Kampus-kampus di Indonesia terus berbenah untuk menciptakan iklim aman bebas kekerasan, terutama kekerasan seksual bagi civitas akademika. Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta, misalnya, mengeluarkan dasar hukum dan menyediakan instrumen pencegahan serta penindakan khusus untuk tindak pidana ini. Rektor UII, Prof Fathul Wahid kepada VOA menyatakan, pihaknya telah memiliki peraturan universitas secara spesifik.
“Dan itu menurut kami langkah maju. Sampai hari ini tidak semua universitas punya itu. Kami juga punya bidang etika dan hukum yang akan mengawal itu. Mengawal kalau ada laporan, kita proses, kita jatuhkan sanksinya. Kita siapkan infrastrukturnya, legalnya kita siapkan, aktornya kita siapkan,” kata Fathul.
Meski memiliki semua perangkat penindakan, Fathul berharap aturan itu tidak pernah terpakai, yang bermakna tidak pernah ada tindak kekerasan seksual di kampus.
Fathul menjamin, UII akan bertindak tegas selama ada laporan masuk terkait kekerasan seksual, sesuai sifatnya sebagai delik aduan. Platform khusus telah disediakan bagi pelapor, dengan komitmen perlindungan identitas dan penanganan yang berpihak pada korban.
“Kalau tidak diadukan, kita tidak tahu. Kalau hanya menjadi perbincangan warung kopi, kita tidak tahu. Makanya kita ingin laporan masuk melalui portal yang kita siapkan. Bukti pelapornya juga harus jelas karena kita tidak ingin ada fitnah,” tegasnya.
Sejauh ini, seluruh laporan yang masuk ke universitas selalu ditangani.
“Selama ini korban tidak pernah kita buka. Siapa yang melaporkan, Insya Allah aman,” tambahnya.
Deklarasi UGM
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta juga bertindak progresif terkait isu ini. Pada Sabtu (11/6), Rektor UGM Prof. Ova Emilia mendeklarasikan UGM sebagai kampus yang bebas dari tindak kekerasan terutama kekerasan seksual.
“Upaya untuk membentuk kampus yang kondusif dan bebas dari tindak kekerasan seksual, tentu perlu dikawal dengan pembentukan sistem serta penguatan komitmen bersama, hingga membentuk budaya akademis dalam habitus keseharian civitas UGM. Kita sudah punya Peraturan Rektor UGM No 1/2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual oleh Masyarakat UGM,” papar Ova.
Peraturan rektor itu, menurut Ova, menjadi salah satu langkah nyata universitas dalam menjaga standar nilai dan harkat kemanusiaan. Juga sebagai upaya mewujudkan keamanan dan kenyamanan bagi seluruh komponen masyarakat universitas dari seluruh bentuk tindak kekerasan seksual.
Hari Sabtu, UGM juga meresmikan platform khusus pelaporan tindak kekerasan seksual untuk memperbaiki sistem layanan, khususnya bagi korban.
“UGM secara resmi meluncurkan laman khusus pusat krisis, sebagai kanal pelaporan ataupun pengaduan terhadap tindak kekerasan yang dialami civitas kampus. Keberadaan kanal ini sekaligus melengkapi kerja Unit Layanan Terpadu, yang senantiasa memberikan respons cepat terhadap laporan tindak kekerasan seksual di kampus,” tegas Ova.
BACA JUGA: Kekerasan Seksual Tersembunyi di Ruang-Ruang KampusSinkronisasi Aturan Pusat
Meningkatnya jumlah kasus dugaan kekerasan seksual dalam lingkungan perguruan tinggi beberapa tahun terakhir mendorong pemerintah bersikap. Tahun lalu, keluar Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Aturan hukum ini menghadirkan sejumlah kewajiban bagi perguruan tinggi. Pasal 54 menyebut, pimpinan perguruan tinggi wajib memantau dan mengevaluasi penerapan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) yang dilaksanakan satuan tugas. Sementara pasal 57, mewajibkan perguruan tinggi membentuk satuan tugas khusus menangani PPKS dan harus menyesuaikan peraturan ini di perguruan tinggi masing-masing.
Karena UGM mengeluarkan aturan rektor lebih dulu daripada aturan menteri, kampus tersebut sampai saat ini masih melakukan sinkronisasi keduanya. Beberapa upaya yang dilakukan UGM antara lain meningkatkan literasi bagi mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan; meningkatkan keterampilan mengatasi kekerasan seksual; dan menggelar rangkaian lokakarya tentang prosedur pelaksanaan atau SOP pencegahan dan penanganan kekerasan seksual termasuk aspek-aspek legalnya.
“Secara global, universitas merupakan tempat kedua terbanyak terjadinya kekerasan seskual dan ini bukan hanya terjadi di Indonesia namun secara global,” papar Ova.
Pada sisi lain, Rektur UII Prof Fathul Wahid meminta pemerintah tidak bersikap kaku terkait kewajiban-kewajiban dalam Permendikbudristek 30/2021. Misalnya tentang kewajiban membuat lembaga khusus. Tidak semua perguruan tinggi, siap secara kelembagaan karena upaya itu membutuhkan sumber daya baru dan komitmen pembiayaan.
Your browser doesn’t support HTML5
“Yang perlu ditegaskan justru komitmennya. Ada ruang kreativitas yang dibuka, sehingga kampus bisa merespon dengan cara yang pas menurut kampus. Jangan sampai ada stigma kalau tidak ikut, berarti tidak peduli pada kekerasan seksual, itu kan enggak enak sekali,” ujarnya.
Fathul yakin, seluruh pihak di kampus setuju bahwa kekerasan seksual tidak memiliki tempat dalam lingkungan pendidikan. Ikhtiar masing-masing kampus dalam upaya mencegah dan menanganinya, mungkin berbeda. Namun, setiap langkah itu harus tetap diapresiasi karena komitmen mereka sebenarnya sama tinggi.
Kasus di Yogyakarta Cukup Tinggi
Yogyakarta sebagai kota pendidikan memiliki catatan cukup tinggi dalam kasus-kasus kekerasan seksual di kampus. Nurul Kurniati SH CN, konselor hukum di lembaga Rifka Annisa Women Crisis Centre menyebut, secara umum data yang masuk semakin naik dari tahun ke tahun.
“Kekerasan seksual di beberapa kampus di DI Yogyakarta dalam lima tahun terakhir, 2016 - 2021, tercatat ada 127 kasus pelecehan seksual dan ada 140 kasus perkosaan,” kata Nurul.
Mayoritas korban kekerasan seksual merupakan mahasiswa. Menurut Nurul, ada proyeksi bahwa kasus akan meningkat pada tahun-tahun mendatang.
Dia juga mengingatkan, kasus semacam ini sangat serius karena berdampak jangka panjang pada korban.
BACA JUGA: Marak Kasus Dugaan Pelecehan Seksual di Kampus, Komnas Perempuan: Fenomena Gunung Es“Salah satu pelapor yang mengadukan kasusnya di Rifka Annisa mengungkapkan bahwa dia pernah mengalami kasus kekerasan seksual sekitar 20 tahun yang lalu, tetapi dampak traumanya masih dirasakan sampai saat ini,” tambah Nurul.
Komitmen Peradilan Dipertanyakan
Kasus dugaan kekerasan seksual Dekan nonaktif Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Riau, Syafri Harto, terhadap mahasiswi bimbingan skripsinya beberapa waktu lalu, sebenarnya bisa menjadi contoh komitmen kampus dalam penyelesaian kasus semacam itu. Korban menyampaikan testimoni pada 4 November 2021, dan pada 18 November Syafri Harto dinyatakan sebagai tersangka oleh kepolisian. Sidang pertama di PN Riau dilakukan pada 25 Januari 2022, dan pada 30 Maret 2022 hakim menyatakan Syafri Harto tidak terbukti bersalah.
Komitmen kampus, kepolisian dan kejaksaan dalam menyeret terduga pelaku kekerasan seksual di kampus, pupus oleh putusan hakim.
BACA JUGA: Pengamat: Vonis Bebas Dosen Pelaku Kekerasan Seksual, Pengkhianatan bagi KorbanDalam diskusi dan eksaminasi publik putusan bebas kasus kekerasan seksual di Universitas Riau, Senin (6/6), sejumlah pakar hukum dan akademisi mengkritisi putusan hakim ini. Aktivis hak perempuan sekaligus dosen di UIN Walisongo, Semarang, Nur Hasyim misalnya, menyebut hakim mengabaikan dua unsur penting dalam kasus kekerasan seksual, yaitu soal konsen dan pemaksaan terkait relasi kuasa.
Nur Hasyim mengingatkan, semua tindakan yang dilakukan tanpa persetujuan korban adalah bentuk kekerasan. Ucapan dan sentuhan tanpa persetujuan bisa dilakukan karena hubungan relasi kuasa pelaku dan korban yang timpang. Unsur kedua adalah pemaksaan, yang dalam kasus kekerasan seksual belum tentu bersifat fisik.
“Yang saya lihat adalah dominasi dan kontrol sebagai konsekuensi kedudukan pelaku terhadap korban. Sebagai dekan, dia laki-laki, dan secara ekonomi mapan, dan seterusnya yang bisa dilihat sebagai kontrol dan dominasi pelaku. Itu sangat mudah dikenali sebagai faktor risiko terjadinya kekerasan,” kata Nur Hasyim.
Asfinawati dari YLBHI menilai hakim tidak menerapkan hukum acara yang diatur KUHAP.
“Dan majelis hakim sebetulnya lebih berposisi sebagai pembela terdakwa, yang berusaha mengeliminasi bukti-bukti, yang mengarah pada kesalahan terdakwa,” kata Asfinawati.
Dia juga menyatakan, putusan hakim memuat bias gender dan diskriminasi terhadap perempuan, khususnya korban kekerasan seksual. Putusan hakim juga tidak sesuai dengan posisi Indonesia, terkait konvensi penghapusan segala kekerasan terhadap perempuan.
Putusan hakim PN Riau dalam kasus kekerasan seksual Dekan Fisipol Universitas Riau terhadap mahasiswinya harus menjadi kesadaran baru dalam lingkungan pendidikan. Di tengah upaya serius perguruan tinggi mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual, ketok palu hakim di meja hijau bisa menjadi akhir yang mengecewakan.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Ristek, Nadiem Anwar Makarim, pertengahan April lalu menjanjikan sanksi administratif kepada terduga pelaku yang dibebaskan pengadilan. Upaya ini sekaligus menjadi ujian efektivitas Permendibudristek 30/2021 yang dikeluarkan oleh Nadiem sendiri.
Dalam rilisnya pada 8 Juni 2022, tim Advokasi Korps Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Riau memberi waktu satu bulan bagi Nadiem untuk memenuhi janjinya. [ns/ka]