Serangan bom di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur terjadi pada Minggu pagi (13/5). Sedikitnya 13 orang tewas dan 41 lainnya luka-luka termasuk polisi. Ledakan tersebut terjadi di depan Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Ngagel, di depan Gereja GPPS (Gereja Pantekosta) di Arjuna, dan di Gereja GKI di Diponegoro.
Sekitar empat jam sebelum serangan bom di tiga gereja di Surabaya tersebut, empat orang terduga teroris ditembak mati oleh polisi di Cianjur, Jawa Barat dalam operasi penangkapan. Mereka merupakan anggota jaringan Jamaah Ansharut Daulah pimpinan Aman Abdurahman yang kini mendekam di salah satu lapas di Nusakambangan terkait kasus terorisme.
Your browser doesn’t support HTML5
Pengamat Terorisme dari Universitas Malikussaleh Aceh, Al Chaidar kepada VOA mengatakan serangan bom di tiga geraja di Surabaya dan penyerangan polisi yang terjadi di sejumlah daerah merupakan lanjutan atau ekstensi dari insiden yang terjadi di rutan cabang Salemba yang berada di wilayah Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Menurut Chaidar, ketika terjadi penyaderaan polisi oleh kelompok teroris dan juga peristiwa perebutan senjata oleh kelompok teroris di Rutan cabang Salemba, sejumlah anggota teroris itu sempat menyerukan kepada anggotanya untuk berjihad dengan menolong dan membantu “kelompok-kelompok jihad” yang ada di Mako Brimob. Jika tidak mampu ke Mako Brimob disarankan untuk melakukan serangan ke lokasi-lokasi yang menjadi sasaran utama mereka yaitu aparat kepolisian, tempat ibadah dan juga tempat keramaian.
Baca juga: Presiden Kutuk Aksi Terorisme dan Perintahkan Kapolri Bongkar Jaringan Teroris Sampai Tuntas
Seruan tersebut kata Al Chaidar disampaikan melalui Instagram dan juga WhatsApp. Menurut Chaidar seruan jihad tersebut disampaikan terpidana kasus terorisme yaitu oleh Iskandar dan Muflih, keduanya dikenal sebagai ustad yang otoritatif. Aparat kepolisian tambahnya telah kecolongan karena mereka dapat menggunakan handphone di dalam lapas. Seruan-seruan semacam itu menurut Al Chaidar berdampak sangat besar.
"Saya ungkapkan data ketika disebarkan seruan jihad untuk melakukan serangan terhadap Mako Brimob itu, di daerah Jawa Barat segera pada tanggal 10 mengirim 57 orang, Banten mengirimkan sekitar 14 , Bogor saya lupa angkanya, Tangerang, Bekasi , Jawa Tengah mengirimkan 71, Surabaya 106. Bima-Lombok mengirimkan 13. Dari Medan belum tahu berapa. Artinya itu kan masif sekali," papar Chaidar.
Baca juga: Polri: Anggota Satu Keluarga Lakukan Pemboman di Surabaya
Al Chaidar menyerukan kepada polisi untuk segera memantau media komunikasi yang kerap digunakan teroris dan napiter seperti WhatsApp, Telegram, Facebook dan Instagram. Pemerintah harus cepat membentuk satuan-satuan khusus untuk menangani kelompok-kelompok teroris di berbagai lokasi.
Al Chaidar yang lama meneliti kasus terorisme dan radikalisme di Indonesia juga mengatakan pemerintah harus mengkaji-ulang program deradikalisasi yang memang sudah gagal total.
Hal senada juga diungkapkan pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Ridlwan Habib, yang menyarankan agar ditemukan pendekatan lain untuk menangani napiter.
"Ada satu kasus di Jawa Tengah, itu aktivis senior Jamaah Islamiyah yang dulu sama sekali tidak mau berkomunikasi dengan petugas, tidak mau dialog dengan sipir, tidak mau dengan polisi, itu akhirnya dia luluh karena hobi. Ustadz ini ternyata hobinya ayam kate, ternyata petugas tahu kemudian didekati dengan itu. Diberikan ayam, diajak diskusi tentang ayam, itu masuk di situ, Tetapi kalau diskusi soal Islam yang benar, soal surga, neraka, serangan teroris halal atau haram itu stop mereka, ga bisa. Saya kita human approach seperti ini bisa dipakai dan petugas-petugas yang bekerja benar-benar harus memahami psikologi teroris, psikologi kelompok ini harus benar-benar dipahami. Soft Approach bukan dalam konteks normatif ya. Kalau sekarang kan normative mendatangkan ulama dari Timur Tengah, mengadakan seminar dan kajian yang sangat normative. Itu saya kita tidak akan efektif. Harus ada pendekatan yang ekstra human. Dipetakan benar karakter orangnya. Masuknya dari soal pribadi bukan idiologi," jelasnya.
Baca juga: Ledakan di Tiga Gereja, 13 Tewas, 41 Luka
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menilai bahwa pemerintah perlu melakukan upaya pencegahan yang efektif agar aksi teror bom gereja tidak kembali terulang.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menurut Damanik juga harus memberikan perhatian kepada para korban, terutama hak mendapat perlindungan dan pemulihan. [fw/em]