Ada dua pendapat berseberangan yang selama ini berkembang terkait tanaman sawit bagi petani. Di satu sisi, komoditas ini diyakini menyumbang penurunan angka kemiskinan secara signifikan. Sawit juga menyediakan lapangan pekerjaan bagi jutaan juta warga. Namun, ada juga keyakinan bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit, sebenarnya menciptakan kemiskinan lebih dalam bagi masyarakat.
Henry Sitorus, dosen dan peneliti dari Universitas Sumatra Utara melakukan penelitian di dua kabupaten, yaitu Asahan dan Langkat. Hasilnya, dilihat dari angka stunting yang merepresentasikan kesejahteraan, sawit terbukti tidak berperan banyak setidaknya sejak era 1980-an.
“Di Asahan itu menurut data Riskesdas tahun 2013, bahwa stunting itu 44,7 persen. Sementara di Langkat itu 55,5 persen. Penting untuk dicatat, bahwa dua kawasan ini sebenarnya adalah pusat dari produksi minyak sawit,” kata Henry.
Paradoks Sektor Agraria
Hasil penelitian Henry menjadi bagian dari sebuah buku, berjudul The Paradox of Agrarian Change: Food Security and the Politics of Social Protection in Indonesia. Sebuah diskusi di Yogyakarta digelar pada Rabu (18/1) untuk mengupas beberapa bagian dari buku, yang merupakan hasil penelitian akademisi dari Australia, Indonesia dan Belanda.
Penelitian Henry mencatat, lebih dari 50 persen wilayah lokasi penelitiannya adalah lahan sawit, dengan setidaknya 30 persen lahan itu dikelola petani rakyat atau small holder. Bersama John F. McCarthy, peneliti dari Australian National University, Henry memusatkan penelitiannya di dua desa di pusat produksi sawit, untuk membandingkan perubahan yang terjadi.
Dari sisi kemiskinan, data membuktikan di dua wilayah itu jumlah penduduk yang tetap berada di kelompok miskin tetap besar, sehingga dampak perkebunan sawit layak dipertanyakan.
“Yang menarik adalah yang tetap berada dalam kemiskinan, ada 81 persen di Langkat kemudian juga di Asahan itu 41 persen,” ujarnya.
Warga yang bisa lepas dari kemiskinan setelah menerima manfaat dari perkebunan sawit di Langkat hanya 11 persen sedangkan di Asahan ada 33 persen.
Ada sejumlah faktor mengapa masyarakat tetap miskin di tengah ekspansi sawit. Menurut penelitian Henry, faktor itu antara lain posisi tawar petani sawit yang rendah, lahan yang kecil dan harga yang tidak menentu. Jual beli sawit juga dikooptasi oleh elit tertentu.
BACA JUGA: Harga Buah Sawit Anjlok, Petani Menjerit“Jadi, ada aspek gangster. Ada kepala preman yang menjadi tauke sawit, itu bahasa Medan-nya, seperti itu. Nah, jadi tauke tapi sekaligus juga elit. Faktor itu mempengaruhi ekonomi masyarakat juga,” tambah Henry.
Di samping itu, kebanyakan masyarakat hanya menjadi buruh harian lepas di perkebunan yang sangat rentan posisinya. Pekerjaannya dapat hilang sewaktu-waktu ketika perkebunan tidak membutuhkan. Perusahaan sawit semakin lama juga membutuhkan tenaga kerja dengan kualifikasi lebih baik.
Perempuan Paling Terdampak
Dosen senior di Departemen Antropologi, Universitas Indonesia, Suraya Abdulwahab Afiff juga mengonfirmasi hasil penelitian itu. Dia melakukan penelitian terpisah di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatra Utara.
“Desa ini adalah desa di pinggir PTPN 3. Satu desa sama sekali enggak punya lahan, seperti di Langkat. Dia sebenarnya lahannya dikuasai dan diklaim oleh PTPN 3, sementara desa lain itu punya beberapa lahan yang dia klaim sebagai lahan dia, tapi juga terganggu untuk expand penguasaan lahannya,” kata Suraya ketika berbicara dalam diskusi yang sama.
Suraya menemukan fakta, bahwa hampir seluruh anak muda di kawasan itu merantau keluar wilayah karena tidak memiliki akses pekerjaan. Perempuan bisa bekerja di perkebunan, sebagai buruh harian lepas dengan upah hanya Rp 5 ribu sehari.
“Tidak ada satupun perempuan yang di-hired sebagai pekerja. Ada sekitar 5000 warga disana, sementara yang diterima sebagai pekerja betul, pekerja full time cuma 700 orang dan semuanya laki-laki,” detil Suraya.
Jika dilihat lebih dalam, kata Suraya, di daerah-daerah perkebunan sawit, perempuan paling dirugikan
Suraya menambahkan,”Yang dilakukan perempuan, satu-satunya jalan ketika dia mau mengumpulkan uang, dia menjadi pekerja migran ke Malaysia,” ujarnya.
Sayangnya, setelah pulang dan mengumpulkan cukup uang, perempuan ini juga tidak bisa menginvestasikannya di perkebunan karena lahan telah habis. Karena itu, uang remitansi ini sebenarnya juga tidak berdampak karena tidak bisa ditanam di sektor pertanian untuk memperbaiki kesejahteraan mereka.
Guru besar Antropologi, Universitas Gadjah Mada, Pujo Semedi Hargo Yuwono menilai, hasil penelitian ini menggambarkan nasib para petani yang secara sosial ekonomi tertinggal oleh kereta pembangunan. Mereka menghadapi masalah pangan dan anak-anaknya terancam stunting.
BACA JUGA: Pekerja Anak, Noda Hitam dalam Industri Kelapa Sawit Indonesia dan Malaysia“Paradoknya itu, katanya kita maju, kita makmur, tapi kok masih ada yang stunting dan ketinggalan,” ujarnya.
“Bagaimana bangsa ini menciptakan kemakmuran, pada saat yang sama juga memproduksi kemiskinan,” lanjutnya tentang paradoks yang terjadi.
Rekomendasi Kebijakan
John F. McCarthy, dari Australian National University sebagai salah satu editor buku hasil penelitian ini merekomendasikan empat langkah untuk mengatasi masalah yang ada. Pertama, dia menyarankan upaya membangun kapasitas penghidupan, mempertahankan tanah dan ekologi lokal untuk mendukung sistem pangan lokal dan diversifikasi pangan.
Kedua, menurut dia, penting bagi Indonesia untuk mengembangkan sistem perlindungan sosial yang lebih inklusif dan adil sesuai kebutuhan lokal.
“Saat ini, Indonesia memiliki sistem perlindungan sosial yang dibawa Bank Dunia dari Amerika Latin. Ini tidak dirancang untuk diterapkan di Indonesia dan kami yakin ini tidak sesuai dengan logika masyarakat lokal di Indonesia,” paparnya.
Masukan ketiga, para ahli berkeyakinan bahwa bantuan sosial tidak akan pernah cukup. Karena itulah, penting untuk berinvestasi dalam penciptaan nilai dan pembangunan yang inklusif. Sementara usulan terakhir adalah memahami skenario perubahan di setiap sektor agraria secara khusus.
Your browser doesn’t support HTML5
Sawit Tetap Andalan
Di tengah semua kontroversi, kepala sawit tetap menjadi salah satu primadona setidaknya dalam empat dekade terakhir. Dalam paparan di laman Kementerian Pertanian disebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia dengan luasan lahan 16,38 juta hektare dan produksi 46,8 juta ton CPO. Industri sawit diklaim menyerap 16 juta tenaga kerja, berkontribusi 13,5 persen terhadap ekspor nonmigas dan menyumbang 3,50 persen terhadap total PDB Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ekspor minyak kelapa sawit berupa CPO dan turunannya pada 2021 mencapai $27,6 miliar AS., tumbuh 58,79 persen dibanding tahun sebelumnya. [ns/ab]