Pengungsi Resah dengan Nasib Mereka di Tengah Ancaman Nuklir

  • Steve Herman
    Febriamy Hutapea

Para pengungsi di SMA Koriyama, Fukushima, Rabu (16/3).

Selain setengah juta orang yang menjadi tunawisma karena gempa berkekuatan 9,0 skala Ritcher minggu lalu dan tsunami dahsyat yang diakibatkannya, terdapat 200.000 warga Jepang lainnya yang telah diperintahkan meninggalkan rumah mereka. Mereka tinggal dekat dengan PLTN, yang rusak parah karena bencana alam itu dan bocornya radiasi nuklir.

Di bawah jaring bola basket, beberapa radio ditaruh di ruangan olah raga sebuah SMA, tapi tidak ada seorang pun yang terlihat mendengarkan.

Kaisar Akihito memberikan pidato kepada seluruh bangsa Jepang. Kaisar mengatakan ia sangat khawatir akan krisis nuklir dan menyerukan warga Jepang untuk bertindak penuh kasih pada saat-sat sulit seperti ini.

Beberapa sukarelawan bereaksi terhadap permintaan Kaisar dengan membagikan air dalam botol kemasan dan sejumlah kotak buah stroberi.

Para pengungsi mulai tiba, Minggu, dengan menggunakan bus-bus Pasukan Bela Diri Jepang. Sebagian lain menyetir mobil sendiri menuju wilayah evakuasi. Kebanyakan tiba dengan membawa sedikit baju ganti dan selimut.

Tapi, dibandingkan dengan nasib warga yang terisolasi di kawasan-kawasan yang dibanjiri tsunami, para pengungsi di sini berada dalam keadaan relatif lebih baik. Terdapat toilet, makanan hangat sekali sehari, alat pemanas ruangan dan beberapa toko yang buka serta tempat mandi umum yang jauhnya hanya sekitar 30 menit berjalan kaki.

Harumi Takahashi berada di tempat ini dengan beberapa anak dan cucunya. Ketika ditanya mengenai asap putih dan radiasi yang tidak terlihat dari PLTN yang rusak dekat dengan rumahnya di Okuma, ia menjawab sulit baginya untuk memberikan pernyataan.

Takahashi mengatakan ia tidak mendapat informasi apapun. Tanpa televisi, katanya, mereka tidak dapat melihat gambar reaktor yang lumpuh yang disiarkan ke seluruh Jepang.

Para warga yang mengungsi dari Okuma ini mengaku tak pernah mendukung pembangunan PLTN di daerah mereka.



Pengungsi lainnya, Keishu Maeda, biasanya bekerja di PLTN Fukushima. Ia mengatakan kejadian dalam beberapa hari terakhir ini mengubah pendapatnya.

“Saya dulu adalah pendukung kebijakan energi atom Jepang, tapi sekarang tidak lagi,” ujar Maeda.

Beberapa orang di penampungan, yang hampir meneteskan air mata, mengatakan mereka selalu menolak pembangunan reaktor nuklir di kota mereka.