Seks, narkoba dan bahkan jasa pembantu semua tersedia di penjara Indonesia dengan harga yang tepat. Serangkaian skandal di dalam penjara ini menjadi sorotan berbagai media di Indonesia.
JAKARTA —
Pekan ini, pengakuan tindakan asusila dari model Vanny Rossyane telah menghidupkan kembali perdebatan tentang hak istimewa yang diberikan kepada para narapidana Indonesia yang kaya.
Model perempuan berusia 22 tahun itu mengatakan mendapat akses ke ruang pribadi di penjara di mana ia berhubungan seks dan mengkonsumsi shabu-shabu dengan pacarnya, Freddy Budiman, napi terpidana hukukam mati.
Budiman dijatuhi hukuman mati bulan Juli setelah dinyatakan bersalah menyelundupkan satu juta lebih pil ekstasi dari China.
Walaupun terpidana berusia 37 tahun itu dipenjara di Cipinang Jakarta atas tuduhan narkoba, ia diduga juga menjalankan bisnis narkoba dengan menggunakan lima ponsel dari dalam penjara dalam.
Ini bukan pertama kalinya klaim tersebut muncul. Selama beberapa tahun belakangan, para napi telah didapati menikmati berbagai fasilitas mulai dari memilki TV pribadi hingga menjalani operasi plastik di dalam sel mereka.
Leopold Sudaryono, koordinator hukum LSM Asia Foundation di Jakarta, mengatakan para napi itu bisa memperoleh berbagai fasilitas dengan imbalan uang di penjara, dari kemudahan-kemudahan hingga barang-barang seperti tempat tidur, makanan dan sabun.
"Menurut saya karena langkanya sumber daya, narapidana perlu membayar berbagai kebutuhan seperti makanan bahkan kasur, Mereka harus membayar sewa untuk itu. Mereka harus membayar untuk segala sesuatu jika mereka mampu dan jika mereka tidak dibiayai keluarga, maka mereka harus bekerja di dalam penjara untuk melayani narapidana lainnya," papar Sudaryono.
Penjara Indonesia beroperasi seperti jaringan bisnis yang kompleks, ditopang korupsi, kepadatan penghuni, salah urus dan minimnya sumber daya.
Penghasilan penjaga penjara kira-kira 3 juta Rupiah per bulan, ini memicu alasan untuk mencari pemasukan tambahan dengan membiarkan narapidana memiliki ponsel dan kemewahan lainnya.
Sudaryono mengatakan pengaturannya saling menguntungkan dan hal itu jelas membantu stabilitas di dalam penjara yang terlalu padat.
Kini ada kira-kira 160.000 narapidana di seluruh Indonesia dan rumah-rumah tahanan yang memenjarakan mereka menghadapi kesulitan dalam mengakomodasi mereka – apalagi merehabilitasi mereka – akibat derasnya arus tahanan yang masuk.
Di penjara yang paling padat, kata Sudaryono, hanya ada satu penjaga untuk setiap 900 narapidana.
"Sebenarnya masalah kepadatan tidak unik bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia atau lainnya. Negara-negara seperti Amerika dan Australia juga memiliki masalah kepadatan, tapi masalahnya adalah di Indonesia, angkanya luar biasa. Tingkat kepadatannya kira-kira 600-700 persen di berbagai penjara di Indonsia," tambahnya.
Bulan ini lebih dari 200 narapidana berhasil melarikan diri setelah terjadi kerusuhan di penjara Tanjung Gusta yang padat di Sumatera. Lebih dari 100 narapidana, termasuk empat teroris terpidana, masih buron.
Seminggu kemudian, 12 narapidana berhasil melarikan diri dari penjara di Batam.
Para pengamat mengatakan insiden itu merupakan contoh rumitnya masalah sistem penjara. Mereka mengatakan memperbaiki sistem penjara membutuhkan kepemimpinan, tambahan dana dan dorongan serius untuk merampingkan birokrasi.
Ali Aranoval, direktur LSM Pusat Studi Penahanan di Jakarta mengatakan pemerintah juga harus menempatkan para napi pengguna narkoba di pusat rehabilitasi dan bukan di penjara.
Aranoval mengatakan para napi pengedar dan pengguna narkoba jumlahnya hampir 60.000 dari total 160.000 narapidana.
Ia berpendapat dengan menempatkan napi dengan hukuman pendek di panti rehabilitasi akan meringankan masalah kelebihan kapasitas, mengekang suap dan mencegah lebih banyak orang menjadi kecanduan narkoba di penjara.
Menjual narkoba, katanya, lebih menguntungkan di dalam penjara daripada di luar penjara.
Model perempuan berusia 22 tahun itu mengatakan mendapat akses ke ruang pribadi di penjara di mana ia berhubungan seks dan mengkonsumsi shabu-shabu dengan pacarnya, Freddy Budiman, napi terpidana hukukam mati.
Budiman dijatuhi hukuman mati bulan Juli setelah dinyatakan bersalah menyelundupkan satu juta lebih pil ekstasi dari China.
Walaupun terpidana berusia 37 tahun itu dipenjara di Cipinang Jakarta atas tuduhan narkoba, ia diduga juga menjalankan bisnis narkoba dengan menggunakan lima ponsel dari dalam penjara dalam.
Ini bukan pertama kalinya klaim tersebut muncul. Selama beberapa tahun belakangan, para napi telah didapati menikmati berbagai fasilitas mulai dari memilki TV pribadi hingga menjalani operasi plastik di dalam sel mereka.
Leopold Sudaryono, koordinator hukum LSM Asia Foundation di Jakarta, mengatakan para napi itu bisa memperoleh berbagai fasilitas dengan imbalan uang di penjara, dari kemudahan-kemudahan hingga barang-barang seperti tempat tidur, makanan dan sabun.
"Menurut saya karena langkanya sumber daya, narapidana perlu membayar berbagai kebutuhan seperti makanan bahkan kasur, Mereka harus membayar sewa untuk itu. Mereka harus membayar untuk segala sesuatu jika mereka mampu dan jika mereka tidak dibiayai keluarga, maka mereka harus bekerja di dalam penjara untuk melayani narapidana lainnya," papar Sudaryono.
Penjara Indonesia beroperasi seperti jaringan bisnis yang kompleks, ditopang korupsi, kepadatan penghuni, salah urus dan minimnya sumber daya.
Penghasilan penjaga penjara kira-kira 3 juta Rupiah per bulan, ini memicu alasan untuk mencari pemasukan tambahan dengan membiarkan narapidana memiliki ponsel dan kemewahan lainnya.
Sudaryono mengatakan pengaturannya saling menguntungkan dan hal itu jelas membantu stabilitas di dalam penjara yang terlalu padat.
Kini ada kira-kira 160.000 narapidana di seluruh Indonesia dan rumah-rumah tahanan yang memenjarakan mereka menghadapi kesulitan dalam mengakomodasi mereka – apalagi merehabilitasi mereka – akibat derasnya arus tahanan yang masuk.
Di penjara yang paling padat, kata Sudaryono, hanya ada satu penjaga untuk setiap 900 narapidana.
"Sebenarnya masalah kepadatan tidak unik bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia atau lainnya. Negara-negara seperti Amerika dan Australia juga memiliki masalah kepadatan, tapi masalahnya adalah di Indonesia, angkanya luar biasa. Tingkat kepadatannya kira-kira 600-700 persen di berbagai penjara di Indonsia," tambahnya.
Bulan ini lebih dari 200 narapidana berhasil melarikan diri setelah terjadi kerusuhan di penjara Tanjung Gusta yang padat di Sumatera. Lebih dari 100 narapidana, termasuk empat teroris terpidana, masih buron.
Seminggu kemudian, 12 narapidana berhasil melarikan diri dari penjara di Batam.
Para pengamat mengatakan insiden itu merupakan contoh rumitnya masalah sistem penjara. Mereka mengatakan memperbaiki sistem penjara membutuhkan kepemimpinan, tambahan dana dan dorongan serius untuk merampingkan birokrasi.
Ali Aranoval, direktur LSM Pusat Studi Penahanan di Jakarta mengatakan pemerintah juga harus menempatkan para napi pengguna narkoba di pusat rehabilitasi dan bukan di penjara.
Aranoval mengatakan para napi pengedar dan pengguna narkoba jumlahnya hampir 60.000 dari total 160.000 narapidana.
Ia berpendapat dengan menempatkan napi dengan hukuman pendek di panti rehabilitasi akan meringankan masalah kelebihan kapasitas, mengekang suap dan mencegah lebih banyak orang menjadi kecanduan narkoba di penjara.
Menjual narkoba, katanya, lebih menguntungkan di dalam penjara daripada di luar penjara.