Ada dua hal paling dibicarakan saat ini seputar KPK, yaitu seleksi capim dan rencana revisi UU. Baik DPR maupun Presiden Jokowi memegang peranan penting dalam proses ini. Dua pihak ini, yang akan menentukan wajah dan kinerja KPK ke depan, lewat pimpinan dan dasar hukum bagi lembaga anti rasuah itu.
Dalam diskusi mengenai KPK di Yogyakarta, Selasa (10/9), mantan pimpinan KPK Abraham Samad mengaku kasihan dengan Jokowi. Sebagai Presiden, dia hanya menerima umpan bola panas dari panitia seleksi(pansel) capim KPK yang bekerja tanpa mengindahkan masukan masyarakat. Terkait seleksi capim ini, kata Samad, saat ini bola sudah sampai ke DPR sebab uji kepatutan dan kelayakan sudah digelar.
“Menurut saya, belum terlambat bagi DPR kalau masih ingin mendengarkan suara rakyat. DPR bisa tidak memilih capim yang telah mengikuti fit and proper test. Kenapa saya katakan bisa tidak memilih, tidak memutuskan, ini pernah ada contohnya. Ketika pimpinan di masa saya berakhir satu orang, Pak Busyro, harus dilakukan seleksi, kemudian dilakukan fit and proper test oleh DPR. Ternyata dari hasil itu, tidak satupun pimpinan dipilih, jadi ini pernah dilakukan oleh DPR,” ujar Samad.
Pakar Hukum Tata Negara UGM, Zaenal Arifin Mochtar mengatakan, keseriusan Jokowi dalam pemberantasan korupsi sebenarnya dapat dilihat sejak pembentukan pansel capim KPK.
Jika presiden serius dalam upaya ini, kata Zaenal, seharusnya pansel diisi oleh mereka yang benar-benar memiliki kapasitas, kapabilitas, rekam jejak yang baik, mumpuni dan punya komitmen yang baik dalam pemberantasan korupsi.
BACA JUGA: Nawacita Jokowi Tentang Penguatan KPK DipertanyakanKarena itu, pertanyaan terkait hasil kerja pansel ini, seharusnya diarahkan langsung ke Jokowi. Selain itu, masyarakat juga harus mengirim pesan yang jelas mengenai siapa saja yang mereka dukung dari sepuluh nama pilihan pansel.
“Publik harus mengirimkan sinyal, dari sepuluh kandidat itu, mana yang seharusnya tidak masuk KPK. Dari sepuluh, mana yang diunggulkan. Cuma saya selalu khawatir dengan kiriman sinyal masyarakat sipil. Semakin masyarakat sipil kirimkan sinyal mengenai orang tertentu yang sebaiknya terpilih, malah semakin tidak dipilih oleh DPR,” ujar Zaenal.
Your browser doesn’t support HTML5
Ada aspirasi yang tidak sinkron antara masyarakat sipil dan DPR. Padahal, DPR sendiri berulang kali menyatakan meminta masukan dari masyarakat sipil. Pengalaman selama ini, kata Zaenal, semakin mereka mendorong nama-nama tertentu, semakin besar kemungkinan nama itu dicoret DPR. Semua ini terjadi, tambahnya, karena proses pemilihan di DPR diwarnai kecenderungan politis.
“Saya pikir untuk kali ini KPK akan jebol. Untuk proses pimpinan KPK. Sekarang saya berpikir, bahwa kita tidak bisa lagi berharap pimpinan KPK adalah the best five, nggak mungkin the dream team. Yang harus diperkuat adalah di lapisan internal KPK. Sebagaimana pengawasan internal,” tambah Zaenal.
Penolakan Revisi UU KPK
Namun, ide penguatan internal itu bukan tanpa masalah. Ketika masyarakat sipil tidak berharap banyak pada pimpinan KPK ke depan dan percaya bahwa sistem internal akan menjaga independensi KPK, tusukan lain diberikan dalam upaya pemberantasan korupsi. Dikatakan Zaenal, semangat penguatan internal itu terancam oleh hadirnya rencana RUU KPK yang baru.
Aktivis sekaligus dosen hukum di STHI Jentera, Bivitri Susanti bahkan menilai, semua proses terkait pemilihan capim KPK dan rencana revisi UU KPK telah sedemikian kacau.
“Kalau saya bilang ini ngaco. Karena bahkan capim KPK yang sekarang itu diikat dengan dokumen bermaterai untuk bilang bahwa mereka akan setuju dengan revisi UU KPK, kapanpun selama mereka menjabat. Bermaterai! Saya sebagai orang hukum pasti kesal, ini menghina hukum banget. Diikatnya dengan materai supaya setuju revisi UU KPK,” ujar Bivitri.
Salah satu poin penting dalam revisi UU KPK adalah keinginan DPR untuk menghadirkan Dewan Pengawas. Menurut Bivitri, alasan ini tidak dapat diterima.
“Dalam hukum tata negara, pengawas itu tidak harus dibuat dalam bentuk lembaga, seperti Dewan Pengawas, tetapi berupa mekanisme yang banyak. Dan KPK sudah punya banyak mekanisme termasuk dalam hukum acara pidana. Kalau ada yang tidak baik diterapkan, ada mekanisme pra peradilan. Dan KPK pernah kalah di pra peradian, sehingga sebenarnya dia tidak superpower sekali, sehingga dibutuhkan Dewan Pengawas,” tambah Bivitri.
Dewan Pengawas sebagai bagian revisi UU KPK ini, menurut Zaenal Arifin Mochtar juga tidak diperlukan bagi lembaga independen. Dia memberi contoh, dalam pelaksanaan Pemilu, KPU bersifat independen. Lembaga Bawaslu bukan mengawasi kinerja KPU, tetapi pelaksanaan Pemilu itu sendiri. Dalam persoalan terkait etik, ada lembaga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Namun, di KPK, penegakan etik sudah berjalan sangat baik, bahkan terhadap para pimpinannya.
Abraham Samad pun mendukung pernyataan itu dengan membagikan pengalamannya sebagai pimpinan KPK. Secara internal, KPK memiliki sistem pengawasan yang sangat baik dan tegas. Samad pernah menjalani sidang etik ini, dan merasakan sendiri bagaimana tegasnya internal KPK menegakkan aturan.
Kekhawatiran DPR bahwa di KPK terjadi praktik penyadapan secara liar juga ditepis Samad. Menurutnya, untuk bisa melakukan penyadapan, ada proses berjenjang yang harus dilakukan. Tindakan itu juga harus disetujui pimpinan KPK, sehingga jelas penyidik tidak bisa bertindak sendiri.
Karena itulah, Samad tegas meminta Presiden bertindak segera untuk menghentikan proses revisi UU KPK.
“Presiden harusnya meminta kepada DPR menghentikan revisi ini. Sebenarnya yang kita sangat kuatir itu bukan lembaga KPK-nya, tapi kalau revisi ini tetap dilanjutkan, maka dampaknya ada pada berhentinya agenda pemberantasan korupsi,” kata Samad. [ns/ab]