Penahanan Hingga Deportasi Massal: Akan Seperti Apa Kebijakan Imigrasi Trump?

Petugas deportasi dari Operasi Penegakan Hukum dan Pemindahan di kantor lapangan Imigrasi dan Bea Cukai Amerika Serikat di New York City menangkap Wilmer Patricio Medina-Medina dalam operasi dini hari di wilayah Bronx, New York, 17 Desember 2024,. (Julia Demaree Nikhinson/AP)

Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump menjadikan isu imigrasi sebagai fokus kampanyenya pada pilpres 2024. Pemerintahannya yang akan datang berencana untuk memberlakukan kebijakan imigrasi yang lebih ketat.

Dalam kampanye pilpresnya, Donald Trump menjanjikan kebijakan perbatasan yang lebih ketat, termasuk ditingkatkannya penahanan dan deportasi imigran gelap.

“Kita akan melakukan deportasi terbesar dalam sejarah Amerika. Kita tidak punya pilihan lain, tidak ada, tidak ada pilihan lain. Kita tidak punya pilihan karena hal itu tidak bisa dipertahankan oleh negara mana pun,” jelasnya.

Rencana Trump kemungkinan mencakup perluasan fasilitas penahanan dan pemberlakuan kembali kebijakan “Tetaplah di Meksiko”, yang mewajibkan para migran untuk tetap berada di Meksiko selama proses imigrasi Amerika Serikat. Sosok yang dipilih Trump untuk mengepalai urusan perbatasan, Tom Homan, mengatakan bahwa penegakan hukum yang lebih ketat dimaksudkan untuk meningkatkan keselamatan masyarakat dan keamanan nasional.

“Harus ada operasi deportasi besar-besaran menyusul krisis imigrasi ilegal terbesar yang pernah kita hadapi di negara ini,” sebutnya.

Anggota Garda Nasional Texas mengamankan perbatasan antara El Paso, Texas, Amerika Serikat, dan Ciudad Juarez, Chihuahua, Meksiko, dengan gulungan kawat berduri pada 9 Desember 2024. (Herika Martinez / AFP)

Beberapa pakar keimigrasian mengatakan deportasi massal melemahkan keselamatan masyarakat, karena akan membuat imigran enggan melaporkan tindak kejahatan.

David Bier, direktur studi imigrasi di Cato Institute, menjelaskan, “Imigran lebih cenderung mau melaporkan tindak kejahatan kepada polisi dibanding rata-rata orang yang lahir di Amerika Serikat. Akan tetapi, penelitian telah berulang kali menunjukkan bahwa ketika penegakkan hukum secara tidak pandang bulu ditingkatkan di suatu area, hal itu mengurangi tingkat pelaporan tindak kejahatan yang sudah cukup tinggi atau bahkan lebih tinggi di kalangan imigran.”

Jika para migran tidak memiliki catatan kriminal, pemerintah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Partai Demokrat maupun Partai Republik biasanya membebaskan mereka di kala mereka menunggu sidang keimigrasian. Akan tetapi praktik itu mungkin tidak akan diteruskan pemerintahan Trump, yang sedang mempertimbangkan diberlakukannya penahanan wajib.

BACA JUGA: Hadapi Deportasi Massal Imigran Ilegal, Para Pemimpin Demokrat Ambil Langkah Antisipatif

David Leopold, pengacara keimigrasian, mengatakan, “Jika saya seorang penduduk tetap yang sah, seorang pemegang kartu hijau, saya akan pastikan untuk selalu membawa kartu hijau saya ke mana pun saya pergi sekarang.”

Para pejabat Trump mengatakan, kebijakan-kebijakan tersebut dapat menghentikan para penjahat. Namun, Bier mengatakan hal itu tidak terwujud pada masa pemerintahan Trump sebelumnya.

“Deportasi massal akan menurunkan prioritas [penanganan] para pelanggar kejahatan berat. Ketika pemerintahan Trump berkuasa terakhir kali, mereka mencabut semua persyaratan [penanganan] yang berfokus pada para pelanggar kejahatan berat, terutama para narapidana, dan sebagai akibatnya, tidak mengherankan, jumlah penangkapan orang yang tidak melakukan tindakan kriminal oleh ICE berlipat ganda,” sebutnya.

ICE (U.S. Immigration and Customs Enforcement) sendiri adalah lembaga penegakan hukum keimigrasian dan bea cukai.

Sementara itu, menurut Bier, jumlah pelaku kejahatan yang berusaha menyeberangi perbatasan naik tiga kali lipat.

Trump mengatakan, ia akan mengatasi masalah imigrasi pada hari pertama kepresidenannya pada tanggal 20 Januari mendatang. [rd/ab]