Dua orang itu adalah Bunda Anny yang divonis 6 tahun 6 bulan dan Arnoldus yang menerima 5 tahun 6 bulan. Mereka menjadi bagian dari sindikat perdagangan orang yang terbongkar modusnya pada 25 April 2018 lalu. Korbannya adalah tiga perempuan NTT, yaitu Selviana Dada Gole, Regina Kodi Mete dan Ngana Ata Linda. Ketiganya hendak dikirim ke Medan, namun gagal karena tindakan spontanitas seorang warga di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng.
Ditahan sejak Mei 2018, dua terdakwa ini menjalani serangkaian persidangan. Pada Kamis, (17/01), hakim PN Waikabubak di Sumba Barat, mengetukkan palu putusan. Jaksa Penuntut Umum dalam kasus ini, Alan Dharmasaputra Silalahi sebelumnya menuntut hukuman penjara 7 tahun. Selain hukuman badan, hakim juga menjatuhkan denda Rp 200 juta untuk Bunda Anny dan Rp 120 juta bagi Arnoldus. Keduanya dijerat dengan UU 21 tahun 2017 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Menurut jaksa, vonis ini sudah sesuai, tidak terlalu rendah meski juga tidak cukup tinggi.
Your browser doesn’t support HTML5
“Kalau kasus yang lain sekitar segitu juga, 7 tahun, 6 tahun atau 5 tahun. Rata-rata putusannya segitu, kalau perkara lain. Karena dia ini kan, perdagangan orang tetapi tidak terkait dengan eksploitasi seksual, PSK dan sebagainya jadi kami menuntutnya tidak terlalu tinggi. Sesuai dengan apa yang dia perbuat,” ujar Alan.
Melihat modusnya, kata Alan, para pelaku memanfaatkan kurangnya pemahaman masyarakat mengenai tindak perdagangan orang. Selain itu, faktor pendidikan dan kemiskinan juga turut memudahkan kejahatan para pelaku. Dalam kasus Bunda Anny, para korban tergiur dengan pekerjaan di Jakarta bergaji Rp 1,5 juta per bulan. Janji itu bahkan kemudian dilanggar, karena sindikat itu hendak menjual ketiganya ke Medan.
NTT adalah daerah dengan kasus perdagangan orang sangat tinggi di Indonesia. Jaksa Alan baru saja menyelesaikan dua kasus persidangan bulan ini. “Ini sudah putus semua. Kalau bisa, saya berharap jangan memegang kasus TPPO lagi. Soalnya kalau pegang perkara TPPO lagi, berarti masih banyak. Saya berharap TPPO berkurang dengan adanya putusan pidana ini,” ujarnya.
Terlantar di Bandara
Nasib baik masih diterima oleh ketiga korban karena tindakan spontan seorang warga di bandara. Pada 25 April 2018, ketiganya sebenarnya sudah siap terbang ke Medan melalui Bandara Soekarno-Hatta. Bunda Anny membawa ketiganya hingga ke bagian check in. Menjelang terbang, ketiga korban resah dan merasa ada yang aneh. Di NTT mereka ditawari kerja di Jakarta, tetapi ternyata akan diterbangkan ke Medan.
Gabriel Goa, Direktur LSM Padma Indonesia yang bergerak menentang perdagangan orang di NTT, menjelaskan kronologi itu ketika menjadi saksi di PN Waikabubak. “Seorang warga NTT yang sedang berada di bandara, bernama Ardianto, kemudian mengamankan mereka karena curiga pada kondisi ketiga korban,” kata Gabriel.
Ardianto kemudian membawa ketiganya ke Kantor Penghubung Provinsi NTT di Jakarta. Gabriel memaparkan, ketiga korban dibawa dari Sumba, NTT pada 18 April 2018. Selama satu minggu, ketiganya ditampung di rumah Bunda Anny di Bekasi.
Ketiga korban direkrut oleh tiga orang yang berbeda di NTT. Dua diantaranya masih dibawah umur ketika berangkat. Keduanya lolos dari pemeriksaan di bandara, karena ada anggota sindikat yang bekerja di bandara, yaitu Arnoldus yang dalam sidang ini menerima putusan hukuman 5 tahun 6 bulan hari Kamis. Begitu lolos dari NTT, sesampainya di Jakarta mereka diterima oleh Bunda Anny. “Sesuai penjelasan ketiga korban, mereka dijanjikan akan dipekerjakan di Jakarta sebagai asisten rumah tangga, namun oleh Bunda Anny mereka justru akan diterbangkan ke Medan,” tambah Gabriel.
Hukuman Belum Maksimal
Berbicara kepada VOA, Gregorius R Daeng, dari Kelompok Kerja Menentang Perdagangan Manusia (Pokja MPM), menilai rata-rata putusan hakim dalam kasus TPPO masih rendah. Sistem penegakan hukum TPPO di Indonesia masih jauh dari harapan dalam konteks memberikan efek jera terhadap pelaku. TPPO adalah kejahatan luar biasa dan melibatkan sindikat, tetapi penangananya selama ini masih personal. Di level kejaksaan, tuntutan yang diberikan sering tidak maksimal, begitupun putusan hakim.
“Kasus yang pernah kita advokasi, rata-rata jaksa menuntut tidak lebih dari 10 tahun, dan hakim vonisnya dibawah daripada itu. Vonis rendahnya itu antara 6 bulan sampai dengan 7 tahun. Kasus Dolfina Abuk itu dituntut 12 tahun, tetapi hakim vonisnya 1,5 tahun. Nah ini kan satu problem,” ujar Daeng.
Daeng mengatakan, di level penegakan hukum kasus TPPO cenderung disamakan dengan delik umum. Penegak hukum tidak menggali konteks persoalan ini secara lebih luas. Dari sisi hakim, tambah Daeng, tidak hanya cukup mengikuti undang-undang tetapi juga harus menggali nilai-nilai keadilan yang ada di masyarakat.
Kelemahan lain, kata Daeng, adalah karena penerapan hukum yang berhenti di level bawah atau operator lapangan. Setingkat di atas para operator ini, penegak hukum belum menyentuhnya. “Setidak-tidaknya kita omong soal korporasi. Ada berapa banyak korporasi yang terjerat TPPO di Indonesia? Hampir dipastikan tidak ada. Kalau di NTT, saya bisa pastikan tidak ada. Padahal kalau kita lihat TPPO dari konteks buruh migran, korporasi harus terlibat,” tambah Gregorius Daeng.
Indonesia sudah memiliki UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, tetapi itu saja belum cukup. Daeng menambahkan, seusai Konvensi Palermo terkait TTPO, Indonesia memang berkomitmen mencegah perdagangan orang. Undang-undang khusus disusun, tetapi semua bergenti disitu. Belum ada komitmen maksimal dalam mencegah dan memberantas TPPO.
“Kalau masalah ini dipandang serius, seharusnya dibikin institusi sendiri yang lebih spesifik, tidak hanya unit khusus saja di Mabes Polri. Kalau dilihat secara makro, di level penegakan hukum sendiri ada problem budaya hukum, struktur hukum dan substansichukum yang tidak menjadi satu kesatuan yang baik,” pungkas Daeng. [ns/lt]