Penangguhan Izin dan Penangkapan Jurnalis Cerminkan Tekanan yang Dihadapi Media Afghanistan

Sejumlah kamerawan tampak meliput aksi protes terhadap Presiden AS Joe Biden yang berlangsung di Kabul, Afghanistan, pada 15 Februari 2022. (Foto: AP/Hussein Malla)

Penangguhan izin penyiaran, penangkapan jurnalis dan penutupan outlet berita di Afghanistan menunjukkan bahwa Taliban terus memberikan tekanan terhadap media, kata organisasi Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ).

Dalam beberapa pekan terakhir, Otoritas Regulasi Telekomunikasi Afghanistan (ATRA) yang dikelola Taliban, menangguhkan 17 izin siaran yang diberikan kepada 14 media di provinsi Nangarhar, Afghanistan timur. Stasiun radio swasta Kawoon Ghag di provinsi Laghman juga telah ditutup, menurut organisasi itu.

“Tiga tahun setelah jatuhnya Kabul, Taliban terus memberikan tekanan terhadap jurnalis dan media yang masih berada di Afghanistan,” kata Beh Lih Yi, koordinator Program Asia di CPJ, kepada VOA.

“Pada bulan Juli saja, setidaknya dua jurnalis – Sayed Rahim Saeedi dan Mohammad Ibrahim Mohtaj – masing-masing telah ditangkap oleh agen intelijen Taliban dan polisi moral,” katanya melalui email.

Radio dan stasiun televisi Hamisha Bahar, Sharq TV, dan Arzasht termasuk di antara saluran yang izinnya ditangguhkan, menurut asosiasi media Afghanistan.

BACA JUGA: Organisasi Bantuan: Afghanistan Berisiko Jadi “Krisis yang Terlupakan”

Outlet-outlet media diperintahkan untuk membayar biaya lisensi yang masih mereka tunggak, yang biayanya sekitar US$1,500 per tahun.

Namun, mengingat industri media berada yang berada di bawah tekanan ekonomi sejak Taliban mengambil alih kekuasaan di Afghanistan, biaya yang dikeluarkan mungkin sulit untuk ditanggung, kata seorang jurnalis.

“Ketika negara ini mengalami krisis ekonomi, sulit bagi media lokal untuk membayar biaya izin,” kata seorang jurnalis lepas Afghanistan kepada VOA. “Bahkan jika hal ini terjadi, mereka [pihak berwenang] seharusnya mendekati outlet-outlet tersebut dan membantu mereka,” kata jurnalis tersebut, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena takut akan pembalasan, kepada VOA.

Ia menggambarkan tindakan tersebut sebagai penindasan sistematis terhadap kebebasan berekspresi di Afghanistan.

Sejak pengambilalihan Afghanistan oleh Taliban pada Agustus 2021, Afghanistan telah mengalami penurunan tajam dalam penerimaan bantuan internasional dan kondisi perekonomiannya, menurut laporan Bank Dunia tahun 2024.

BACA JUGA: Taliban 3 Tahun Berkuasa, Nasib Perempuan Afghanistan Belum Membaik

Baik Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi Taliban maupun regulator ATRA tidak menanggapi permintaan komentar melalui email VOA.

Shukrullah Pasoon, mantan direktur Enikass TV, mengatakan bahkan jika Taliban memperbolehkan sejumlah kantor berita yang terdampak untuk tetap beroperasi, tidak mudah bagi mereka untuk dapat melanjutkan siaran dan mendapat penonton.

“Hal ini adalah bagian dari tindakan keras mereka terhadap jurnalis. Jurnalis tidak merasa aman untuk terus bekerja di bawah pemerintahan Taliban. Melalui cara ini, mereka [Taliban] ingin menekan para jurnalis untuk mempengaruhi konten yang disajikan oleh kantor berita,” kata Pasoon. [ab/lt]