Para finalis kompetisi menyanyi ‘Arab Idol’ datang dari daerah berkonflik dan terbiasa mendengar tembakan senjata sehari-hari.
BEIRUT —
Para finalis kompetisi menyanyi "Arab Idol" tampil mewah seperti bintang Hollywood dalam tuksedo dan gaun malam, namun kehidupan nyata mereka jauh dari cahaya panggung yang gemerlap.
Ketiga penyanyi tersebut datang dari Suriah, Mesir dan Palestina, beberapa dari negara-negara yang paling bermasalah dan berkonflik di dunia.
Mohammed Assaf dari Palestina, yang mendapat gelar juara tersebut pada Sabtu malam (22/6), tumbuh besar di kamp pengungsi di jalur Gaza. Ia menghabiskan berjam-jam menyeberangi perbatasan dan harus menaiki pagar belakang studio supaya tiba tepat waktu untuk dapat mengikuti kompetisi tersebut.
"Menyebarkan kabar dari anak-anak muda dan melihat mereka mencapai mimpinya, hal ini jauh lebih baik dari suara tembakan yang sudah sangat biasa bagi telinga kami di Palestina, Suriah dan sekitar dunia Arab,” ujar Assaf dengan wajah cerah setelah kemenangannya.
Di Beirut, tempat kompetisi itu dilaksanakan, kafe-kafe di luar ruangan memasang layar besar dan suara Farah Youssef, 24, pun bergema di jalanan.
Youssef, asal Suriah, dengan berani menerobos para penembak dan pos-pos pemeriksaan di perbatasan untuk mencapai negara tetangga Lebanon untuk menyanyi di panggung.
Mereka yang ingin jadi bintang datang dari Maroko sampai Bahrain untuk bersaing memperebutkan kontrak rekaman dalam musim kedua "Arab Idol". Di seluruh wilayah, para penonton asyik menonton para kontestan menyanyikan kombinasi lagu rakyat tradisional Arab dan musik pop yang gembira, sampai akhirnya terpilih tiga finalis.
Acara itu juga terbukti menjadi sarana untuk mengutarakan pernyataan politik dan sosial.
“Tidak ada seorang pun di wilayah ini yang tidak membicarakan perang atau Arab Idol,” ujar salah seorang juri dari Lebanon Ragheb Alama.
"Mereka ada adalah duta-duta besar sebenarnya untuk negara-negara ini. Dengan perubahan-perubahan rezim yang terjadi di negara-negara Arab, mereka terlihat seperti cahaya terang dalam kegelapan.”
Parwaz Hussein, seorang semifinalis dari wilayah Kurdistan di Irak, mendapat protes dari beberapa juri setelah menyebut asal negaranya sebagai Kurdistan. Ia memulai kompetisi dengan menyanyi lagu-lagu Kurdistan meskipun kemudian berubah ke lagu berbahasa Arab.
Berjumlah lebih dari 25 juta, penduduk Kurdistan yang non-Arab sering digambarkan sebagai kelompok etnis terbesar di dunia tanpa negara.
Begitu kerumunan melambaikan bendera Palestina dan bergegas menggendong pemenang kompetisi tersebut, Hussein menari di panggung dengan bendera Kurdistan. Para petugas keamanan segera mengambil benda itu dari tangannya.
Finalis asal Mesir Ahmed Gamal mengatakan acara tersebut membuka ruang untuk wacana.
“Arab Idol menawarkan lebih banyak hal pada kita dibandingkan dengan para politisi. Itu merupakan pesan yang penting,” ujarnya.
Dalam salah satu penampilan terakhirnya sebelum pemungutan suara, Youssef mengejutkan para juri dengan lagu yang secara tradisional dinyanyikan oleh pria. Ia menyanyikan "Songs of Aleppo", membangkitkan kenangan tentang kota tua yang indah sebelum dihancurkan konflik.
Perempuan muda berpakaian gaun hijau mengilap itu merupakan pendukung pemerintah dari sekte minoritas Alawite di Suriah. Ia menepis cercaan dan keluhan sektarian bahwa ia tidak seharusnya ikut serta dalam kompetisi ketenaran di saat negaranya dihancurkan oleh perang sipil yang telah merenggut lebih dari 93.000 nyawa.
"Negara kita sedang menderita, tidak perlu lebih banyak orang yang menangisinya. Ia butuh orang-orang yang membawa kebanggaan,” ujarnya. (Reuters/Erika Solomon)
Ketiga penyanyi tersebut datang dari Suriah, Mesir dan Palestina, beberapa dari negara-negara yang paling bermasalah dan berkonflik di dunia.
Mohammed Assaf dari Palestina, yang mendapat gelar juara tersebut pada Sabtu malam (22/6), tumbuh besar di kamp pengungsi di jalur Gaza. Ia menghabiskan berjam-jam menyeberangi perbatasan dan harus menaiki pagar belakang studio supaya tiba tepat waktu untuk dapat mengikuti kompetisi tersebut.
"Menyebarkan kabar dari anak-anak muda dan melihat mereka mencapai mimpinya, hal ini jauh lebih baik dari suara tembakan yang sudah sangat biasa bagi telinga kami di Palestina, Suriah dan sekitar dunia Arab,” ujar Assaf dengan wajah cerah setelah kemenangannya.
Di Beirut, tempat kompetisi itu dilaksanakan, kafe-kafe di luar ruangan memasang layar besar dan suara Farah Youssef, 24, pun bergema di jalanan.
Youssef, asal Suriah, dengan berani menerobos para penembak dan pos-pos pemeriksaan di perbatasan untuk mencapai negara tetangga Lebanon untuk menyanyi di panggung.
Mereka yang ingin jadi bintang datang dari Maroko sampai Bahrain untuk bersaing memperebutkan kontrak rekaman dalam musim kedua "Arab Idol". Di seluruh wilayah, para penonton asyik menonton para kontestan menyanyikan kombinasi lagu rakyat tradisional Arab dan musik pop yang gembira, sampai akhirnya terpilih tiga finalis.
Acara itu juga terbukti menjadi sarana untuk mengutarakan pernyataan politik dan sosial.
“Tidak ada seorang pun di wilayah ini yang tidak membicarakan perang atau Arab Idol,” ujar salah seorang juri dari Lebanon Ragheb Alama.
"Mereka ada adalah duta-duta besar sebenarnya untuk negara-negara ini. Dengan perubahan-perubahan rezim yang terjadi di negara-negara Arab, mereka terlihat seperti cahaya terang dalam kegelapan.”
Parwaz Hussein, seorang semifinalis dari wilayah Kurdistan di Irak, mendapat protes dari beberapa juri setelah menyebut asal negaranya sebagai Kurdistan. Ia memulai kompetisi dengan menyanyi lagu-lagu Kurdistan meskipun kemudian berubah ke lagu berbahasa Arab.
Berjumlah lebih dari 25 juta, penduduk Kurdistan yang non-Arab sering digambarkan sebagai kelompok etnis terbesar di dunia tanpa negara.
Begitu kerumunan melambaikan bendera Palestina dan bergegas menggendong pemenang kompetisi tersebut, Hussein menari di panggung dengan bendera Kurdistan. Para petugas keamanan segera mengambil benda itu dari tangannya.
Finalis asal Mesir Ahmed Gamal mengatakan acara tersebut membuka ruang untuk wacana.
“Arab Idol menawarkan lebih banyak hal pada kita dibandingkan dengan para politisi. Itu merupakan pesan yang penting,” ujarnya.
Dalam salah satu penampilan terakhirnya sebelum pemungutan suara, Youssef mengejutkan para juri dengan lagu yang secara tradisional dinyanyikan oleh pria. Ia menyanyikan "Songs of Aleppo", membangkitkan kenangan tentang kota tua yang indah sebelum dihancurkan konflik.
Perempuan muda berpakaian gaun hijau mengilap itu merupakan pendukung pemerintah dari sekte minoritas Alawite di Suriah. Ia menepis cercaan dan keluhan sektarian bahwa ia tidak seharusnya ikut serta dalam kompetisi ketenaran di saat negaranya dihancurkan oleh perang sipil yang telah merenggut lebih dari 93.000 nyawa.
"Negara kita sedang menderita, tidak perlu lebih banyak orang yang menangisinya. Ia butuh orang-orang yang membawa kebanggaan,” ujarnya. (Reuters/Erika Solomon)