Vonis bebas yang diberikan para hakim di sejumlah pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor), seperti di Bandung, Samarinda, Surabaya dan Lampung tidak bisa dijadikan alasan pembubaran lembaga tersebut. Seharusnya yang dilakukan adalah evaluasi menyeluruh, mulai sejak proses pembuatan undang-undangnya, proses seleksi dan upaya pengawasan pengadilan ini.
Demikian disampaikan Pakar Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Abdul Kholiq SH M.Hum kepada VOA. Menurutnya, pengadilan Tipikor adalah produk baru yang dimaksudkan untuk menyempurnakan peradilan korupsi di Indonesia.
Jika ditemukan berbagai kekurangan, maka yang harus dilakukan adalah pembenahan, bukan pembubaran. “Undang-undang yang menjadi landasan hukum pembentukan Pengadilan Tipikor yaitu nomor 46 tahun 2009, bisa dikatakan baru berlaku beberapa saat. Meskipun memang sangat mencengangkan putusan dari Pengadilan Tipikor daerah, tetapi itu tidak bisa digeneralisir sebagai gambaran buruknya keseluruhan sistem peradilan Tipikor daerah. Kemudian ada ide pembubaran begitu sederhananya bisa dilontarkan”, demikian kata Abdul Kholiq.
Pemberian vonis bebas di pengadilan Tipikor baru terjadi di empat kota. Karenanya, masih ada harapan di 29 pengadilan Tipikor yang lain.
Dihubungi terpisah, Direktur Indonesian Court Monitoring, Tri Wahyu KH kepada VOA mengakui, bisa memahami desakan pembubaran pengadilan Tipikor daerah. Namun dia menilai, semua ini merupakan cermin dari kinerja Mahkamah Agung sendiri. “Sebenarnya betul sudah ada Surat Keputusan Ketua MA terkait bagaimana kemudian para hakim di daerah itu, terutama hakim Tipikor harusnya progesif dalam pemberantasan korupsi. Tapi ini kan butuh keteladanan. Tentu agak sulit membayangkan kalau kemudian kita hanya mengkritik hakim-hakim di level daerah.
Di sisi lain, Tri Wahyu juga menantang para akademisi hukum di Indonesia, untuk keluar kampus dan berperan aktif dengan menjadi hakim ad hoc di Pengadilan Tipikor karena ini diperbolehkan oleh undang-undang.“Bagaimana akademisi hukum di Indonesia mau terlibat dala agenda pemberantasan korupsi. Saya sepakat, jangan hanya dalam konteks wacana, kalau ada momentum-momentum untuk terlibat, dalam agenda itu misalnya dengan menjadi hakim, menurut saya ini peluang dan sekaligus tantangan, kepada akademisi hukum di Indonesia yang siap mendarmabaktikan sebagai hakim di Pengadilan Tipikor”, kata Tri Wahyu.
Sebelum ada di daerah, pengadilan Tipikor hanya ada di Jakarta dan pengadilan ini tidak pernah memberikan vonis bebas kepada terdakwa. Kekecewaan mulai muncul karena sejumlah pengadilan Tipikor daerah, seperti di Bandung, Samarinda, Surabaya dan Lampung justru membebaskan para koruptor.Jumlah koruptor yang dibebaskan di empat kota itu mencapai 40 orang.