Pengamat: Deflasi 5 Bulan Beruntun Tandai Daya Beli yang Melemah

ILUSTRASI - Seorang teller menghitung uang kertas rupiah di money changer di Jakarta, 14 Oktober 2022. (Willy Kurniawan/REUTERS)

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturutan. Sejumlah ekonom mengatakan kondisi ini menandakan bahwa daya beli masyarakat melemah.

Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti melaporkan pada September 2024 terjadi deflasi sebesar 0,12 persen. Secara tahunan, katanya, masih terjadi inflasi sebesar 1,84 persen.

“Deflasi pada September 2024 terlihat lebih dalam dibandingkan Agustus 2024, dan ini merupakan deflasi kelima pada tahun 2024 secara bulanan,” ungkap Amalia dalam telekonferensi pers di Jakarta, Selasa (1/10).

Amalia menjelaskan penyebab deflasi bulanan terbesar adalah makanan, minuman dan tembakau dengan kontribusi sebesar 0,59 persen. Komoditas dominan yang memberikan andil deflasi di antaranya adalah cabai merah, cabai rawit, telur ayam ras, dan tomat.

Seorang pedagang sayur dan rempah-rempah menunggu pelanggan di kiosnya di pasar tradisional di Tangerang, Indonesia, Selasa, 29 Maret 2022. (Tatan Syuflana/AP)

Fenomena deflasi yang terjadi secara beruntun ini, kata Amalia, terakhir terjadi pada tahun 1999 setelah krisis finansial Asia, di mana pada kala itu Indonesia mengalami deflasi selama tujuh bulan berturut-turut dari Maret-September 1999. Periode deflasi lain, katanya, juga pernah terjadi antara Desember 2008 hingga Januari 2009, yang disebabkan oleh turunnya harga minyak dunia. Pada tahun 2020, juga pernah terjadi deflasi selama tiga bulan berturut-turut.

Berbeda dengan tahun 1999, deflasi kali ini terjadi karena adanya penurunan harga yang dipengaruhi dari sisi penawaran atau supply, utamanya pangan.
“Mengapa harganya bisa turun, karena biaya produksi turun, karena biaya produksi turun, tentunya ini akan dicerminkan pada harga di tingkat konsumen ikutan turun. Inilah inflasi atau deflasi dicerminkan yang kita tangkap melalui indeks harga konsumen atau indeks yang diterima oleh konsumen, dan ini tentunya seiring dengan masa panen cabai rawit dan cabai merah sehingga pasokan relatif berlimpah untuk komoditas tersebut,” jelasnya.

Muhammad Faisal dari CORE Indonesia. (Foto: Dok Pribadi)

Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal mengungkapkan fenomena deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut ini menandakan daya beli masyarakat yang kian melemah. Hal ini terlihat dari tingkat penjualan barang bukan primer seperti pakaian, alas kaki, peralatan komunikasi dan lainnya yang terus menurun sejak 2023 hingga saat ini.

Hal ini, menurutnya, dikonfirmasi dari sisi tingkat pendapatan masyarakat dan jumlah tabungan yang kian menurun. Dari sisi pendapatan atau upah riil yang dipantau secara per kapita dan per bulan di 2024 pada Februari hanya tumbuh 0,7 persen. Hal ini, kata Faisal, sangat tidak biasa jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang berada di level lima persen.

Your browser doesn’t support HTML5

Pengamat: Deflasi 5 Bulan Beruntun Tandai Daya Beli yang Melemah

Dari sisi tabungan, berdasarkan data dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pertumbuhan nilai rekening untuk jumlah tabungan di bawah Rp100 juta hanya tiga persen pada akhir 2023, sehingga jumlah tabungan orang Indonesia sebanyak 99 persen hanya berada di bawah Rp100 juta.

“Jadi ketika kebutuhan hidup meningkat, harga barang-barang tidak tinggi tetapi karena upahnya atau tingkat pendapatannya rendah, tetap saja tidak cukup sehingga mereka harus memanfaatkan pilihannya kalau tidak manfaatkan tabungan, kalau mereka punya tabungan, kalau tidak mereka terpaksa meminjam. Tidak heran kalau tingkat pinjaman, termasuk pinjaman online mengalami peningkatan yang luar biasa setelah pandemi. dan itu didorong juga oleh digitalisasi. Lebih jauh lagi ini, kalau kita kaitkan dengan data transaksi judi online juga sama ada peningkatan setelah pandemi. jadi ini berkaitan satu sama lain,” ungkap Faisal ketika berbincang dengan VOA.

BACA JUGA: Jumlah Kelas Menengah Turun, Pemerintah Didorong Berikan Insentif Lebih

Meski begitu, ia meyakini bahwa inflasi akan mulai naik pada November mendatang menjelang perayaan natal dan tahun baru. Pada Oktober ini, Faisal memprediksi masih akan terjadi deflasi.

“Itu sangat-sangat tidak biasa untuk ekonomi negara dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun lima persen seperti di Indonesia. Pada umumnya negara-negara berkembang yang pertumbuhannya 5-6 persen bahkan empat persen pun ini diikuti dengan peningkatan inflasi kalau ekonominya normal, tidak ada masalah apa-apa. Tetapi kalau sudah deflasi 5-6 bulan berturut-turut, sebetulnya sebuah warning bahwa yang harus diantisipasi jangan sampai ini mengarah kepada resesi,” tegasnya.

Hal senada juga dilontarkan oleh Ekonom INDEF Tauhid Ahmad. Ia mengungkapkan kejadian ini menandakan bahwa perekonomian Indonesia sedang tidak baik..

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad. (Foto: dokumentasi Tauhid A)

“Saya kira ini memang pelemahan ekonomi, secara struktur. Bukan hanya soal daya beli, tetapi di banyak aspek misalnya struktur ekspor impor, konsumsi pemerintah dan investasi juga trennya menurun. Bukan hanya soal daya beli, karena tendensi putaran misalnya PMI di bawah 50, kemudian penjualan kendaraan roda dua stagnan, itu menunjukkan bahwa kinerja ekonomi yang lain juga terpengaruh. Memang daya beli faktor dominan, tetapi faktor lain juga mengalami tren stagnan, bahkan ada yang lebih rendah,” ungkap Tauhid kepada VOA.

Ia menjelaskan permasalahan utama pada saat ini adalah kesulitan masyarakat memenuhi kebutuhan pokok karena dalam kurun waktu satu tahun terakhir harga pangan mengalami kenaikan luar biasa. Fenomena deflasi, tegasnya, terjadi karena masyarakat tidak mampu untuk membeli.

Di sisi lain, katanya, kondisi global juga cukup mempengaruhi deflasi beruntun ini. Perusahaan-perusahaan berbasis impor, jelas Tauhid, sudah tidak bisa menyerap ltenaga kerja baru karena pasar yang bermasalah.

“Misalnya situasinya China, yang ekonominya menurun bahkan 4 persen sehingga permintaan barang dan jasa dari kita melemah otomatis banyak eksportir kita yang ke China mengalami pelemahan sehingga banyak yang dirumahkan, worst case-nya bahkan banyak upah riilnya di bawah UMR sehingga mempengaruhi daya beli, belum lagi perusahaan-perusahaan yang mengalami PHK, otomatis tidak punya income. Jadinya daya beli turun,” tegasnya.

Seorang pedagang cabai menunggu pembeli di pasar tradisional, di Jakarta, 1 Oktober 2024. (Willy Kurniawan/REUTERS)

Menurutnya, untuk mengantisipasi hal ini pemerintah harus bergerak cepat menggelontorkan stimulus seperti bantuan sosial (bansos) dan menundaan berbagai kebijakan yang dinilai memberatkan masyarakat, seperti pembatasan BBM bersubsidi dan kenaikan PPN (pajak pertambahan nilai).

Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Kamdani melalui pesan singkatnya kepada VOA menyatakan bahwa deflasi yang terjadi karena harga pangan yang bergejolak ini sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Menurutnya, deflasi yang terjadi pada komponen kebutuhan pangan pokok, sebetulnya dapat menciptakan efek positif terhadap konsumsi secara keseluruhan karena menciptakan potensi kenaikan discretionary income masyarakat. Discretionary income adalah pendapatan yang tersisa setelah pajak dan biaya kebutuhan dasar, seperti sandang, pangan, dan papan. Apalagi katanya secara tahunan Indonesia masih mengalami inflasi yang masih dalam jangkauan target pemerintah.

FILE - Ketua Apindo Shinta Widjaja Kamdani. (Foto: VOA).

“Meskipun demikian, jelas inflasi 1,84 persen ini mengindikasikan adanya pertumbuhan konsumsi pasar domestik yang sangat sluggish dan kalau dibiarkan tingkat inflasi yang terlalu rendah ini dapat menjadi beban bagi pemerintah untuk menciptakan pertumbuhan di atas lima persen hingga akhir tahun,” ungkap Shinta.

Ia menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi tanah air sangat bergantung pada kinerja konsumsi dalam negeri, sehingga jika level konsumsi domestik rendah tentu pertumbuhan ekonomi akan sulit dipacu.

Dengan kondisi seperti ini, katanya, dunia industri akan cenderung bersikap wait and see untuk melakukan ekspansi usaha karena khawatir produk yang dihasilkan tidak mampu diserap oleh pasar.

“Kami harap pemerintah dapat menciptakan stimulus-stimulus yang dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja pasar. Ini dapat dilakukan dengan menciptakan quantitative easing (penurunan suku bunga acuan) dan menciptakan terobosan-terobosan kebijakan di sisi penciptaan produktivitas, khususnya dalam hal fasilitasi investasi, peningkatan kinerja ekspor, pemberdayaan UMKM dan upaya mentransformasikan sektor ekonomi informal menjadi sektor ekonomi formal agar pekerja di sektor informal memiliki tingkat produktivitas dan kesejahteraan (baca: daya beli) yang lebih baik sehingga pertumbuhan pasar domestik bisa dipacu agar lebih suportif untuk menciptakan level pertumbuhan yang diinginkan,” tutupnya. [gi/ab]