Selama hampir sepuluh tahun terakhir, kehadiran China di kawasan Asia maupun Indonesia makin terlihat. Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan mengatakan selama hampir sepuluh tahun terakhir, dalam persepsi publik Indonesia, pengaruh China mengalami peningkatan yang tajam.
Bahkan pada 2019, China kata Djayadi dianggap sebagai negara yang pengaruhnya paling besar di Asia dan Indonesia, melampaui pengaruh Amerika Serikat dan Jepang.
Tetapi jika berbicara tentang sentimen masyarakat terhadap pengaruh China, sentimennya semakin negative. Maksudnya lanjut, Djayadi jumlah orang yang menganggap pengaruh China positif selama hampir 10 tahun terakhir ini menurun tajam. Sedangkan jumlah orang yang menganggap pengaruh China negatif meningkat tajam.
Meski demikian pada 2019 masih banyak yang menyatakan China memberi pengaruh positif.
“Kehadiran Chinadi kawasan Asia maupun di Indonesia itu makin terlihat. Dan kehadirannya itu terlihat lebih menonjol dibandingkan dengan Amerika Serikat dan negara lain seperti Jepang, Rusia dan India,” ujar Djayadi Hanan.
BACA JUGA: Pemerintah Dinilai Minim Opsi Diplomasi dalam Selesaikan Sengketa NatunaDjayadi Hanan menjelaskan penilaian masyarakat terhadap negara-negara paling berpengaruh di Asia dan Indonesia itu berhubungan dengan sejumlah faktor seperti penilaian terhadap keadaan ekonomi, kinerja pemerintah, keberpihakan dalam pemilu/politik dan sejumlah faktor demografi.
Penilaian atau sentimen terhadap China, lanjutnya, banyak dipengaruhi oleh faktor ekonomi politik. Kecenderungan bersikap negatif terhadap China terdapat pada warga yang menilai kondisi ekonomi nasional buruk dan pemilih Prabowo-Sandi di pemilu 2019 lalu.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) bekerja sama dengan Asian Barometer melakukan survei tentang persepsi publik terhadap negara-negara paling berpengaruh di Asia sejak 10-15 Juli 2019. Populasi survei ini adalah warga negara Indonesia yang sudah berumur 17 tahun lebih. Sampel yang digunakan sebanyak 1.540 responden yang dipilih dengan metode Stratified multistage .
Sebelumnya survei yang sama juga pernah dilakukan pada tahun 2011 dan 2016.
Pertumbuhan Ekonomi China
Peneliti Senior dari Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati mengakui memang saat ini pertumbuhan ekonomi Chinajauh melesat jika dibandingkan dengan Amerika Serikat.
Volume perdagangan dari China lanjutnya juga mengalami peningkatan yang luar biasa pertumbuhannya termasuk juga investasi yang masuk ke China juga luar biasa. Dalam strategi dagang, negara itu memproduksi barang secara massal dan dijual sangat murah sehingga melakukan penetrasi ke berbagai pasar termasuk pasar Amerika sehingga Amerika mengalami defisit neraca perdagangan.
BACA JUGA: Perang Dagang AS-China Dorong Pertumbuhan Vietnam“Apalagi hanya ASEAN yang memang masih dalam posisi middle income country bruto, sehingga itu yang membuat penetrasi dari perdagangan China luar biasa,” papar Enny. Apalagi, imbuhnya, China juga punya strategi penguasaan logistic melalui “Jalur Sutra”.
“Sebenarnya itu untuk pemetaan penguasaan logistik jalur perdagangan sehingga ketemu, sempurna. Itu yang menyebabkan hegemoni ekonomi China bisa melakukan penetrasi dalam berbagai hal,” tambahnya.
Hal itu lanjut Enny dikolaborasikan dengan mata uangnya sehingga ketika perdagangannya mulai ada persoalan dengan perang dagang, pihak berwenang menanggapinya dengan menerapkan kebijakan moneter langsung yaitu devaluasi terhadap nilai yuan.
Sementara Amerika selama ini fokus kepada teknologi tinggi. Industri inilah, kata Enny, berhadapan dengan barang yang diproduksi massal tersebut.
BACA JUGA: Defisit APBN 2019 Membengkak Jadi Rp 353 TriliunNilai perdagangan China dengan negara-negara anggota ASEAN selama periode Januari-Oktober 2018 tercatat 3,18 triliun Renminbi atau Rp 6.709 triliun atau naik 13,7 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017. Badan Bea dan Cukai setempat atau GAC mencatat bahwa total surplus perdagangan China pada Oktober 2018 senilai 233,63 miliar RMB atau lebih banyak dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya 213,23 miliar RMB.
Total ekspor China sepanjang 2019 mengalami kenaikan dengan lonjakan permintaan global, sedangkan perdagangan dengan AS dilaporkan turun hampir 11 persen di tengah perang dagang antara kedua negara. Administrasi Bea Cukai China melaporkan bahwa ekspor dalam yuan tumbuh sebesar 5 persen secara tahunan pada 2019 dan impor naik 1,6 persen.
Ekspansi tersebut memperlebar surplus perdagangan China sebesar 25,4 persen menjadi 2,92 triliun yuan atau sebesar US$424,6 miliar untuk 2019.
Polemik Investasi China
Terkait dengan penilaian negatif terhadap pengaruh China , Enny menyatakan strategi yang dilakukan China yang penting adalah memperbesar volume perdagangan untuk kepentingan dalam negerinya.Sehingga dengan meningkatkan volume perdagangan ke berbagai macam negara berarti investasi dalam negerinya mengalami peningkatan dan juga memberikan lapangan kerja ke domestiknya.
Otomatis, lanjut Enny, dampaknya semua investasi China ke berbagai negara termasuk ASEAN tentu mengutamakan kepentingan domestiknya. Hal itu akhirnya menimbulkan polemik di negara-negara tujuan investasi, ujar Enny. Bukan hanya di Indonesia.
Enny mencontohkan Perdana Menteri Mahathir Muhamad yang menghentikan berbagai proyek-proyek kerja sama China dan Malaysia karena dianggap lebih menguntungkan China. Sedangkan di Indonesia, masalahnya adalah tekanan defisit neraca perdagangan.
Masalah lainnya dengan investasi China, kata Enny, adalah ketentuan untuk mempekerjakan tenaga kerja asal China.
“Berbeda dengan investasi Amerika sehingga investasi AS di Indonesia masih bisa berdampak pada penyerapan tenaga kerja,” lanjut Enny.
Kondisi China yang seperti ini, tambah Enny, pasti kedepannya akan berpengaruh terhadap negara Tirai Bambu itu. Sementara Enny menambahkan perdagangan Indonesia-Amerika tidak pernah ada konflik. impor dari Amerika tidak mematikan ketahanan industri dalam negeri Indonesia karena Amerika tidak pernah memproduksi industri-industri yang berbiaya murah seperti dikembangkan China di Indonesia.
Your browser doesn’t support HTML5
Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, Bandung Teuku Rezasyah menilai penyebab pengaruh China bisa begitu besar di Asia termasuk Indonesia adalah faktor ekonomi. China,menurutnya, lebih agresif dalam berinvestasi, mencari importir-importir produk China dimana dibuktikan dengan banyaknya perjanjian-perjanjian persahabatan bahkan mengoptimalkan kerja sama sub negara.
Lanjut Rezasyah, aktivitas kerja sama AS hanya terlihat di level kerja sama antar kota. Itu pun terbatas. Sebaliknya, China mampu mendatangkan pemimpin kota secara konsisten ke Indonesia maupun negara-negara ASEAN (Association of Southeast Asian Nations/ Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) untuk kerja sama antara kota.
“Komitmen masyarakat ASEAN di level pemerintah, provinsi, kota hingga level bisnis itu benar-benar termonitor dengan baik oleh China lewat multi-actor. Sedangkan Amerika tidak bergerak seperti itu,” papar Rezasyah.
“Amerika cenderung bergerak lewat jalur diplomatik, konsulat, kedutaan. Kemudian Amerika mengandalkan alumnus, juga mengandalkan American Chamber of Commerce,” ujarnya.
Menurut Rezasyah apabila Amerika tetap ingin menjadi pemimpin kawasan, Amerika sedianya memainkan peran lebih besar dalam forum Indo-Pasifik. [fw/ft]