Tuduhan perilaku asusila terhadap calon Hakim Agung Amerika Serikat, Brett Kavanaugh, telah menghambat proses pengukuhan di Senat Amerika. Dan perlakuan terhadap penuduhnya, Christine Blasey Ford, telah memicu perdebatan emosional di Amerika seputar bagaimana pejabat badan legislatif Amerika Serikat harus menangani tuduhan pelecehan seksual di era gerakan #MeToo.
Presiden Donald Trump telah menunjuk Kavanaugh sebagai Hakim Agung, sebuah jabatan seumur hidup, di pengadilan tertinggi Amerika Serikat. Jika lolos proses pengukuhan, Kavanaugh akan menjadi salah satu dari sembilan Hakim Agung AS yang akan memutuskan kasus-kasus terkait isu imigrasi, lingkungan, keuangan, hak-hak sipil, maupun kasus Roe v. Wade, keputusan MA Amerika pada tahun 1973 yang memberi hak kepada perempuan Amerika untuk melakukan aborsi.
Kontroversi ini muncul dalam suasana politik baru yang berbeda dari rapat dengar pendapat pengukuhan calon Hakim Mahkamah Agung di masa lalu. Gerakan #MeToo yang dimulai setahun lalu telah membuat perempuan Amerika berani berbicara dan bersatu, menentang pelecehan seksual. Menurut pengamat, institusi yang didominasi lelaki – termasuk Kongres AS – sekarang lebih berhati-hati dalam menanggapi dan menangani tuduhan pelecehan yang dulunya mudah dikesampingkan. Partai Republik, khususnya, khawatir tentang bagaimana mereka akan menanggapi aspirasi pemilih perempuan dalam pemilihan November 2018 nanti.
"Kita semua sekarang memperhatikan isu pelecehan seksual dan perilaku tidak pantas dan gerakan #MeToo. Kini semua jadi lebih sadar dan peka terhadap isu pelecehan seksual ini, termasuk isu hak-hak perempuan dan bagaimana perempuan harus diperlakukan di ruang publik," kata Stu Rothenberg, redaktur senior di buletin politik Inside Elections. "Secara politik, isu ini sekarang adalah masalah besar."
BACA JUGA: Gedung Putih Kecam Tuduhan Baru Soal Perilaku Seksual Calon Hakim Agung ASChristine Blasey Ford, seorang profesor di California, mengatakan secara terbuka pada hari Minggu (16/9) bahwa Kavanaugh telah mencabulinya ketika mereka berdua remaja di awal dekade 1980-an. Menurut pernyataan Ford, ia (Kavanaugh) mabuk pada saat itu dan menahannya di atas tempat tidur, meraba-rabanya, dan meletakkan tangannya di atas mulut ketika Ford mencoba berteriak. Kavanaugh menyangkal kejadian tersebut, dan mengeluarkan pernyataan: "Ini adalah sepenuhnya tuduhan palsu. Saya tidak pernah melakukan hal seperti apa yang dikatakan penuduh – apakah yang terhadap dirinya atau siapa pun."
Kasus 1991: Anita Hill, Clarence Thomas
Komite Kehakiman Senat Amerika, yang melaksanakan tanya-jawab terhadap Kavanaugh sebelum Senat mengambil suara untuk mengukuhkannya, sedang mencari cara terbaik untuk melanjutkan proses pengukuhan. Ford mengatakan FBI harus menyelidiki insiden pelecehannya sebelum Ford bersedia memberi kesaksian tentang Kavanaugh di depan Senat. Anggota Senat dari Partai Republik yang mendukung Kavanaugh menyatakan, mereka hanya perlu mendengarkan kesaksian di bawah sumpah dari kedua belah pihak. Kesaksian bisa terjadi sesegera hari Senin (24/09).
Skenario itu – yang juga dijuluki skenario “he said, she said” – mengingatkan kembali pada momen penting bagi perempuan Amerika hampir tiga puluh tahun lalu. Pada tahun 1991, pengacara Anita Hill duduk di hadapan dewan Senat, yang semua anggotanya laki-laki, dan merinci bagaimana Clarence Thomas, calon Hakim Agung beserta mantan bosnya, melakukan pelecehan terhadap Hill di kantor, dengan omongan dan ajakan cabul. Dengar pendapat ini (atau kesaksian) disiarkan di televisi, semua orang Amerika terpaku, dan kredibilitas Hill berulang kali diinjak-injak. Clarence Thomas membantah tuduhan itu dan akhirnya dikukuhkan sebagai Hakim Agung.
Beberapa senator AS yang ikut mendengar kesaksian Anita Hill pada tahun 1991 tersebut, masih menjabat sampai sekarang di Komite Kehakiman Senat, termasuk Ketua Komitenya, Chuck Grassley, wakil negara bagian Iowa dari Partai Republik berusia 85 tahun, dan Senator Orrin Hatch, wakil negara bagian Utah dari Partai Republik berusia 84 tahun.
Kesaksian Anita Hill “menyoroti karakter seseorang yang akan duduk di jabatan tertinggi dalam sistem pengadilan kami,'' kata Fatima Goss Graves, CEO Pusat Kajian Hukum Perempuan Amerika Serikat (National Women's Law Center). “Alih-alih dipercaya, ia justru mendapat perlakuan buruk dari seorang anggota komite yang menuduhnya tidak jujur, ingin memprovokasi dan berusaha untuk merusak reputasinya."
BACA JUGA: Penuduh Kavanaugh Setuju Beri Kesaksian di Depan SenatGoss Graves percaya akan cerita Ford, dan berharap para senator memperlakukannya dengan adil dan hormat. Senat AS yang terdiri dari 100 anggota memiliki dua anggota yang perempuan pada tahun 1991; dan sekarang bertambah menjadi 23 perempuan.
"Bahkan di tengah-tengah gerakan #MeToo, banyak korban yang takut maju ke depan untuk berbicara, dan saya mengerti sekali kenapa," katanya. "Sudah terlalu sering, jika maju dan berbicara, mereka harus membayar harga yang sangat mahal, termasuk pembalasan, ancaman, termasuk ancaman terhadap keluarga mereka, untuk karier mereka."
Dalam surat yang meminta agar Komite Kehakiman Senat menyetujui investigasi FYI terhadap Kavanaugh, pengacara Ford menyatakan Ford telah menjadi target "pelecehan ganas dan bahkan ancaman pembunuhan" dan harus meninggalkan rumahnya sejak membeberkan ceritanya ke publik.
Pesan kepada lelaki: “Ambil langkah yang benar”
Hill, yang sekarang mengajar di Universitas Brandeis, menulis sebuah tajuk opini di dalam harian New York Times dan menyatakan bahwa kesamaan-kesamaan antara kedua proses pengukuhan Hakim Agung tidak bisa dipungkiri.
"Pada tahun 1991, Komite Kehakiman Senat punya kesempatan untuk menujukkan keseriusannya menanggapi klaim pelecehan seksual dan pentingnya karakter seorang calon anggota Mahkamah Agung bagi masyarakat," tulis Hill. "Komita gagal mencapai kedua poin tersebut."
Rothenberg, seorang mantan redaktur media, penerbit dan pengamat politik, masih mengharapkan Kavanaugh akan dikukuhkan karena Partai Republik memegang mayoritas kursi Senat. Mereka mungkin akan kehilangan suara setelah pemilihan anggota Kongres dan pemilhan tingkat negara bagian 6 November mendatang. Jajak pendapat menunjukkan 20 persen pemilih perempuan mendukung kandidat Demokrat, dan tercatat jumlah kandidat perempuan kali ini cukup banyak.
"Suasana politik saat ini membuat banyak perempuan untuk keluar dan mencalonkan diri karena mereka telah terdorong oleh gerakan #MeToo," kata Rothenberg.
Pemilih perempuan akan mengawasi dengan seksama bagaimana anggota Senat memperlakukan Ford dan tuduhannya, tambah Rothenberg. Seperti yang ditulis Anita Hill di New York Times, "Tak ada cara untuk mengubah kejadian tahun 1991, tetapi ada cara untuk melakukan yang lebih baik."
Senator Mazie Hirono dari Hawaii, satu dari empat perempuan yang duduk di Komite Kehakiman Senat, mengatakan pada hari Selasa bahwa ia frustrasi dengan cara rekan-rekan dari Partai Republik memperlakukan Ford.
"Lihat siapa yang melakukan semua tindakan semacam ini? Para pria di negara ini," katanya pada konferensi pers. "Saya hanya ingin menyampaikan kepada lelaki negeri ini: Diamlah dan lakukan sesuatu. Sekali-kali ambil langkah yang benar." [nm/hj/is]