPRT menjadi undang-undang dibutuhkan untuk melepaskan PRT dari jepitan sistem yang melemahkan mereka. Pekerja rumah tangga di Indonesia, menurut Alissa Wahid, termasuk dalam kelompok Mustadh'afin atau dilemahkan oleh sistem.
“Maka kita perlu memperbaiki sistem ini. Kaum Mustadh'afin harus dilepaskan dari jepitan sistem yang membuat mereka lemah. Kita tahu kasus-kasus yang banyak terungkap di media massa bagaimana PRT tidak memiliki hak-haknya, disandera hak-haknya misalnya tidak memiliki jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan,” kata Alissa Wahid.
Alissa Wahid berharap pengesahan RUU PPRT menjadi undang-undang dapat segera terwujud untuk memberikan keadilan bagi PRT yang bekerja mencari nafkah untuk keluarga mereka.
“Wahai para anggota DPR, saya mohon dengan amat sangat, mari kita tunaikan keadilan kepada para pekerja rumah tangga yang selama ini mereka masih dilemahkan oleh sistem,” harap Alissa.
Desakan yang sama juga diungkapkan Sekretaris Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Pastoral Migran-Perantau, Konferensi Wali Gereja Indonesia, Romo Marten Jenarut.
BACA JUGA: Akankah Pemimpin Baru Peduli pada RUU PPRT?Romo Marten menegaskan pentingnya pengesahan UU PPRT agar ada jaminan perlindungan bagi pekerja rumah tangga dari tindak kekerasan dan kesewenang-wenangan. Dia menegaskan harkat dan martabat PRT sebagai manusia harus dihormati.
“Gereja Katolik Indonesia mendesak lembaga DPR dalam konteks politik yang berorientasi pada kesejahteraan, dalam konteks moralitas politik yang berorientasi pada penghargaan martabat manusia mendesak supaya rancangan undang-undang perlindungan pekerja rumah tangga segera disahkan supaya menjadi undang-undang. Dengan demikian, para pekerja memiliki harapan yang membahagiakan ketika hak hidupnya dan pekerjaannya dilindungi oleh regulasi,” tegas Marten Jenarut.
Menurut Marten Jenarut, bagi sebagian warga Indonesia, profesi sebagai pekerja rumah tangga menjadi pilihan sumber pendapatan untuk menyejahterakan keluarga. Ketika menjadi pekerja rumah tangga, mau tidak mau, masuk ke dalam skema relasi kuasa dengan majikan yang memprihatinkan dan mengkhawatirkan. Hal tersebut karena pemberi kerja tidak mengakui dan memberi hak para pekerja. Pekerja rumah tangga menjadi kelompok rentan terhadap tindakan diskriminatif, kekerasan, kesewenang-wenangan dan minimnya jaminan sosial yang mereka dapatkan dari pemberi kerja.
Tiga Ribu PRT Alami Kekerasan
Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini mengatakan berdasarkan data yang dihimpun dua tahun terakhir, sebanyak 3.308 pekerja rumah tangga mengalami kekerasan.
“Jadi kisah-kisah PRT ini adalah gambaran potret buram, potret hitam dari situasi pekerja rumah tangga yang bekerja di dalam rumah yang kita tidak ketahui nasibnya karena tidak ada perlindungan, tidak ada pengawasan, tidak ada kontrol, intervensi dari negara dalam bentuk undang-undang,” kata Lita.
Koalisi Sipil untuk RUU PPRT mengungkapkan setahun sudah berlalu tanpa ada kabar baik sejak DPR RI mengesahkan RUU PPRT sebagai RUU Inisiatif DPR pada 21 Maret 2023. Padahal masa waktu untuk memperjuangkan RUU PPRT ini tinggal empat bulan bulan.
Jika Ketua DPR RI Puan Maharani tak juga menyepakati RUU ini dibawa ke Badan Musyawarah DPR RI dan dibahas dalam rapat paripurna DPR RI, RUU PPRT akan diperjuangkan kembali dari awal oleh pemerintah yang baru, yang artinya memulai semua prosesnya dari nol. Kondisi ini akan sangat melelahkan karena para PRT harus membuat draf baru RUU PRT yang telah diperjuangkan selama 20 tahun.
“Legacy (warisan-red) apa yang akan ditinggalkan DPR ini kalau tidak mengesahkan RUU yang diinisiatif sendiri oleh DPR,” kata Eva Sundari dari Koalisi Sipil untuk RUU PPRT.
Your browser doesn’t support HTML5
Eva Sundari menekankan pengesahan RUU PPRT menjadi undang-undang juga sebagai upaya untuk menghapuskan perbudakan modern yang tidak manusiawi di Indonesia. Menurut Eva, sebanyak 1,8 juta orang di Indonesia mengalami perbudakan modern. Dari angka tersebut, sekitar 1,3 juta adalah pekerja rumah tangga, pekerja seks komersial dan pekerja anak.
“Terbesar itu adalah PRT, jadi sebagian besar dari PRT itu diperkirakan mengalami perbudakan saat ini. Nah sedihnya ketika kita berharap diselesaikan justru DPR menjadi bagian dari permasalahan karena sudah 20 tahun RUU ini berada di DPR,” jelas Eva Sundari.
Menurutnya dalam masa-masa kritis yang tinggal empat bulan, Koalisi Sipil untuk RUU PPRT akan melakukan serangkaian aksi di beberapa kota di Indonesia untuk mendesak pengesahan RUU PPRT menjadi Undang-Undang oleh DPR RI. [yl/ft]