Penggunaan politik identitas menerima respons negatif dari masyarakat Indonesia. Namun, pakar meyakini setiap calon presiden yang akan maju pada 2024, mempersiapkan strategi ini sebagai senjata simpanan, yang dipakai ketika diperlukan.
Sebagian pemilih di Indonesia diyakini terpikat oleh program yang direncanakan seorang calon presiden. Karena itu, dalam praktiknya adu program menjadi wajah awal yang menghiasi kampanye pasangan calon presiden, baik pada masa lalu maupun pada 2024 nanti. Di depan publik, capres akan mengesankan diri sebaik mungkin dengan berbagai tawaran, seperti apa masa depan Indonesia, pengelolaan sumber energi baru, hingga penanganan krisis iklim.
Namun, Dekan Fakultas Fisipol Universitas Gadjah Mada, Wawan Mas'udi, Ph.D yakin, para capres juga menyiapkan strategi alternatif, berupa politik identitas. Sebagai senjata simpanan, politik identitas akan digunakan dengan melihat perkembangan politik yang terjadi, apakah strategi program cukup meyakinkan publik atau tidak.
“Begitu tidak cukup memberikan keyakinan politik, mereka pasti akan menyasar ceruk massa tertentu, yang memang akan sangat teryakinkan jika politik identitas ini dieksploitasi,” kata Wawan.
Wawan berbicara dalam diskusi sekaligus peresmian kantor The Conversation Indonesia, di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Kamis (11/5).
Wawan meyakinkan publik dengan mengatakan, “Siapapun calonnya ini, siapapun ya, saya yakin masing-masing timsesnya siapkan semua strategi ini.”
Karena itu, persoalannya bukanlah apakah politik identitas masih relevan dipakai pada 2024 atau tidak. Pertanyaannya adalah, seberapa kuat dan seberapa masif politik identitas akan digunakan atau tidak digunakan.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Kata Wawan karena setiap suara sangat penting bagi kemenangan seorang capres. Dalam situasi semacam ini, penggunaan politik identitas menjadi sangat kritikal. Alasan Wawan, selisih suara apalagi jika terjadi dua putaran, akan sangat menentukan. Jangankan satu dua persen, ujar dia, satu suara pun akan sangat menentukan kemenangan.
“Politik identitas nampaknya masih akan dipakai sebagai sebuah skenario atau strategi. Cuma, apakah akan diaktifkan atau tidak, ini nanti tergantung perkembangan,” kata Wawan sambil meyakinkan bahwa strategi malaikat maupun strategi setan pasti disiapkan.
Bagaimana di Media Sosial?
Media sosial, sebagai wahana politik identitas pada sepuluh tahun terakhir di Indonesia, tampaknya mengalami perubahan signifikan. Shafiq Pontoh, Chief Strategy Officer perusahaan analis data, Provetic, mengatakan pengguna media sosial sudah tidak begitu peduli terhadap konten politik identitas. Mereka juga cenderung lebih sulit terpapar dampak buruknya.
Semua ini, kata Shafiq, menjadi dampak dari loncatan komsumsi digital masyarakat sepanjang pandemi COVID 19.
“Post-COVID, orang-orang sudah sangat-sangat melek digital. Mau enggak mau dua tahun lebih dipaksa untuk memanfaatkan teknologi ini, sehingga terbentuklah generasi search. Mereka yang mencari informasi, enggak bisa lagi dicekokin atau didoktrin,” ujarnya.
Justru, pengguna media sosial lebih mudah tertarik dan dipengaruhi melalui konten-konten penuh inspirasi. Salah satu akun media sosial yang dinilai Shafiq cukup berhasil, adalah milik anggota DPR asal Partai Golkar, Deddy Mulyadi.
“Isi kontennya inspirasional semua,” ujar Shafiq.
Selain semakin tidak diminati, konten politik identitas juga dibatasi oleh platform media sosial itu sendiri. Platform menyadari, politik identitas menjadi racun, dan pengguna media sosial tidak mau berada di sebuah platform yang toxic.
Sementara pakar analisis media sosial sekaligus pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi Ph.D, menilai, dari data ada sejumlah penanda politik identitas yang masih digunakan saat ini, khususnya oleh para buzzer.
“Mereka sengaja pertahankan, karena sudah terbukti sebelumnya untuk memisahkan publik,” ujarnya.
Di media sosial, politik identitas saat ini dipertahankan khusus untuk menyerang lawan politik. Sedang dalam upaya mempromosikan masing-masing capres, strategi ini masih dihindari. Tidak ada satupun capres yang mau diasosiasikan dengan praktik politik identitas. Penghindaran ini dilakukan, karena diyakini bahwa politik identitas akan memberikan persepsi politik negatif kepada capres.
Selain itu, tim sukses capres saat ini juga banyak bertebaran dalam perbincangan-perbincangan yang justru berada di luar lingkaran politik. Apalagi, pengguna media sosial juga ramai berada dalam kelompok di luar politik, dengan mayoritas berbincang terkait olahraga, khususnya sepak bola.
Politik Identitas di Indonesia
Di Indonesia, diskusi mengenai politik identitas mulai dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan ilmiah pada era akhir 90-an.
“Secara spesifik, pelacakan terhadap artikel ilmiah di Google Scholar menemukan, buku pertama berbahasa Indonesia yang menyinggung isu ini adalah tulisan Muhammad A.S. Hikam, tahun 2000 yang berjudul “Islam, Demokrasi, dan Pemberdayaan Civil Society,” kata Rektor UII, Prof Fathul Wahid.
Perhatian intelektual Indonesia terhadap isu politik identitas menguat seiring waktu. Dimulai dari satu karya tulis pada tahun 2000 itu, Wahid memaparkan sepuluh tahun kemudian sudah terdapat 81 karya intelektual bertema ini. Meningkat kemudian hingga 2019 dengan 1.030 karya tulisan.
“Pada 2022, setahun lalu, sebanyak 1.250 karya ilmiah terindeks oleh Google Scholar. Tentu saja ini belum memasukkan karya yang menggunakan bahasa lain,” tambah Wahid.
Temuan ini, kata dia, paling tidak bisa dipakai untuk melacak sejak kapan isu politik identitas mulai mewarnai dunia perpolitikan di Indonesia.
Sementara di tingkat global, Wahid memaparkan bahwa pelacakan literatur menyebutkan, ketika politik identitas lahir pada 1970-an di Amerika Serikat, isu ini merupakan gerakan untuk melawan ketidakadilan.
“Sebagai contohnya adalah perjuangan perempuan kulit hitam di Amerika yang saat itu menjadi warga kelas dua, di bawah penindasan kulit putih,” ujarnya.
Tren di Dunia
Tidak hanya Indonesia, di tingkat global politik identitas juga pernah menjadi tren. Rizki Dian Nursita, M.H.I., dosen Hubungan Internasional UII Yogyakarta menyebut contoh di negara tetangga, Malaysia, politik identitas juga sempat menjadi warna.
“Sampai tahun 2018 itu, partai yang berkuasa UMNO, seringkali menggunakan tagline atau semacam jargon, seperti UMNO adalah pelindung dari Malay atau Melayu. Protector of Malay. Yang mana, itu ternyata berhasil,” kata Dian.
Gonjang-ganjing politik akibat skandal pada 2018 membuyarkan pemakaian politik identitas tersebut.
Di Amerika Serikat, tren politik identitas juga membawa hasil dengan terpilihnya Donald Trump pada akhir 2016.
“Dan berdasarkan riset dari American National Election Studies, tahun 2019 ke belakang sekitar satu dekade, isu kulit putih atau kulit putih sebagai faktor yang menentukan kecenderungan pemilih di dalam proses Pemilu itu juga masih sangat kuat,” tambah Dian lagi.
Salah satu contoh lagi, adalah India yang begitu kental warna politik identitasnya.
Politik identitas juga berlaku di negara lain, karena identitas dianggap sebagai sesuatu yang penting. Namun, apakah tren ini akan bertahan atau tidak, menurut Dian, masih harus melihat berbagai faktor.
“Walaupun, ada juga masyarakat sudah mulai sadar, bahwa mereka terlalu terjebak di dalam pusaran perdebatan berkaitan dengan identitas itu juga enggak ada gunanya,” tambahnya. [ns/lt]