Dalam lebih dari 200 tahun sejak vaksin-vaksin dikembangkan untuk melindungi orang dari serangan penyakit, pertama dengan vaksin cacar, HIV telah menjadi organisme penyakit yang menjadi tantangan di mana para ilmuwan tidak mampu mengembangkan vaksin yang efektif. Tetapi, beberapa ilmuwan percaya vaksin mungkin bukan jawaban terbaik.
Peneliti Alejandro Balazs yang bekerja pada Institut Tekhnologi California (Cal-Tech) di Pasadena mengupayakan alternatif untuk vaksin AIDS.
Balazs mengatakan bahwa ilmuwan CalTech sedang mengembangkan satu cara membunuh virus yang sangat berbeda dari cara kerja vaksin tradisional.
Vaksin merangsang tubuh agar memproduksi antibodi pelindung, protein anti-infeksi dengan menyuntikkan virus atau bakteri tidak berbahaya, sehingga nantinya, jika muncul tanpa diundang, sistem kekebalan tubuh dengan cepat dapat mengenali dan menyerang pathogen tersebut. Balazs mengatakan strategi ini memberikan kekebalan terhadap berbagai organisme penyakit yang berbahaya.
"Dalam kasus HIV pendekatan tradisional untuk vaksinasi itu sebenarnya tidak berguna, karena tubuh cenderung membuat antibodi yang tidak menetralkan. Jadi, vaksin itu sebenarnya tidak mencegah penularan. Dalam kasus ini kita dapat mengkhususkan antibodi monoklonal yang sudah diketahui ampuh melawan HIV secara langsung. Jadi kita tidak hanya berharap sistem kekebalan tubuh akan menghasilkan antibodi yang dihendaki,” paparnya.
Manurut Balazs, para peneliti CalTech tidak merekayasa antibodi monoklonal yang ditargetkan secara spesifik terhadap HIV itu. Rekayasa itu sudah dilakukan oleh banyak ilmuwan di seluruh dunia.
Tetapi, tim CalTech membuat terobosan baru dengan memasukkan antibodi itu ke dalam virus dingin yang tidak berbahaya, dan kemudian menyuntikkannya ke dalam jaringan otot tikus percobaan.
Tikus-tikus yang dibiakkan untuk mengembangkan sistem kekebalan tubuh mirip manusia itu, kemudian menghasilkan sejumlah besar anti-bodi yang mampu membunuh virus.
Balazs mengatakan teknik, yang disebut Vectored Immuno-Prophylaxi (VIP)) itu mencegah infeksi ketika tikus tertular HIV dalam dosis tinggi.
"Tikus-tikus itu pada dasarnya dilindungi dari penurunan kekebalan tubuh akibat HIV, meniru proses yang terjadi pada manusia. Ketika manusia tertular HIV sistem kekebalan tubuh mereka perlahan-lahan dibunuh oleh virus tersebut. Kami menemukan bahwa profilaksis kami mencegah itu," ujarnya lagi.
Balazs mengatakan para peneliti berharap dapat memulai uji klinis terapi VIP pada manusia dalam dua sampai tiga tahun ke depan.
Penelitian mengenai pengobatan HIV ini dimuat dalam jurnal Nature.