Pengamat: Diversifikasi Pasar Kelapa Sawit Perlu Terus Didorong

Pekerja memuat tandan kelapa sawit untuk diangkut ke pabrik CPO di Pekanbaru, Riau, 27 April 2022. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Indonesia dan Malaysia, sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia masih berupaya melawan diskriminasi dari Uni Eropa karena isu lingkungan. Pengamat menilai, tipis harapan bagi Uni Eropa untuk bisa menerima ekspor kelapa sawit dari kedua negara tersebut.

Meski Indonesia masih berupaya melawan diskriminasi terhadap kelapa sawit dari Uni Eropa, pengamat menilai kecil kemungkinan bahwa Uni Eropa akan menghentikan tindakan yang dianggap mendiskriminasi minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia.

Pasalnya, kata pengamat ekonomi Fahmy Radhi, Indonesia juga menghentikan ekspor bijih nikel yang kemudian digugat oleh Uni Eropa melalui Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).

Pengamat ekonomi energi UGM, Dr Fahmy Radhi. (Foto: dok pribadi)

“Saya pesimis apalagi Uni Eropa sempat marah terhadap Indonesia karena melarang ekspor bijih nikel dan itu pukulan berat bagi industrinya Uni Eropa. Maka sekuat apapun yang dilakukan barangkali tipis harapannya,” ungkap Fahmy.

Maka dari itu, katanya, Indonesia perlu mendiversifikasi pasar kelapa sawit ke beberapa negara lain dan pasar domestik, sehingga ketergantungan terhadap Uni Eropa bisa berkurang.

“Tapi sebenarnya kebutuhan dalam negeri cukup besar untuk kebutuhan bahan baku minyak goreng, atau juga perlu dikembangkan produk turunan dari kelapa sawit tadi yang itu bisa menjadi pasar dalam negeri sehingga tidak terlalu bergantung pada ekspor. Jadi menurut saya diversifikasi pasar selain Uni Eropa perlu dilakukan,” jelasnya.

Foto udara perkebunan kelapa sawit di Batanghari, Jambi, 28 November 2018. (Foto: Antara/Wahdi Septiawan via REUTERS)

Misi bersama

Dalam kunjungan kerja ke Malaysia pekan lalu, Presiden Joko Widodo mengajak Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim untuk terus memperkuat kerja sama dalam menghadapi berbagai diskriminasi terhadap minyak sawit dan produk komoditas lain dari Uni Eropa.

“Saya sangat menghargai baru-baru ini dilakukan joint mission Indonesia-Malaysia ke Brussels, dan kolaborasi semacam ini harus terus diperkuat,” ungkap Jokowi saat bertemu Anwar di Seri Perdana, Putrajaya, Malaysia, Kamis (8/6).

Pada 30-31 Mei lalu, Indonesia dan Malaysia mengadakan misi bersama atau joint mission ke Brussels, Belgia untuk menyampaikan kekhawatiran terkait European Union Deforestation Free Regulation (EUDR). Kedua negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia itu memandang EUDR dapat menghambat akses minyak sawit ke pasar Uni Eropa dan merugikan para petani rakyat (smallholders) yang terbebani persyaratan regulasi EUDR.

BACA JUGA: Indonesia Tuduh Uni Eropa Lakukan Imperialisme Regulasi dengan UU Deforestasi

Seperti dikutip dari situs Kementerian Perekonomian, Menteri Koordiantor Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Perkebunan dan Komoditi Malaysia Dato’ Sri Haji Fadillah Bin Haji Yusof memimpin misi bersama itu.

Di Brussels, keduanya bertemu dengan beberapa pejabat kunci di Uni Eropa, antara lain Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Josep Borrell-Fontelles, Komisioner Urusan Lingkungan Hidup, Laut, dan Perikanan Virginijus Sinkevicius, dan

Wakil Presiden Eksekutif Kesepakatan Hijau Eropa dan Komisioner untuk Kebijakan Aksi Iklim Frans Timmermans.

Sebagai tindak lanjut pertemuan itu, para pihak sedang menjajaki pembentukan platform konsultasi antara Indonesia, Malaysia, dan Uni Eropa yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

Seorang pekerja menurunkan buah kelapa sawit di perkebunan kelapa sawit di Gambut Jaya, Provinsi Jambi. (Foto: Antara/Wahyu Putro A via REUTERS)

Dampak EUDR terhadap Petani Rakyat

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, Gulat Manurung, mengatakan tdiak ada dampak langsung dari peraturan EUDR terhadap petani rakyat. Ia mengatakan ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) Indonesia ke Uni Eropa hanya 2,05 juta ton atau sekitar 4,3 persen dari total produksi minyak sawit pada 2022 sebesar 47 juta ton.

Sejauh ini, kata Gulat, ekspor CPO ke Uni Eropa hanya dilakukan oleh perusahaan sawit besar, seperti Wilmar dan Sinar Mas karena 90 persen minyak sawit yang masuk ke Uni Eropa harus mendapat sertifikasi dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Di sisi lain, mayoritas produksi CPO dari petani rakyat tidak memiliki sertifikasi tersebut.

Maka dari itu, menurut Gulat, seharusnya perusahaan atau korporasi sawit besar yang memasok Uni Eropa hanya tinggal menaikkan level sertifikasi RSPO agar bisa memenuhi peraturan EUDR.

“Jadi menyiasatinya yang ekspor ke Uni Eropa itu di-upgrade mengikuti EUDR. Itu tipis perbedaan persyaratan antara sertifikasi RSPO dengan EUDR,” ungkapnya kepada VOA.

BACA JUGA: Pemerintah Minta Importir Tak Boikot Minyak Sawit Indonesia 

Senada dengan Fahmy, Gulat mengatakan, Indonesia perlu memperkuat hubungan dagang dengan pelanggan-pelanggan CPO Indonesia sebelumnya seperti Amerika Serikat, India, China dan menambah pasar baru, seperti ke Arab Saudi dan negara-negara Asia lainnya.

Selain itu, pemerintah juga bisa meningkatkan serapan CPO untuk kebutuhan dalam negeri. Pada tahun lalu, pasar domestik menyerap 48 persen dari produksi CPO sebesar 47 juta ton pada 2022.

“Kita lupa bahwa kita juga pengkonsumsi (kelapa sawit) yang besar. Kenapa takut dengan Uni Eropa? Kita tidak meninggalkan Uni Eropa, tapi layani saja. Siapa? Pemasok besar CPO ke Uni Eropa selama ini, Sinar Mas, Astra yang mensuplai 2,05 juta ton itu ikuti saja aturan EUDR, selesai. Lalu tingkatkan kebutuhan untuk Indonesia sendiri,” tuturnya. [gi/ft]

Reply

Reply all

Forward

FW