Carlim, Ketua Yayasan Sapto Darmo Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, masih ingat betul peristiwa awal Desember 2014 lalu. Ketika itu, Daodah, salah satu anggota keluarga besarnya meninggal dunia. Perangkat desa setempat tidak memberi ijin penguburan Daodah di makam milik kampung.
Status Daodah, juga Carlim dan keluarga besarnya sebagai penghayat kepercayaan Sapto Darmo, menjadi pangkal masalah. Daodah akhirnya dimakamkan di halaman rumah, tak jauh dari tempat ibadah penghayat kepercayaan Sapto Darmo di Desa Siandong, Brebes.
“Memang sebenarnya sejak awal hubungan dengan masyarakat lain sangat baik. Saling menghargai, tidak ada masalah apa-apa. Masalah ada setelah ada kematian, kemudian ada penolakan pemakaman, dikarenakan awalnya dari kekosongan kolom agama di KTP warga yang meninggal,” kata Carlim.
Peristiwa itu turut mendorong Carlim terlibat dalam upaya judicial review terhadap Pasal 61 ayat 1 dan Pasal 64 ayat 1 Undang-Undang (UU) Administrasi Kependudukan karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD). Upayanya berhasil, dan Mahkamah Konstitusi mengabulkan seluruh tuntutan komunitas penghayat kepercayaan dari seluruh Indonesia.
Salah satu tindak lanjutnya diumumkan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo di Jakarta pekan lalu. Penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, akan menerima Kartu Tanda Penduduk yang mencantumkan kolom kepercayaan. Dulu, hanya ada kolom agama di KTP yang dikosongkan atau diisi salah satu agama yang diakui oleh pemerintah.
"Ini kan masalah administrasi. Indonesia tentu harus melindungi masyarakatnya, yang penting keyakinan ke Tuhan yang Maha Esa. Sehingga nanti keterangannya adalah 'Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa'," kata Tjahjo di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (4/4) seperti dikutip sejumlah media.
Your browser doesn’t support HTML5
Namun, bukan hanya itu yang sudah dilakukan pemerintah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menerbitkan panduan kurikulum dan buku pegangan bagi guru pelajaran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pemerintah juga menjamin hak-hak siswa penghayat kepercayaan untuk memperoleh pelajaran sesuai aliran yang diyakininya. Pemerintah akan menyetarakan hak penghayat dalam mengakses pekerjaan sebagai PNS maupun anggota TNI/Polri.
Syamsul Hadi, pejabat dari Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Kemendikbud, memaparkan langkah pemerintah itu, dalam diskusi seputar status kewarganegaraan penghayat kepercayaan di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Selasa (10/4).
Syamsul menambahkan, seluruh kebijakan berada dalam proses, dengan capaian yang baik hingga saat ini. “Sudah kami lakukan dialog di bawah koordinasi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan. Kami berdialog untuk membuka ruang-ruang terkait hal ini. Dan hal ini dalam proses, semoga dalam tahun ini ada perkembangan lebih positif lagi, sehingga ruang-ruang kesetaraan dalam pendidikan dan pekerjaan itu menjadi lebih terbuka lagi.”
Kemendikbud mencatat, ada sekitar 12 juta penghayat kepercayaan di Indonesia. Jumlah itu terbagi dua, penghayat murni yaitu mereka yang tidak meyakini satu agama pun yang diakui pemerintah. Ada pula penghayat beragama, yaitu pemeluk agama resmi tetapi juga mengaku mengikuti aliran kepercayaan tertentu.
Setidaknya ada 188 pengurus pusat aliran kepercayaan di Indonesia, dengan lebih dari 1000 pengurus cabang di berbagai wilayah. Dari jumlah itu, sekitar 27 aliran mengalami kevakuman, karena pendirinya atau guru panutan, telah meninggal dunia. Pemerintah mencatat, ada 2037 penghayat kepercayaan yang kini sedang belajar, mulai tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga perguruan tinggi.
Pembicara lain dalam diskusi tersebut, Dr Phil Al Makin menilai pemerintah sudah melakukan banyak perbaikan setelah putusan MK keluar. Saat ini, yang diperlukan adalah pendidikan kesadaran bagi masyarakat, karena slogan-slogan yang sering terdengar seputar toleransi, menyembunyikan kenyataan di tingkat masyarakat.
“Pemerintah itu sudah banyak dituntut oleh kita. Sekarang yang perlu kita didik, adalah masyarakat itu sendiri. Jadi, kalau kita meneliti mengenai isu minoritas, yang mengerikan adalah situasi masyarakat kita sendiri. Mitos bahwa masyarakat kita itu toleran, harmoni dan ramah itu hanya mitos dan harus diruntuhkan, karena ternyata tidak sesuai. Yang benar, masyarakat kita itu sangat sensitif jika ada perbedaan,” kata Dr Phil Al.
Baca juga: Penghayat Kepercayaan Sambut Baik Putusan MK soal Kolom Agama di KTP
Al Makin mengatakan, aliran kepercayaan sebenarnya konsekuensi dari upaya leluhur asli bangsa Indonesia, dalam menyikapi lingkungan dan alam sekitarnya. Aliran kepercayaan dan agama asli Indonesia, sudah ada sebelum agama-agama baru datang, seperti Islam, Kristen, Hindu dan Budha.
Masalahnya, ketika menyusun undang-undang pada tahun 1953 yang membuat definisi tentang agama, pola pikirnya justru menggunakan agama yang datang belakangan itu. Agama asli bangsa Indonesia akhirnya tidak masuk dalam batasan atas agama itu sendiri.
“Kategori atas agama itu secara sosiologi dan antropologi sudah tidak tepat. Sehingga, misalnya masyarakat Kaharingan di Kalimantan dimasukkan sebagai umat Hindu, padahal mereka tidak beragama Hindu,” tambah Al Makin.
Al Makin meneliti dan menerbitkan buku mengenai aliran Lia Eden di Jakarta. Dia juga melakukan penelitian mengenai aliran Gafatar di Mempawah, Kalimantan Barat. Dalam dua kajian ini, kata Al Makin, salah satu masalah terbesar bagi aliran kepercayaan di Indonesia adalah kesetaraan. Masyarakat sulit untuk menerima kehadiran mereka yang dianggap berbeda.
Pembicara lain, Budhi Masturi, Kepala Ombudsman RI Perwakilan DIY-Jawa Tengah, menyoroti perbaikan layanan pemerintah bagi penghayat aliran kepercayaan. Dia mendorong penghayat kepercayaan untuk lebih aktif meminta perbaikan layanan, misalnya dalam sektor pendidikan, identitas kewarganegaraan seperti KTP, hingga layanan umum lainnya. Sebagai warga negara dan pembayar pajak, kata Budhi, penghayat kepercayaan memiliki hak yang setara.
“Kita membayar pajak yang dipakai untuk menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Jadi, dasar layanan itu adalah pembayaran pajak itu, bukan identitas seseorang, apakah dia beragama A, B atau penghayat kepercayaan. Semua berhak atas layanan yang baik dari pemerintah,” kata Budhi.
Catatan Budhi Masturi, setelah keputusan MK, pemerintah perlu menyusun aturan-aturan penerapan di tingkap bawah. Dalam banyak sektor telah ada perbaikan, tetapi masih ada kekurangan di berbagai sisi. Pada situasi dimana aturan pelaksanaan belum ada, Budhi mendorong pejabat lokal untuk menerapkan kebijakan dan terobosan khusus, sejauh tidak melanggar aturan yang ada. [ns/ab]