Penghayat kepercayaan mendesak pemerintah menghentikan diskriminasi terhadap mereka, mulai dari kesulitan mendapat KTP hingga rumah ibadah.
JAKARTA —
Sejumlah penghayat kepercayaan meminta pemerintah menghentikan diskriminasi terhadap mereka yang masih terus terjadi, mulai dari kesulitan mendapat Kartu Tanda Penduduk (KTP) hingga hambatan dalam menjalankan keyakinan mereka.
Lima belas perempuan penganut agama asli atau penghayat kepercayaan mengutarakan permintaannya itu Jumat (9/11) pada perwakilan dari pihak Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Para perempuan ini berasal dari 15 provinsi, termasuk Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Tengah. Mereka didampingi oleh wakil dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dalam pertemuan dengan para wakil pemerintah tersebut di sebuah hotel di Jakarta Selatan.
Penganut Agama Sapto Dharmo, Dian Yani, kepada VOA menyatakan
dengan tidak memiliki KTP, mereka tidak dapat memperoleh surat nikah dan akte kelahiran anak, serta kesulitan mengakses program pemerintah seperti layanan kesehatan dan bantuan ekonomi.
Kalaupun ada yang memiliki KTP, kata Dian, kolom agama di KTP tersebut harus dikosongkan. Ia menambahkan sangat sulit bagi penghayat kepercayaan untuk mendirikan rumah ibadah dan selalu mendapat stigma dari masyarakat sebagai kafir.
Selain itu, tambah Dian, anak-anak mereka ketika mulai bersekolah harus memilih satu dari enam agama yang diakui oleh negara yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu.
“Penghayat kepercayaan adalah bagian dari anak negeri ini dan kita sesungguhnya tuan rumah di negeri ini. Selama ini [kami] terdiskriminasi,” ujar Dian.
“Negara ini bukan berdasarkan agama tetapi berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan UUD Pasal 29 dan Pancasila. Jadi kami harapkan tidak ada lagi diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan.”
Ketua Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan Arimbi Heroepoetri menyayangkan masih terjadinya diskriminasi terhadap para penganut penghayat kepercayaan ini.
Menurutnya, negara harus mendukung, menghormati dan melindungi para penganut ini karena mereka juga warga negara Indonesia.
Komnas Perempuan, kata Arimbi, mendorong pemerintah untuk mencatatkan semua identitas kepercayaan atau agama leluhur dalam KTP karena pengecualian dan pencatatan hanya akan membuahkan diskriminasi.
“Harusnya dalam konteks HAM, negara mengakui eksistensi kebebasan beragama dan agama leluhur yang dianut oleh teman-teman ini. Pejabat negara sendiri menganggap tidak penting urusan pencatatan agama-agama ini,” ujar Arimbi.
Ia mendesak pemerintah untuk memperlakukan penghayat kepercayaan setara dengan enam agama lainnya yang diakui oleh negara sehingga mereka dapat menjalankan agama leluhurnya dengan bebas dan aman.
Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Raydonizar Moenek mengatakan petugas tidak boleh mempersulit para penghayat kepercayaan memperoleh KTP.
Hanya saja, kata Raydonizar, bagi mereka yang menganut kepercayaan, kolom agama yang ada di KTP tidak boleh diisi karena penghayat kepercayaan bukan termasuk kelompok agama yang diakui oleh pemerintah.
“Kita menghormati, semua mempunyai kebebasan beragama, berserikat, diakui semua itu eksistensi dan keberadaannya. Namun kalau meminta spesifik agar tertulis, itu kami alami pada kelompok Sunda Wiwitan nanti ada masyarakat ini, ada masyarakat itu yang minta ini, minta itu akan ada berapa itu. Sedangkan itu tidak masuk dalam klasifikasi agama,” ujar Raydonizar.
Lima belas perempuan penganut agama asli atau penghayat kepercayaan mengutarakan permintaannya itu Jumat (9/11) pada perwakilan dari pihak Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Para perempuan ini berasal dari 15 provinsi, termasuk Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Tengah. Mereka didampingi oleh wakil dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dalam pertemuan dengan para wakil pemerintah tersebut di sebuah hotel di Jakarta Selatan.
Penganut Agama Sapto Dharmo, Dian Yani, kepada VOA menyatakan
dengan tidak memiliki KTP, mereka tidak dapat memperoleh surat nikah dan akte kelahiran anak, serta kesulitan mengakses program pemerintah seperti layanan kesehatan dan bantuan ekonomi.
Kalaupun ada yang memiliki KTP, kata Dian, kolom agama di KTP tersebut harus dikosongkan. Ia menambahkan sangat sulit bagi penghayat kepercayaan untuk mendirikan rumah ibadah dan selalu mendapat stigma dari masyarakat sebagai kafir.
Selain itu, tambah Dian, anak-anak mereka ketika mulai bersekolah harus memilih satu dari enam agama yang diakui oleh negara yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu.
“Penghayat kepercayaan adalah bagian dari anak negeri ini dan kita sesungguhnya tuan rumah di negeri ini. Selama ini [kami] terdiskriminasi,” ujar Dian.
“Negara ini bukan berdasarkan agama tetapi berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan UUD Pasal 29 dan Pancasila. Jadi kami harapkan tidak ada lagi diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan.”
Ketua Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan Arimbi Heroepoetri menyayangkan masih terjadinya diskriminasi terhadap para penganut penghayat kepercayaan ini.
Menurutnya, negara harus mendukung, menghormati dan melindungi para penganut ini karena mereka juga warga negara Indonesia.
Komnas Perempuan, kata Arimbi, mendorong pemerintah untuk mencatatkan semua identitas kepercayaan atau agama leluhur dalam KTP karena pengecualian dan pencatatan hanya akan membuahkan diskriminasi.
“Harusnya dalam konteks HAM, negara mengakui eksistensi kebebasan beragama dan agama leluhur yang dianut oleh teman-teman ini. Pejabat negara sendiri menganggap tidak penting urusan pencatatan agama-agama ini,” ujar Arimbi.
Ia mendesak pemerintah untuk memperlakukan penghayat kepercayaan setara dengan enam agama lainnya yang diakui oleh negara sehingga mereka dapat menjalankan agama leluhurnya dengan bebas dan aman.
Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Raydonizar Moenek mengatakan petugas tidak boleh mempersulit para penghayat kepercayaan memperoleh KTP.
Hanya saja, kata Raydonizar, bagi mereka yang menganut kepercayaan, kolom agama yang ada di KTP tidak boleh diisi karena penghayat kepercayaan bukan termasuk kelompok agama yang diakui oleh pemerintah.
“Kita menghormati, semua mempunyai kebebasan beragama, berserikat, diakui semua itu eksistensi dan keberadaannya. Namun kalau meminta spesifik agar tertulis, itu kami alami pada kelompok Sunda Wiwitan nanti ada masyarakat ini, ada masyarakat itu yang minta ini, minta itu akan ada berapa itu. Sedangkan itu tidak masuk dalam klasifikasi agama,” ujar Raydonizar.