Pengamat Migas: Sektor Energi Mengkhawatirkan

  • Iris Gera

Sebuah pompa bensin Pertamina. Menurut pengamat, ketersediaan energi masih dijadikan alat politik di Indonesia.

Selain pendapatan negara terganggu akibat keterbatasan minyak dan gas atau migas di dalam negeri, pemerintah juga belum menemukan cara terbaik untuk mengembangkan energi alternatif untuk bisa segera digunakan di Indonesia.

Kepada VOA Minggu malam, pengamat migas dari Pusat Kajian Strategis untuk Kepentingan Nasional, Dirgo Purbo, berpendapat kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia tidak membuat pemerintah saat ini maupun pemerintah sebelumnya tulus untuk mengolahnya dengan baik dan benar serta transparan. Menurutnya, ketersediaan energi masih dijadikan alat politik dan rawan dengan penyalahgunaan pendapatan negara akibat kurang sejalannya kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah.

Dirgo mengatakan, “Semua udah ada, aturan main, everything is in place. Persoalannya kita tidak menyikapi ini sebagai bagian yang esensial untuk kepentingan nasional kita. Yang penting dibuat adalah aturan mainnya harus ada. Tetapi apakah itu dijalankan atau tidak ya kalau bahasa Sundanya ‘kumaha engke wae’. Akibatnya kita selalu kelabakan terus at the end.”

Sebelumnya Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM, Evita Legowo, menjelaskan penerimaan negara dari sektor migas anjlok dibanding sekitar tahun 1970. Jika saat itu, tambahnya, sektor migas mampu menyetor sekitar 70 persen dari total pendapatan negara, saat ini hanya sekitar 30 persen.

Untuk itu ditegaskannya pemerintah akan terus berupaya meningkatkan wilayah kerja pengeboran migas baru yang, menurutnya, saat ini perkembangannya cenderung berada di lepas pantai.

Menurut catatan pemerintah dari 228 wilayah kerja yang ada, 52 persen di darat dan 48 persen di lepas pantai. Maka menurutnya pemerintah membutuhkan kapal-kapal baru untuk melakukan pengeboran.

“Migas hanya bersaing dengan pajak dalam memberikan penerimaan negara secara utuh hanya dari satu sub-sektor. Jadi penerimaan negara berasal dari satu sub-sektor migas, padahal dulu, tahun 70 sampai 80, migas itu bisa memberi masukan sampai dengan 70 persen,” ujar Dirjen Migas.

Dalam kesempatan berbeda, persoalan lain terkait energi juga disampaikan Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan.

Ia menjelaskan bahwa opsi pengelolaan energi alternatif yang semakin ramai dibicarakan banyak kalangan secara keekonomian masih sangat mahal dibandingkan energi fosil, sehingga dibutuhkan insentif untuk mengembangkan energi alternatif.

Ditambahkannya selain aturan main di bidang keuangan dan perbankan, cara-cara pemeliharaan dan pengelolaan energi alternatif masih menjadi hambatan.

“Kalau misalnya energi alternatif ini mau dikembangkan di Indonesia ini harus ada mekanisme atau insentif yang diberikan oleh pemerintah atau mungkin dari pihak finansial sendiri. Sekarang ini pihak keuangan belum memahami betul capital insentive-nya untuk mengembangkan energi alternative. Kalau energi alternatif ini nantinya bisa bersaing dengan fuel baru kita bisa benar-benar mengembangkan alternatif,” ujar Dirut Pertamina.