Perdamaian di Papua seolah menjadi mimpi panjang. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam laporannya menggarisbawahi bahwa pendekatan keamanan yang diambil pemerintah di Bumi Cendrawasih itu justru memperburuk keadaan.
Dalam diskusi membahas laporan yang berjudul “Gagal Menyentuh Akar Konflik dalam Balutan Ilusi Pembangunan” itu, peneliti KontraS Hans Giovanny Yosua menyebut contoh sejumlah langkah pendekatan keamanan tidak membawa hasil positif bagi masyarakat Papua, di antaranya pembangunan sejumlah posko keamanan yang dibuat oleh pemerintah pusat.
“Tentu, banyaknya posko keamanan ini akan meningkatkan eskalasi konflik maupun kontak senjata, antara kelompok pro-kemerdekaan yang ada di Papua hari ini dengan pasukan keamanan yang diterjunkan ke Papua,” kata Hans.
Pemerintah tentu mendasarkan pilihan kebijakan dengan mempertimbangkan kondisi aktual di Papua. Namun, KontraS menilai jalan keluar yang diberikan tidak sesuai dengan persoalan yang dihadapi. Pendekatan keamanan akan membuat resistensi dari kelompok bersenjata di Papua kepada pemerintah pusat semakin besar. Resistensi yang besar itu akan meningkatkan intensitas kontak senjata.
Langkah lain adalah pelabelan sebagai teroris bagi kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua. Pengkategorian KKB sebagai teroris berisiko, dan membuka ruang yang luas bagi pelibatan pasukan bersenjata.
Sebagai kelompok kriminal, KKB akan diatasi dalam dimensi penegakan hukum. Ketika dikategorikan sebagai teroris, dimensi penegakan hukum saja tidak cukup. Undang-Undang Terorisme dan Undang-Undang TNI membuka peluang dilibatkannya militer Indonesia. Tidak mengherankan jika KontraS mencatat sekurangnya sudah ada lebih dari 15 ribu pasukan diterjunkan ke Papua tahun ini.
“Akibat adanya kontak senjata antara kelompok bersenjata di Papua dengan TNI, pada akhirnya yang dirugikan adalah masyarakat sipil,” ujar Hans.
Label Teroris Perparah Konflik
Guru besar hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar, Prof Abdul Maasba Magassing menyebut label teroris kepada kelompok bersenjatan di Papua disematkan oleh Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD pada Maret 2021.
Secara hukum, kata dia, ada persoalan yang harus diperjelas terkait pelabelan yang diberikan pemerintah karena keduanya memiliki makna yang sangat berbeda.
“Antara istlah yang tadinya KKB, itu kan berarti dinilai sebagai pemberontak dengan istilah terorisme. Jadi, ada dua istilah yang harus kita clear-kan, karena ini terkait dengan hukum dan sebagainya, antara memakai pemberontak dan teroris,” papar Abdul Maasba.
Pemberontak, biasanya disematkan bagi kelompok yang memiliki motif politik misalnya keinginan untuk merdeka. Sementara teroris lebih dipilih untuk gerakan yang menimbulkan gangguan teror. Ada faktor ketidakpuasan di bidang ekonomi, sosial, kesejahteran dan sejenisnya, pada kelompok kedua ini.
Pakar hukum Universitas Brawijaya, Malang, Milda Istiqomah menilai pelabelan teroris kepada kelompok bersenjata di Papua ini menimbulkan konsekuensi.
“Ini yang menurut saya menjadi salah satu faktor meningkatnya eskalasi konflik bersenjata di Papua itu sendiri. Dan ini menjadi sebuah kontradiksi, dari apa yang kemudian sudah dicanangkan oleh pemerintah kaitannya dengan pemerataan pembangunan dan sebagainya itu,” kata Milda.
Secara hukum, penetapan KKB sebagai teroris pada 2021 juga keliru.
“Penetapan kelompok atau organisasi teroris itu harus ditetapkan oleh sebuah keputusan pengadilan negeri diajukan oleh Kapolri,” ujar Milda.
BACA JUGA: KKB Papua Ancam akan Tembak Pilot Susi AirPemerintah sendiri menetapkan KKB sebagai teroris sebagai respons atas tertembaknya Kepala Badan Intelejen Negara Daerah (Kabinda) Papua pada 25 April 2021. Karena itulah, ada penilaian akademisi yang menyebut bahwa pelabelan itu diambil secara emosional.
Pendekatan Keamanan Punya Syarat
Papang Hidayat, aktivis yang rajin bersuara terkait Papua dan juga pernah aktif di KontraS meminta pemahaman tentang pendekatan keamanan dilakukan hati-hati.
“Begitu kita sebut pendekatan keamanan, kita langsung memberikan konotasi yang negatif. Padahal kalau dari kalangan akademik, mungkin itu konsep harus diuji ulang. Karena hakekat negara itu memberi rasa aman dan kesejateraan,” kata Papang.
Dia menambahkan, “Sehingga negara memang diberikan kewenangan, baik itu dalam konstitusinya maupun dari perspektif hukum internasional, hukum HAM dan segala macam, untuk melakukan pendekatan keamanan.”
Namun, Papang menggarisbawahi bahwa titik kritisnya adalah pada pola pendekatan keamanan yang dipilih.
Pendekatan keamanan tidak bisa dianggap negatif, ketika memang ada kekerasan-kekerasan yang dilakukan kelompok bersenjata di Papua. Kondisi yang berkembang, tidak bisa dihadapi secara biasa melalui fungsi-fungsi pemolisioan. Salah satu sebabnya, karena kelompok ini beroperasi di teritori yang luas. Selain itu, mereka juga memperoleh dukungan politis dari sebagian masyarakat setempat.
BACA JUGA: Perdamaian Papua: Upaya Dialog Seolah Menabrak TembokNamun, ada syarat ketika operasi keamanan dilakukan, antara lain bahwa harus ada kontrol dari masyarakat sipil yang kuat, dilakukan evaluasi dan ditetapkan tujuan yang jelas.
“Di UU TNI, operasi militer harus ada keputusan politik khusus yaitu keputusan presiden dan disetujui oleh DPR, dengan budget khusus sebetulnya. Nah, ini kita enggak tahu hasil evaluasinnya seperti apa,” lanjut Papang.
Pendekatan keamanan juga harus dilaksanakan dengan hati-hati karena Indonesia sudah meratifikasi sejumlah konvensi terkait HAM. Salah satu yang paling relevan adalah soal hak sipil politik dan konvensi menentang penyiksaan.
Your browser doesn’t support HTML5
Pemerintah Akui Tidak Mudah
Berbicara dalam sebuah pertemuan beberapa hari lalu, Mahfud MD mengakui pendekatan keamanan di Papua tidak mudah dilakukan.
Mahfud mengklaim, menghadapi kekuatan Organisasi Papua Merdeka secara militer bisa dilakukan dengan singkat karena kekuatan dan peralatan yang mereka miliki sangat terbatas.
“Tetapi tidak mudah mengatasi itu, satu karena alam, dua karena biaya. Lalu kemudian sorotan dunia internasional dan orang-orang kita sendiri ini, masyarakat sipil kita sendiri di dalam negeri, kadang-kadang genit,” kata Mahfud.
Genit yang disebut Mahfud adalah karena ketika pemerintah bertindak tegas, organisasi masyarakat sipil ini berteriak ke dunia internasional, dengan menyebut Indonesia melanggar HAM. Namun di sisi lain, mereka menyebut pemerintah bodoh jika tidak mengambil tindakan.
“Nanti kalau kami bertindak, dilaporkan lagi ke dunia internasional, dianggap pelanggaran HAM berat. Di lingkungan TNI juga begitu, setiap ada rencana gerakan begini ditanyakan, HAM-nya bagaimana,” ujar Mahfud. [ns/ah]