Saat magrib tiba pada hari keenam bulan Ramadan lalu, Mozlifa dan anak-anaknya berbuka puasa dengan roti, kentang dan telur. Mereka sekeluarga tinggal di dekat ibu kota Afghanistan.
Beberapa jam sebelumnya, sebelum matahari terbenam, Mozlifa menyiapkan makanan untuk kedelapan anaknya dengan menggunakan plastik dan kertas untuk menyalakan api, karena keluarga itu tidak mampu membeli kompor gas.
Keluarganya adalah satu dari 80 keluarga yang tinggal di kamp Butkhak, di dekat Kabul.
Mereka mengungsi dari rumah mereka di Provinsi Nangarhar karena menghadapi kekeringan dan masalah keamanan.
Sebagian besar keluarga yang tinggal di kamp itu berbuka puasa hanya dengan makanan sederhana, karena kesulitan mengatasi krisis ekonomi di bawah pemerintahan Taliban.
Mozlifa menuturkan, “Saya punya delapan anak yang masih kecil. Suami saya sudah meninggal. Saya minta pemerintah menolong kami. Kami tidak punya cukup makanan atau kebutuhan pokok lainnya. Kami diliputi banyak masalah; kami tidak punya apa-apa.”
Jumlah pengungsi melonjak tajam sejak Taliban mengambil alih kekuasaan di Afghanistan pada 2021.
Your browser doesn’t support HTML5
Putra sulung Mozlifa, Mohammad Naeem, mengaku menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga sejak ayahnya meninggal.
“Ada sembilan anggota keluarga kami. Ayah kami sudah meninggal. Saya punya enam saudara perempuan dan satu saudara laki-laki. Saya jadi pemulung kain bekas dan diupah 100 Afghani (sekitar Rp21.000) per hari. Saya juga mengumpulkan plastik. Dari upah yang saya dapat, saya belikan makanan untuk delapan orang keluarga saya yang lain. Saya anak tertua dan satu-satunya tulang punggung keluarga kami,” sebutnya.
Salamat Khan, adik Naeem, juga bertugas mencari kertas untuk membuat api. “Saya berangkat dari rumah pagi-pagi dan pulang di siang hari. Saya membawa sekantong kertas dan dengan cara inilah kami bertahan hidup,” komentarnya.
Berbagai lembaga bantuan telah menyediakan makanan, pendidikan dan bantuan layanan kesehatan kepada warga Afghanistan. Akan tetapi, pendistribusian bantuan tersebut sangat terdampak oleh kebijakan Taliban yang melarang perempuan bekerja untuk organisasi nirlaba internasional.
Perekonomian Afghanistan pun terseok-seok dan hampir ambruk.
Meskipun pasar-pasar di sana sebagian besarnya dipenuhi berbagai pasokan, tidak banyak orang yang mampu berbelanja makanan untuk keluarga mereka. [rd/uh]