Penindasan di Venezuela Makin Memburuk Pascapilpres 

Warga Venezuela melakukan protes terhadap hasil resmi yang menyatakan Presiden Nicolas Maduro sebagai pemenang pemilihan presiden bulan Juli, di Quito, Ekuador, 17 Agustus 2024 (foto: dok).

Sebuah misi pencari fakta PBB pada hari Selasa (17/9) memperingatkan, penindasan di Venezuela memburuk setelah pemilihan presiden tanggal 28 Juli yang diwarnai kecurangan. Pemerintahan Presiden Nicolas Maduro membungkam semua perbedaan pendapat, guna mempertahankan kekuasaannya “dengan cara apapun”.

“Kami menghadapi penindasan yang sistematis, terkoordinasi dan disengaja oleh pemerintah Venezuela yang merupakan bagian dari rencana untuk membungkam segala bentuk perbedaan pendapat,” kata Marta Valinas, ketua Misi Pencari Fakta kepada wartawan pada sebuah pengarahan di Jenewa.

“Sebagai bagian dari rencana ini, pemerintah memberdayakan seluruh alat negara, khususnya sistem peradilan yang bertujuan membungkam segala jenis perbedaan pendapat yang menentang rencananya dan untuk tetap berkuasa dengan cara apapun,” katanya.

BACA JUGA: AS Terapkan Sanksi kepada 16 Sekutu Presiden Venezuela 

Panel beranggotakan tiga orang itu mengatakan, laporan setebal 20 halaman, yang mencakup periode waktu 1 September 2023 hingga 31 Agustus 2024, “menetapkan tonggak sejarah baru dalam kemerosotan supremasi hukum.”

“Angka-angka yang kami sajikan mengungkapkan sejauh mana pelanggaran itu dilakukan,” kata Francisco Cox Vial, anggota misi pencari fakta.

“Kita tidak dapat mengabaikan bahwa pelanggaran-pelanggaran itu merupakan tindakan yang jelas dan disengaja oleh pihak berwenang dalam melakukan penganiayaan yang bermotif politik. Kami menyimpulkan bahwa banyak dari pelanggaran ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan,” katanya, sambil menambahkan laporan-laporan sebelumnya mendokumentasikan bagaimana pemerintah “menggunakan penindasan sistematis untuk tetap berkuasa.”

Laporan ini mendapati, pelanggaran dan tingkat kekerasan meningkat pada periode pasca pemilu. Mereka mendokumentasikan 25 kematian yang dipastikan sejak 29 Juli, kebanyakan dari mereka adalah pemuda di bawah usia 30 tahun, termasuk dua anak-anak, dan seorang anggota Garda Nasional Bolivarian.

“Dari 25 korban itu, kami pastikan 24 orang meninggal karena luka tembak. Sisanya dipukuli hingga tewas,” kata Valinas. Ia menekankan bahwa panel tersebut tidak memiliki cukup bukti untuk menyatakan siapa bertanggung jawab atas kematian tersebut. [ps/ab]