POLRI menilai radikalisme merupakan produk masyarakat yang harus dipecahkan bersama. Selama ini penanganan gerakan radikal di Indonesia dilakukan dengan pendekatan anti kekerasan dan penegakan hukum.
Saat ini pihak kepolisian menghadapi tantangan yang semakin berat dengan maraknya kembali gerakan-gerakan radikal di Indonesia.
Staf Ahli Kepala Kepolisian Republik Indonesia Bidang Sosial dan Budaya, Inspektur Jenderal Polisi Saud Usman Nasution di Jakarta, Kamis (30/6) sore mengatakan, “Dalam penanganan radikalisme ini terus terang polisi angkat tangan.”
Saud Usman Nasution, yang juga mantan Kepala Densus 88, lebih lanjut mengatakan, “Radikalisme ini merupakan produk masyarakat yang juga harus kita pecahkan bersama. Kita harus mengetahui apa akar permasalahnnya, kenapa terjadi konflik Ambon, Konflik Poso, kenapa terjadi pengeboman di malam natal, pengeboman dimana-mana. Ada bom buku, segala macamnya termasuk masalah Ahmadiyah di Ciketing dan Cikesik. Polisi selaku penegak hukum akan bertindak sesuai dengan aturan hukum yang ada. Bilamana ada satu perbuatan yang diluar daripada aturan hukum, maka polisi tidak bisa berbuat apa-apa.”
Menurut Inspektur Jenderal Saud Usman, sejauh ini kepolisian melakukan dua pendekatan yaitu dengan pendekatan anti kekerasan dan pendekatan yang tegas dan keras melalui penegakan hukum.
Namun upaya penegakan hukum ini pun masih terdapat kelemahan di tubuh internal polisi yaitu adanya keragu-raguan dalam bertindak pada anggota di lapangan karena dasar hukum yang belum jelas, serta opini-opini yang tidak mendukung, sehingga anggota polisi menjadi gamang dalam bertindak.
“Terus terang, kami sekarang ini banyak ibarat pemadam kebakaran, terjadi baru kita bisa menindak. Kemudian juga kita ada tindakan preventif atau pencegahan, bilamana sudah tidak bisa diantisipasi maka akan dilakukan tindakan represif atau penindakan secara hukum. Karena semua sepakat kita adalah negara hukum, maka kita semua bermuara pada penegakan hukum," ujar Inspektur Jenderal Saud Usman.
Pada kesempatan ini, aktivis Islam, yang pernah dipenjara semasa Orde baru karena kasus Lampung dan disebut-sebut terkait aksi teror bom natal tahun 2000 silam, Nur Hidayat, mengatakan radikalisme terjadi karena umat Islam tidak mengerti akan keislamannya.
Ia mengatakan, “Inti daripada Islam itu adalah penegakan keadilan dan kebenaran titik. Ketika kita berbicara orang kafir, sebetulnya yang disebut dengan orang kafir itu adalah orang zalim. Al Quran memerintahkan berperang adalah dalam rangka penegakan kebenaran dan keadilan melawan penindasan. Bahwa tidak akan mungkin radikalisme ini dihadapi dengan kekerasan. Tegakkan saja keadilan dan hukum, ada kemakmuran, maka tidak mungkin ada kekerasan.”
Koordinator KONTRAS, Haris Azhar, menilai saat ini gerakan radikal di Indonesia terbagi dua yaitu radikalisme ideologis tertutup dan radikalisme urban yang bersifat populis.
Ia mengatakan, “Kalau yang pertama ini bergerak diam-diam dan sangat radikal. Radikalnya tidak hanya pada ideologinya tapi juga pada pergerakannya, misalnya lewat pergerakan bawah tanah. Sementara untuk gerakan radikal yang satu lagi bersifat urban tidak ideologis tapi polanya memang menggunakan popularitas, menggunakan pidato yang menghibur tapi bukan membangkitkan atau menyadarkan orang.”